Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot?

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Dalam Buku Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Begawan Antropologi Indonesia Koentjaraningrat menulis “Memang kalau kita perhatikan istilah-istilah dari mas kawin dalam beberapa bahasa di Indonesia, maka tampak di dalamnya arti harta pembelian itu. Kata Nias beuli niha, Kata Batak Toba pongoli, boli, buhor, kata welin di Ambon, patuku di Bali, kata tukon di Jawa semuanya mengandung arti beli”.

Hari ini; mahar, mas kawin, belis atau apapun istilahnya masih dipandang dalam arti yang sangat sempit. Kompas.com (15/07/2010) menulis bahwa jumlah dan ukuran gading gajah sebagai belis ditentukan oleh staus social keluarga perempuan.

Namun apakah demikian? Apakah belis gading gajah adalah “harga untuk mendapatkan” seorang perempuan? Jika perempuan berasal dari keluarga “biasa” apakah boleh di ‘nego’ kan jumlah dan ukuran gading gajah sebagai belisnya?

Baca Juga: Media dan Penghormatan Pada Perempuan

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Flores Timur, Apolonia Corebima bahkan masih mengaitkan strata social seseorang dengan perempuan dengan jumlah gading.

“Jumlah gading yang diberikan tergantung starata social di masyarakat. Ada suku yang mendapatkan satu, ada juga yang tiga, lima atau tujuh. Kalau (suku) Corebima diatas lima (gading),” terang Apolinia Corebima seperti yang dilansir medcom.id (16/09/2019).

Walaupun dilanjutkan Apolonia bahwa bukan gadingnya, tapi pengakuan terhadap pribadi perempuan dan komitmen terhadap perkawinanlah inti dari tradisi tersebut.

Ketika masih menyebut jumlah dan ukuran dari gading gajah kita masih seolah melihat belis, mas kawin, atau mahar atau apapun istiahnya sebagai bagian dari harga untuk mendapatkan seorang perempuan. Apalagi jika kemudian menambahkan bahwa ukuran dan jumlah tersebut bisa “dibicarakan”. Seolah ada proses tawar menawar.

Dalam buku yang sama, Koentjaraningrat menambahkan bahwa fungsi mas kawin, mahar, belis pada banyak suku bangsa di Indonesia adalah sebagai syarat. Belis, mahar, mas kawin atau apapun instilahnya adalah bahasa symbol.

Baca Juga: 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Perempuan

Dalam konteks Lamaholot, apa yang disimbolkan Gading Gajah yang digunakan sebagai mas kawin atau belis?

Pertama : Harkat dan Martabat Perempuan Lamaholot adalah Sakral. Perempuan Lamaholot bukan sesuatu yang bisa ditimbang dengan taring binatang, berapapun jumlahnya, sebesar apapun ukurannya.

Sakralnya perempuan Lamaholot membuat Gading Gajah yang digunakan sebagai belisnya pun memiliki symbol-symbol sacral / keramat tertentu. Ini ditandai dengan upacara adat yang mengiringi setiap perpindahan; baik keluar maupun masuknya gading gajah; di rumah sebuah keluarga.

Ritual adat “ore warak – pohe” ketika sebuah keluarga menerima gading sebagai belis, dan ketika sebatang gading keluar untuk membayar belis seorang haru diawali dengan upacara “ohon hebo – geleten pelumut”.

Rirual-ritual ini selalu melibatkan seorang perempuan, saudari –“bine” – dari keluarga tersebut.

Kedua: Harkat dan martabat Perempuan Lamaholot tidak ditentukan oleh status sosial keluarga besarnya. Apalagi hanya ditentukan oleh jumlah atau ukuran gading gajah yang digunakan sebagai belisnya.

Walaupun tidak dipungkiri bahwa jumlah dan ukuran gading gajah sebagai belis bisa berbeda antara satu perempuan dengan perempuan Lamaholot lainnya. Namun itu bukan semata-mata karena status social. Apalagi dikaitkan dengan harkat dan martabat Perempuan Lamaholot.

Tradisi “likat matan telo” (tiga batu tungku), adalah bentuk kearifan lokal masyarakat Lamaholot yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan. Likat matan telo sekaligus menegaskan kesetaraan harkat dan martabat perempuan Lamaholot apapun latar belakang keluarganya.

Misalnya; ketika seorang pemuda dari keluarga A menikah dengan perempuan dari keluarga B, atas kesepakatan kedua keluarga belis sang gadis ditentukan sejumlah tujuh (7) batang gading gajah. Di waktu yang lain seorang pemuda dari keluarga B hendak meminang perempuan dari keluarga C. Kesepakatannya lima (5) batang gading gajah sebagai belis perempuan dari keluarga C.

Beberapa waktu kemudian seorang perempuan keluaarga A dipinang oleh pemuda dari  keluarga C. Disepakati satu (1) batang gading gajah sebagai belis kepada keluarga A. Maka komitmen keluarga A kepada keluarga  B, keluarga B kepada keluarga C, dan keluarga C kepada keluarga A, dianggap selesai. Selisih batang gading gajah  yang harus diterima masing-masing keluarga tidak diperhitungkan.

Ini lah esensi kearifan likat matan telo yang menempatkan perempuan Lamaholot setara satu dengan yang lain.

Selain kedua hal tersebut ada banyak tradisi lain, yang masih diyakini oleh Orang Lamaholot, sebagai penegasan penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan. Tradisi “bala rarane”, dan ungkapan “liwu ata bala, honge ata witi,  ne olune hala”, atau larangan menjual belikan gading gajah  adalah contoh lain dari penghormatan pada Perempuan yang disimbolkan oleh gading gajah sebagai belis di  Lamaholot.

Hari ini, ketika belis, mahar atau mas kawin masih dilihat dengan sudut pandang nilai komersial maka perempuan manapun masih mendapat perlakuan yang tidak selayaknya dalam perkawinan. Ketika seorang istri dianggap telah “dibeli” dengan mas kawin, mahar atau belis maka bisa saja itu menjadi alas an untuk memperlakukan perempuan sebagai sesuatu. Bukan sebagai pribadi yang utuh, yang harkat dan martabatnya setara sebagai manusia.

Baca Juga: Surat Dari Adonara; November 2019

Kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Prempuan, yang dimulai pada 25 November  yang dirayakan sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Pada Perempuan hingga 10 Desember, harus dimanfaatkan untuk  menempatkan sudut  pandang yang semestinya terhadap mas kawin, belis atau mahar dalam sebuah perkawinan.

Bahasa-bahasa symbol yang ada pada mahar, mas kawin atau belis harus benar-benar sampai kepada masyarakat luas. Jangan sampai komitmen dan sakralitas sebuah perkawinan; yang menyatukan dua pribadi yang setara harkat dan martabatnya serta keluarga besar masing-masing pihak, kalah dari sudut pandang komersial dari mas kawin, mahar, belis atau apapun istilahnya. (Foto : medcom.id)

Sebarkan Artikel Ini:

12
Leave a Reply

avatar
12 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? – Surat Dari Adonara; November 2019 –  […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Ayo Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]

trackback

[…] Baca juga: Mahar Gading Gajah Lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot? […]