Eposdigi.com – Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Chelios), Bhima Yudistira, seperti pada tulisan yang tayang kemarin di media ini, mengungkapkan ada enam faktor yang disinyalir menjadi penyebab petani hidup jauh dari standar hidup layak.
Pertama: Meningkatnya biaya produksi di bidang pertanian. Kedua : Rantai pasok atau jaringan distribusi dan logistic dari petani ke konsumen akhir sangat panjang.
Ketiga: Praktik tengkulak yang masih marak di tengah para petani kita. Empat: Lahan pertanian yang semakin sempit. Lima: Infrastruktur pertanian yang belum menjawab kebutuhan para
petani. Dan enam: Impor komoditi pertanian termasuk beras.
Benar bahwa keenam faktor ini, oleh Bhima Yudistira dikaitkan erat dengan selalu meningkatnya harga beras dipasaran, sementara petani padi masih banyak yang hidupnya di bawah garis kemiskinan.
Baca Juga:
Enam hal Ini yang Menjadi Biang Keladi Petani Kita Belum Sejahtera
Karena apa yang diungkapkan peneliti Chelios ini adalah terutama untuk komoditi beras maka, dalam konteks Flores Timur, kita harus menyesuaikan diri sesuai dengan konteks kita, dalam menelaah enam faktor ini.
Seperti judul tulisan ini, manakah dari keenam faktor yang menjadi biang keladi kemiskinan petani, yang benar-benar sesuai dengan konteks Flores Timur?
Di Flores Timur, tidak pas jika kita berbicara soal padi. Mayoritas petani kita adalah petani subsisten yang mengolah tanah untuk konsumsi sendiri. Entah itu berupa pangan ataupun berupa pakan.
Jadi barangkali kita juga harus menyesuaikan diri lagi. Konteksnya harus diper-rinci kembali. Jika tidak berbicara tentang pertanian maka, kita akan menyinggung komoditi lain, perkebunan misalnya.
Hasil – hasil kebun kita yang menjadi sumber penghasilan – bahkan jika itu bukan sumber penghasilan utama – apakah juga mengalami nasib yang sama seperti padi dalam telaah Chelios di atas?
Baca Juga:
Bagaimana dengan petani kita di Flores Timur? Faktor-Faktor apa saja yang menghambat petani kita menjadi lebih sejahtera?
Pertama: kita tidak dapat menutup kemungkinan bahwa banyak komoditi kita mungkin telah melewati usia produktif. Jambu Mete, Kelapa, Kopi, dan banyak komoditas lain, sudah berusia lanjut sehingga tingkat produktivitasnya menurun.
Kedua: Intervensi teknologi tepat guna baru yang hamper belum terlihat. Pola dan cara kita bertani masih konvensional. Dalam banyak hal masih sama, dan kalaupun ada perubahan, itupun dalam skala yang sangat-sangat kecil.
Kita belum banyak mengadopsi cara-cara baru, teknologi tepat guna yang baru yang secara sengaja dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil produksi, walaupun disadari betul bahwa banyak komoditi kita sudah melampaui usia produktif.
Ketiga: Harga ditangan Tengkulak.. Tidak dipungkiri bahwa para pedagang, pengepul kita tidak menggunakan modal sendiri. Mereka menggunakan modal dari Bos Besar, siapapun dia untuk mengumpulkan komoditas-komoditas pertanian dan perkebunan kita hingga langsung ke petani.
Baca Juga:
Tentu saja para pengepul ini sudah memiliki daftar harga beli komoditi yang sudah di patok oleh pemilik modal. Dan kalaupun ada pengepul-pengepul kecil yang menggunakan modal sendiri pun sering tidak bisa mengintervensi harga pasar. Selalu harga ditentukan oleh mereka yang beli.
Apalagi jika banyak petani kita baru melepas komoditi mereka ke pasar ketika butuh uang. Komoditi kelapa misalnya. Karena kebutuhan yang mendesak ini maka berapapun harga yang ditawarkan pembeli, cenderung di ia-kan begitu saja.
Keempat : Rantai pasok yang panjang. Harga ditangan tengkulak. Semakin banyak pemain dalam rantai pasok maka margin petani semakin menipis.
Panjangnya rantai pasok ini berarti bahwa setiap orang yang terlibat dalam rantai ini menghendaki keuntungan. Seberapapun besarnya keuntungan tersebut. Sayangnya harga paling rendah setelah hitung keuntungan para pengendali rantai pasok ini, adalah di tangan petani.
Lima: Suprastruktur dan infrastruktur penunjang belum memadai.Biaya pengiriman dar petani hingga ke pembeli akhir selalu dibebankan kepada petani. Beban ini mengakibatkan harga jual komoditi di tingkat petani semakin berkurang.
Baca Juga:
Apalagi jika tidak ada intervensi dari pemegang kebijakan. Akses permodalan yang belum terbuka luas dan memudahkan petani terhindarkan dari para tengkulak dengan sistem ijon.
Singkat kata, pemerintah masih tunduk dan bersembunyi di balik “mekanisme pasar’ sehingga sepertinya belum mengambil kebijakan yang tepat untuk melindungi para petani.
Lima hal ini yang terlintas ketika mencoba menganalisa secara sederhana biang kerok pendapatan petani kita di Flores Timur belum sejahtera. Lima hal ini tentu tidak berlaku absolut. Mungkin hanya sebagian, atau bahkan lebih banyak faktor lain.
Minimal kita memperoleh gambaran bahwa kita memiliki banyak komoditi yang layak jual di kebun-kebun kita. Hanya saja komoditi-komoditi ini belum mengantar petani kita menjadi lebih sejahtera.
Baca Juga:
Apa Saja Infrastruktur Vital Bidang Pertanian dalam Era Industri 4.0?
Tulisan ini lebih pada mengajak kita semua berpikir, menganalisis, mengevaluasi faktor apa yang tepatnya menjadi biang kerok pendapatan petani kita rendah. Kemudian semoga saja kita menemukan alternatif-alternatif yang dapat membantu kita keluar dari kenyataan bahwa petani kita belum sejahtera. Lahir dan Batin. Atau bagaimana menurut digiers?
Leave a Reply