Pahitnya Gula di Lidah Petani Tebu Hindia Belanda, Semoga Tidak Dialami Petani Komoditi Lain Saat Ini

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kita pernah merajai tataniaga gula dunia. Pada zaman kolonial Belanda, Tebu dan Industri Gula Benar-benar menjadi Penggerak Ekonomi Hindia Belanda. Apalagi saat itu, di dukung oleh UU Agraria dan UU Gula pada tahun 1870.

Dukungan pada industri gula, dari hilir di petani-petani tebu, sektor produksi gula hingga pemasarannya benar-benar menjadi perhatian pemerintah. Kehadiran pemerintah Hindia Belanda lewat UU Gula tahun 1870 tersebut, benar-benar membawa HIndia Belanda merajai pasar gula global.

Amanat dari Undang-Undang Gula ini benar-benar dijalankan oleh pemerintah. Insentif berupa pemberian kredit, keistimewaan dalam distribusi dari petani hingga ke pabrik, petani diberi bibit tebu anti-hama untuk dibudidayakan.

Insentif-insentif seperti ini membuat tanaman tebu menjadi primadona. Dibantu oleh UU Agraria, banyak lahan-lahan kosong kemudian ditanami tebu. Singkatnya, jika ada lahan kosong pasti kemudian muncul tanaman tebu.

Alhasil, pemerintah Hindia Belanda benar-benar merajai tata niaga gula dunia. Pada tahun 1885 tercatat Hindia Belanda memproduksi 380.400 metrik ton. Bahkan menjelang abad dua puluh, Hindia Belanda memecahkan rekor tertinggi produksi gula hingga 744.300 metrik ton.

Baca Juga:

Hari Tani Nasional dan Tantangan Kedaulatan Pangan

Tidak hanya pemerintah Hindia Belanda yang kebanjiran cuan dari industri gula. Seorang pengusaha asal Semarang, Oei Tiong Ham lewat perusahaannya Oei Tiong Ham Concern (OTHC) kemudian dijuluki Raja Gula dunia.

Dalam kurun 1911 – 1912, OTHC mengekspor 60 % gula dari Hindia Belanda, atau setara dengan 200.000 metrik ton. Tapi itu dulu.

Kini Indonesia bahkan menjadi tiga besar negara di dunia yang mengimpor gula. Pada periode tahun 2022 – 2023 lalu Indonesia tercatat di Departemen Pertanian AS sebagai importir terbesar gula di dunia, sebanyak 5,8 juta ton.

Apa yang terjadi, sebenarnya? Mengabaikan peran Jepang yang menutup begitu banyak pabrik gula Hindia Belanda, fakta mengejutkan dari tata niaga gula di Hindia Belanda juga ditemukan.

Banyak pengusaha nakal, mengabaikan UU Agraria dan UU Gula, menekan sewa lahan para petani, sekaligus menurunkan upah petani penggarap kebun-kebun tebu.

Pengusaha tebu semakin kaya, sementara petani tidak menjadi bagian dari kekayaan berkat ekspor gula Hindia Belanda. Tebu tidak lagi menjadi primadona yang membanggakan di kalangan petani.

Baca Juga:

Mengakses Pasar untuk Komoditi Pertanian di NTT

Melengkapi tulisan ini, kami mencoba mencari referensi tambahan mengenai kebijakan pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan untuk mengembalikan kejayaan industri gula di tanah air.

Konteks tulisan ini bukan mengarah pada bagaimana peran pemerintah. Lebih pada melihat bagaimana posisi petani dalam tata niaga komoditi yang mereka hasilkan.

Gula menjadikan Hindia Belanda pemain paling top tata niaga gula dunia, pada saat yang sama pengusaha menekan harga sewa lahan sekaligus upah para petani penggarap. Industri Gula maju, nasib petani jalan di tempat.

Dalam konteks ini, apapun komoditas yang dihasilkan petani, selama para petani tidak menjadi bagian dari tata niaga hasil komoditas mereka sendiri, maka besar kemungkinan, nasib para petani gula zaman Hindia Belanda akan terjadi lagi pada banyak petani komoditas lain di Indonesia.

Dalam Konteks Flores Timur kita bisa bertanya, seberapa besar petani turut terlibat dalam tata niaga komoditi yang mereka hasilkan? Apakah para petani memiliki cukup kekuatan untuk menentukan harga beli, atau apakah mereka dapat mengintervensi lingkaran distribusi hasil pertanian mereka hingga ke pengguna terakhir?

Flores Timur tidak sedikit menghasilkan kopra, kacang mede, vanila, kopi, coklat, rumput laut bahkan mutiara. Pertanyaan besarnya adalah apakah para petani kita benar-benar terlibat dalam tataniaga dari komoditi yang mereka hasilkan?

Baca Juga:

Setelah Pendidikan, Ini Suprastruktur Pertanian NTT Lainnya

Apakah mereka adalah ‘TUAN” dari komoditi tersebut atau mereka sekali lagi ‘DIJERAT” oleh pengusaha lewat sistem kulak dan penentuan harga yang tidak tahu dari mana datangnya?

Atau apakah ada kesediaan dari entah siapa, entah pemerintah daerah di Flores Timur, entah Pengusaha, atau oleh siapa saja untuk melibatkan petani dalam memberi nilai tambah bagi komoditi mereka sebelum di jual ke pemakai akhir?

Masa depan Flores Timur sedikit banyak ditentukan oleh pilihan-pilihan jawaban yang akan kita ambil atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.

Foto dari jabarekspres.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of