Enam hal Ini yang Menjadi Biang Keladi Petani Kita Belum Sejahtera

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Konon katanya, negeri kita yang agraris ini loh jinawi. Subur makmur, Kekayaan alam melimpah. Tongkat kayu dan batu menjadi tanaman. Konon katanya.

Sayangnya kenyataan tak seindah ‘konon katanya’ ini. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) menjelaskan bahwa pada Maret 2024 total penduduk miskin di Indonesia sebesar 25,9 Juta.

Diantara jumlah tersebut Rumah Tangga Pertanian (RPT) sebanyak 10.34 juta jiwa, 3,6 juta lainnya adalah buruh tani. Data lain misalnya; Survei Terpadu Pertanian 2021 mengungkapkan bahwa Petani Indonesia hidup dibawah rata-rata. Penghasilan para petani ini bahkan kurang dari 1 USD per hari atau di bawah Rp5 juta setahun.

Jika demikian apa yang menyebabkan para petani kita belum sejahtera?

Bhima Yudistira dari Center of Economic and Law Studies (Chelios) mengungkapkan enam faktor yang menjadi penyebab harga komoditi terutama beras mahal namun para petani tetap hidup dibawah garis kemiskinan.

Baca Juga:

Menakar Upaya READSI Daulatkan Petani NTT

Pertama: Meningkatnya biaya produksi di bidang pertanian. Disadari atau tidak, bahwa biaya produksi pertanian semakin meningkat tahun demi tahun. Cara cara baru, inovasi-inovasi di bidang pertanian mengakibatkan struktur biaya meningkat.

Dalan kasus beras misalnya, biaya pupuk dan pestisida yang meningkat seharusnya membuat petani meningkatkan harga gabah mereka. Sayangnya para petani kita tidak menjadi penentu harga gabah. Mereka terpaksa menyesuaikan harga gabah agar bisa terjual.

Penyesuaian harga gabah inilah yang menggerus margin pendapatan mereka.mereka terpaksa melepas gabah pada tingkat harga rendah sehingga keuntungan yang mereka peroleh pun semakin kecil.

Petani kita tidak punya banyak pilihan atau mungkin tidak memiliki pilihan sama sekali ketika : harga komoditi mereka, biaya produksi dan semua biaya yang mereka keluarkan tidak dalam kendali mereka, melainkan hanya segelintir orang saja.

Baca Juga:

Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial?

Kedua : Rantai pasok atau jaringan distribusi dan logistic dari petani ke konsumen akhir sangat panjang. Rantai panjang dengan banyak simpul ini mengakibatkan semakin mahalnya harga dari tingkap petani ke konsumen akhir.

Sayangnya petani bukanlah penikmat dari pasar kecil ini. Beras mereka hasilkan dari padi yang ditanam, namun harga jual atas beras itu tidak dalam kendali mereka.

Rantai pasok yang panjang dengan banyak simpul ini artinya bahwa setiap simpul akan memperoleh manfaat, mengambil margin masing-masing, akibatnya harga beras naik. Sayangnya kenaikan harga ini hanya semata-mata untuk meningkatkan pendapatan para pemain rantai pasok. Bukan petani secara langsung.

Ketiga: Praktik tengkulak yang masih merak di tengah para petani kita. Kebutuhan akan uang cepat yang tidak bisa dikontrol menjadi kesempatan para tengkulak untuk melakukan sistem ijon. Para petani terpaksa menjual komoditi yang mereka hasilkan terlebih dahulu bahkan sebelum panen.

Baca Juga:

Suprastruktur Untuk Merubah Lahan Pertanian Kering di NTT

Petani sudah mendapatkan uang dari para tengkulak. Karena itu mereka tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menentukan harga. Berapapun harga yang ditentukan oleh tengkulak, itulah harga jual meeka.

Empat: Lahan pertanian yang semakin sempit. Populasi manusia yang bertambah mengakibatkan kebutuhan akan barang konsumsi lainya meningkat juga. Perumahan, pabrik-pabrik cenderung mengambil alih lahan pertanian.

Akibatnya lahan pertanian berkurang.  Berkurangnya lahan pertanian berarti berkurangnya produksi pertanian. Produksi pertanian yang berkurang berarti pendapatan masyarakat petani kita berarti berkurangnya tingkat kesejahteraan yang mereka miliki.

Baca Juga:

Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional

Lima: Infrastruktur pertanian yang belum menjawab kebutuhan para petani. Banyak ditemukan infrastruktur pertanian dibangun namun jauh dari kebutuhan para petani. Misalnya banyak bendungan baru dibangun namun saluran –saluran irigasi dari bendungan ke lahan-lahan pertanian belum tersedia.

Enam: Impor komoditi pertanian termasuk beras. Hal ini yang lebih membuat runyak tata niaga beras dan atau komoditi pertanian lain. Impor beras bahkan dibuka pada saat panen raya. Akibatnya serapan gabah ditingkat petani berkurang.

Karena permintaan pasar berkurang karena stok melimpah dari impor maka pilihan petani hanyalah mencoba melepas beras mereka ke pasar dalam harga yang rendah.

Enam faktor ini yang ditemukan Celios, yang menjadi biang keladi belum sejahteranya petani kita.

Foto dari kompas.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of