Eposdigi.com – Pandemi covid-19 adalah contoh terbaik yang menggambarkan betapa buruknya komunikasi antarsektor pembangunan baik itu di bidang kesehatan, pendidikan dan pertanian, maupun pertahanan nasional.
Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengelaborasi lebih lanjut bagaimana proses sosial politik yang menyebabkan wacana tentang pembangunan pertanian di Indonesia kurang diminati dan seperti apa implikasinya bagi kehidupan masyarakat, terutama kaum muda Indonesia.
Punahnya Petani Muda: Beberapa catatan Sementara
Terdapat begitu banyak eksemplar yang menunjukkan penurunan jumlah tenaga kerja di samping rendahnya minat kaum muda terhadap sektor pertanian.
Kementerian Pertanian (2018) mencatat, terdapat 36.956.111 jiwa yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2017 dan mengalami penurunan sebanyak 1.080.722 jiwa pada tahun 2018.
Meskipun penyerapan tenaga kerja di sektor ini cukup besar yakni sebanyak 36,9%, namun komposisi itu didominasi oleh generasi tua.
Baca Juga : Tantangan Indonesia 4.0 di Bidang Pertanian
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (PPSDMP) Kementerian Pertanian melaporkan bahwa petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya berjumlah 2,7 juta orang.
Demikian pula data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2019), di mana jumlah petani muda berkurang 415.789 orang dari tahun 2017 ke 2018. (Tempo.co, 13 April 2020).
Tidak berhenti di situ, Survei Pertanian Antar Sensus 2018, berdasarkan kategori jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut kelompok umur, mencatat bahwa kepala rumah tangga usaha pertanian berusia di atas 54 tahun berjumlah 10.379.211 sedangkan petani muda berusia 25-34 tahun berjumlah 2.722.446.
Fenomena di atas berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika. Berdasarkan riset yang dipublikasikan Tirto.id (Minggu, 3 Desember 2017), terjadi peningkatan minat bertani di kalangan kaum muda. Keputusan bertani sejumlah pemuda Amerika itu bukan karena faktor uang, apalagi kekuasaan politik.
Tidak ada misi yang wah seperti mengentaskan kemiskinan maupun membantu pemerintah menuntaskan program-program kesejahteraan.
Alasan mereka ternyata sangat sederhana yakni bosan dengan kehidupan kota, keinginan melakukan perubahan kecil di lingkungan sekitar, dan khawatir akan situasi perubahan iklim yang kian memprihatinkan.
Beberapa Problem Utama
Keengganan generasi muda menggeluti kancah pertanian justru lahir dari tidak adanya kerja sama lintas sektor pembangunan. Khusus tentang pertanian, terdapat beberapa faktor penting yang mesti dibicarakan, antara lain:
Pertama, pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal di Indonesia tidak memberi perhatian yang serius terhadap pertanian sebagai sebuah profesi yang mulia, bahkan sejak dalam keluarga.
Alih-alih mendorong anak untuk menggeluti kancah pertanian, sistem pendidikan absen mengelaborasi dimensi paling sublim yakni harga diri seorang petani.
Di Pulau Flores, NTT misalnya, sangat jarang didengar, seorang anak diapresiasi ketika bercita-cita menjadi seorang petani, alih-alih pekerja kantoran atau menjadi pastor Katolik.
Baca Juga: COVID-19 dan Jalan Menuju Kedaulatan Pangan di Desa
Hilangnya dimensi konstitutif inilah, dalam arti yang luas, menyebabkan program dinas pendidikan tidak berkorelasi secara positif dengan sektor pertanian.
Kedua, ideologi industrialisasi. Masih berkaitan dengan poin pertama, dominannya ideologi industrialisasi menyebabkan kaum muda didoktrin bahwa masa depan yang lebih menjanjikan hanya dapat diraih dengan cara mengambil bagian dalam mekanisme industrialisasi di pasar jasa.
Gejala ini turut diperparah dengan tingginya mobilitas sosial termasuk urbanisasi yang menyebabkan jumlah tenaga kerja pedesaan yang bekerja dan mencari pekerjaan di kota semakin bertambah.
Sebagian besar berorientasi pada pekerjaan di sektor non pertanian, baik di sektor formal maupun informal (Sumaryanto, dkk., 2015).
Persis di situ, muncul pertanyaan: berbeda dengan Indonesia, mengapa generasi muda Jepang dan Singapura misalnya, maju dalam sektor industri jasa namun tidak meninggalkan sektor pertanian? Ya, karena dua negara tersebut mempraktekkan kerja sama lintas sektor tersebut.
Ketiga, geopolitik pangan. Saya mengapresiasi apa yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, “pangan atau logistik memang tidak serta-merta bisa memenangkan pertempuran, tetapi tanpa logistik, pertempuran tidak dapat dimenangkan” (KompasTv, 23 Oktober 2020).
Itu berarti, pertahanan sebuah negara bukan hanya pada ketersediaan alutsista dan strategi pertempuran melainkan juga strategi pangan. Mengapa perspektif ini tidak muncul dalam pembicaraan publik, terutama aparatus negara?
Baca Juga: Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial?
Alih-alih memperkuat sektor pertanian, BPS (2018) mencatat, luas lahan pertanian menyusut tiap tahun yakni sebesar 7,1 juta hektare (Ha) pada tahun 2018, menurun dari 7,75 juta Ha pada tahun 2017.
Padahal, Indonesia memiliki potensi 12,7 juta Ha program perhutanan sosial dalam kawasan hutan dan yang baru dimanfaatkan hanya sekitar 4,2 juta Ha.
Mengatasi hal di atas, terdapat beberapa alternatif gagasan dalam rangka mendukung ketahanan pangan Indonesia di masa depan, antara lain:
Pertama, menumbuhkembangkan minat anak terhadap pertanian. Dalam hal ini, antara sektor pendidikan dan pertanian hendaknya bekerja sama untuk memikirkan bagaimana caranya memperkenalkan pertanian kepada generasi muda sejak dini melalui rekayasa terhadap mata pelajaran tertentu di sekolah.
Kedua, pendekatan lintas sektoral. Memang, sektor pertanian mengalami peningkatan sebesar 16,24% sebagaimana diklaim oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Antaranews.com, 3 September 2020) dan diperkuat juga oleh data dari BPS di mana sepanjang April-Juni 2020, kinerja sektor pertanian bertumbuh 2,19 persen secara tahunan.
Namun peningkatan itu tidak sejajar dengan kesejahteraan petani karena menurunnya daya beli masyarakat dan lesunya permintaan pasar karena pandemi covid-19. Dengan kata lain, kebijakan politik pembatasan dan karantina wilayah justru menghancurkan serentak menghambat distribusi pangan.
Itu berarti, Kementan mestinya terus mendorong efisiensi rantai pemasaran dengan memfasilitasi kerja sama antara petani dan produsen dengan sejumlah layanan berbasis online seperti Go-Jek, Grab, Blibli, dan lain sebagainya.
Atau, memperbanyak proyek percontohan seperti yang dikembangkan pemerintah di Brebes, Jawa Tengah atau aplikasi digital validasi data bernama “HARA” yang digunakan di Lampung dan Merauke.
Ketiga, mustahil membayangkan kualitas geopolitik pertanian tanpa memperhatikan kemandirian dalam negeri.
Mempertimbangkan bahwa 70 persen pertanian di Indonesia merupakan pertanian rakyat yang independen dan tidak tergantung pada modal dari luar negeri, pemerintah perlu fokus pada peluang ini, termasuk memberikan suntikan modal yang signifikan.
Foto: twitter.com
[…] Ayo Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional […]
[…] Ayo Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional […]
[…] Ayo Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional […]
[…] Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional […]
[…] Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional […]
[…] Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional […]