Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial?

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Revolusi Industri pada sekitar 200 tahun lalu ditandai dengan ditemukannya mesin uap. Mesin uap kemudian mendorong industrialisasi pada banyak bidang. Termasuk bidang pertanian.

Pengolahan tanah pertanian yang sebelumnya hanya mengandalkan tenaga manusia dan hewan, beralih menggunakan mesin-mesin pertanian bertenaga uap. Sejak saat itu para petani mengenal dan bersentuhan dengan mesin-mesin pertanian.

Hari ini, di banyak tempat di Indonesia, para petani masih menggunakan peralatan sederhana untuk mengolah lahan pertanian miliknya. Tentu, peralatan sederhana ini masih menggunakan tenaga manusia. Bukan mesin pertanian modern. Walaupun belakangan ini, dalam jumlah yang masih sangat terbatas, beberapa petani menggunakan peralatan moderen seperti traktor untuk mengolah tanah.

Ayo Baca Juga: Tantangan Indonesia 4.0 di Bidang Pertanian

Jika mesin-mesin pertanian manual saja masih menjadi barang langka untuk banyak petani, apalagi mesin-mesin pertanian canggih dengan sentuhan teknologi 4.0? Pun dalam konteks petani di NTT. Apalagi jika sebagian besar petani NTT adalah petani subsisten. Mengolah lahan pertanian yang tidak seberapa luas hanya untuk konsumsi keluarga saja.

Menjadi pertanyaan, apakah petani subsisten tidak boleh bersentuhan dengan teknologi pertanian? Bagi saya pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Memiliki atau bahkan sekedar menyewa pun tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dengan luas lahan yang tidak seberapa, tentu biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan mesin pertanian modern pasti tidak ekonomis dan menguntungkan para petani. Pada saat yang sama menjadi petani saat ini tentu bukan pilihan yang lazim bagi kalangan milenial.

Menjadi petani tentu bukan pilihan lazim bagi generasi milenial saat ini. Bisa dipahami. Lahan pertanian bukan tempat yang ramah bagi mereka yang menghamba pada keuntungan besar dari cara yang instan.

Maka menjadi PR besar adalah bagiamana merubah cara pandang generasi milenial bahwa masa depan mereka adalah di kebun. Pada lahan pertanian. Dari kebunlah pada generasi milenial ini menentukan damai dan perang di bumi.

Dan cara yang paling mungkin untuk itu adalah melalui contoh nyata keberhasilan figur-figur petani milenial. Jika demikan, dalam konteks NTT apakah kita mudah menemukan figur-figur yang demikian itu?

Ayo Baca Juga: COVID-19 dan Jalan Menuju Kedaulatan Pangan di Desa

Pekerjaan besar ini butuh perhatian dan sinergi dari semua pihak. Infrastruktur pertanian misalnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan menyiapkan dengan serius sumber daya – sumber daya manusia bidang  pertanian.

Lembaga-lembaga penelitaian bisa berbagi peran menyiapkan teknologi rekayasa benih, hingga pasca panen. Sementara masyarakat luas menjadi bagian dari pekerjaan besar ini lewat lahan yang dimilikinya.

Luas lahan yang terbatas orang per orang, barangkali sangat sulit untuk mendapatkan skala ekonomis tertentu, bahkan jika itu hanya untuk konsumsi rumah tangga sendiri .  Butuh kesediaan masing-masing petani untuk mengolah bersama-sama lahan milik mereka.

Pengelolaan bersama ini tentu banyak manfaatnya. Akses terhadap berbagai peralatan pertanian bisa lebih murah dan terjangkau. Dan dengan sentuhan berbagai teknologi pertanian itu diharapkan dapat meningkatkan produksi pada skala  ekonomi yang cukup.

Hasil pertanian yang bisa mendorong kemandirian dan kedaulatan petani. Lalu kemudian karena skala ekonomis telah tercukupi maka selanjutnya untuk kebutuhan komersial. Berbagai hasil pertanian bisa dijual untuk mendatangkan penghasilan bagi masing-masing petani.

Skenario ini tentu jauh lebih murah jika petani berdaulat mulai dari benih. Pada titik ini,  peran pemerintah tidak hanya pada infrastruktur pertanian, melainkan juga pada suprastruktur bidang pertanian.

Ayo Baca Juga: Negara-Negara ini Punya Teknologi Maju di Bidang Pertanian, Bagaimana Dengan Indonesia?

Regulasi-regulasi mesti dipikirkan secara serius. Memfasilitasi akses para petani  terhadap modal, sinergi dengan dunia pendidikan untuk menyiapan kurikulum, menciptakan dan menghadirkan berbagai alternatif pemasaran.

Sinergi dengan dunia pendidikan menjadi dasar dari pekerjaan besar – membawa sebanyak mungkin petani milenial  ke kebun – ini.

Menyiapkan kurikulum pendidikan dan pelatihan mulai dari lahan pertanian di hulu, proses memberi nilai tambah pada tahap paska panen, hingga mengembangkan berbagai alternatif pemasaran.

Semua suprastruktur bidang pertanian ini harus berangkat dari fokus pada kesejahteraan para petani, langsung maupun tidak langsung.

Integrasi semua proses, mulai dari lahan pertanian di hulu, benih dan berbagai proses di kebun, paska panen, hingga hilir: pemasaran ke konsumen akhir menjadi rantai yang terhubung satu sama lain. Ujung dari rantai ini adaah petani sejahtera.

Dan cerita sukses para petani yang sejahtera ini adalah iklan paling efektif untuk menarik lebih banyak lagi petani milenial untuk menekuni lahan pertanian.

Ilustrasi dari 8villages.com

Sebarkan Artikel Ini:

3
Leave a Reply

avatar
3 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial? […]

trackback

[…] Ayo Baca Juga: Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial? […]

trackback

[…] Baca Juga: Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial? […]