Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Pengantar

Eposdigi.com – Pada suatu acara makan bersama di kampung pada waktu berlibur di kampung, saya bertanya, apakah ada jagung titi di rumah. Saudara-saudara saya kelabakan. Mereka saling bertanya apakah di rumah atau rumah tetangga ada persediaan jagung titi.

Di lain kesempatan ketika kami pulang kampung, banyak saudara datang berkunjung dan bercerita ramai sampai jelang malam. Lalu salah satu ina mengambil inisiatif untuk mempersiapkan makan malam: “ma’ang waha saseteng lodo ti kame mete pile .” (keluarkan beras dalam karung biar kami mulai pilih pisahkan kerikil dan kutu beras).

Baca Juga: Krisis Pangan Mengintai di balik Punggung Corona

Kasus absennya jagung titi dari meja makan dan referensi persediaan pangan ke “karung” yang adalah makhluk asing dalam narasi kedaulatan pangan dan kultur makan kita adalah signal darurat kedaulatan pangan kita.

Makanan pokok kita mulai tergusur, cara berpikir ekonomi pangan kita pun berubah perlahan tapi pasti: kebang, lepong-boka, gae wata, bayu waha, etc digantikan oleh kemudahan yang ditawarkan warung dan pasar.

Dan tragisnya, tak ada yang menyadari, apalagi menangisi, fenomena ini sebagai kehilangan sebagian dari identitas kultural dan melemahnya ketahanan budaya kita.

Kapitalisme menawarkan berbagai kemudahanan. Pasar, kios dan warung bahan pangan berubah menjadi jalan masuknya produk pangan luar yang menyerbu dan mendominasi isi piring makan dan gelas minum kita.

Tak ada yang cemas. Orang malah bersyukur dan merayakan masuknya kapitalisme sebagai hadirya modernisasi.

Baca Juga: Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial?

Dulu orang berteriak bahwa mereka tidak bisa memasarkan hasil bumi mereka karena jalan rusak. Namun ketika jalan raya itu sudah jadi, mulus, lebar, dan lancar, aktivitas ekononi memasarkan barang yang diteriakkan itu justru tidak terjadi.

Yang terjadi sesungguhnya adalah pembangunan jalan raya yang mulus itu menjadi tindakan memfasilitasi masuknya gurita kapitalisme dan menguasai hajat hidup orang banyak di kampung-kampung sampai ke ruang-ruang privat kita.

Tidak ada aktivitas ekonomi berarti yang tumbuh memanfaatkan kehadiran ‘jalan mulus dan lebar’ antara Tobilota-Tanah Merah melalui Koli dan menuju Witihama dan pantai timur Adonara.

Baca Juga: COVID-19 dan Jalan Menuju Kedaulatan Pangan di Desa

Jalan yang mulus justru  mendorong orang membeli produk-produk kapitalis seperti sepeda motor, bahan bakar dan tentu budaya hedonis.

Semua cerita ini untuk menunjukkan kebenaran fenomena streaming-up economy: masyarakat kecil mensubsidi kemakmuran orang-orang kaya, mensubsidi industri otomotif Jepang, Cina, Korea dan Amerika.

Petani kecil di desa mensubsidi orang kaya di kota dan raksasa industri pangan instan, dst. Bank Dunia sudah membuktikan bahwa sebagian besar kekayaan negara-negara maju justru disubsidi oleh negara-negara (ter)miskin di dunia.

Dalam uraian selajutnya, saya akan fokus pada tiga isu pokok: (1) petani dan kerentanan pola pertanian tanaman pangan; (2) ekonomi neoliberal dan lumpuhnya “system saraf” kesadaran akan ketahanan dan kedaulatan pangan kita; serta (3) membangun kedaulatan petani sebagai syarat kedaulatan pangan. Bersambung…..

Pemikiran dalam tulisan  ini disampaikan pada diskusi online Epu Oring Adonara, 9 Maret 2021 

 Foto: nusantaranews.co

Sebarkan Artikel Ini:

3
Leave a Reply

avatar
3 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme […]

trackback

[…] Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme […]

trackback

[…] Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme […]