Eposdigi.com – Tiga faktor terpenting (di antara banyak faktor lain) penyebab terjadinya kerentanan pertanian tanaman pangan kita, adalah (1) lestarinya pola pertanian subsisten tanpa transformasi teknologi pertanian (termasuk teknologi pengolahan pangan lokal);
(2) dilema petani subsisten: menjaga keseimbangan pemenuhan kebutuhan dasar pangan dan non-pangan; dan (3) jebakan pasar bebas: konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan tanaman perdagangan agar petani bisa pegang uang.
Pola pertanian subsisten tanpa transformasi teknologi pertanian
Pola pertanian kita masih bertahan nyaman di zona pertanian subsisten – yaitu pola pertanian yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam 50 tahuh terakhir pola pertanian kita nyaris tidak berubah, tidak ada sentuhan teknologi yang berarti, seolah tersandra pada pola pertanian masyarakat peramu, pertanian pra-agriculture: tebang, bakar, tanam, panen.
Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme
Hampir tak ada jejak-jejak sentuhan teknologi pertanian sebagai bukti kemajuan peradaban di bidang ilmu pertanian mulai dari proses pengolahan tanah hingga budidaya dan pasca-panen.
Bahkan upaya mempertahankan kesuburan tanah seperti pembuatan terasering untuk mencegah erosi atau pemanfaatan pupuk organik pun lolos dari kesadaran bersama. Padahal kita tahu, tanah pertanian Adonara bukanlah tanah yang subur dengan persediaan unsur hara berlapis dan tidak terbatas.
Orang menanam kelapa, kopi, jambu mete, koko, dan lain sebagainya tanpa sentuhan pengetahuan minimal seperti pengaturan jarak, pemangkasan, penjarangan, peremajaan, penyulaman, dan lainnya
Yang terjadi adalah munculnya program-program reaktif seperti penjarangan jarak tanaman setelah tanaman seperti jambu mete bertumbuh rimbun daun tapi miskin buah dan menjadi gua gelap di bawahnya.
Kita hanya bisa menanam lalu menyerahkan urusan selanjutnya pada alam. Ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian dan pasca-panen, manajemen pemasaran, teknologi (pengolahan) pangan – semuanya absen dalam mengawal proses transformasi pola pertanian dan cara berpikir petani.
Baca Juga: Hari Tani Nasional; Apakah Petani berdaulat atas lahan dan benih?
Kita seolah berada di sebuah planet terisolasi yang tidak terekspos terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan.
Kita sadar bahwa alam memiliki keterbatasan untuk diubah atau dimanipualsi untuk kepentingan pertanian tanaman pangan. Kita bisa mengolah sampah menjadi pupuk untuk tanah yang tandus, tetapi kita tidak bisa mengubah dan mengatur iklim atau menentukan lama musim hujan dan besaran curah hujan.
Terlalu mahal investasi untuk menghancurkan batu-bertanah dalam skala luas agar berubah menjadi tanah berbatu sehingga layak ditanami tanaman pangan.
Tetapi teknologi kreatif tepat guna sangat mungkin diadopsi dan diadaptasi bagi keperluan mengatasi keterbatasan alam di atas untuk pertanian lahan kering pada sebuah daerah seperti di Adonara.
Persoalanannya bukan saja terletak pada rendahnya minat belajar anak-anak muda terhadap ilmu-ilmu pertanian, peternakan dan perikanan sebagai disiplin ilmu dan pembentukan profesi, tetapi juga pada rendahnya kemampuan menangkap stimulus dan mempelajari contoh-contoh perkembangan teknologi kreatif yang amat mempesona di bidang pertanian, peternakan dan perikanan yang kita jumpai di luar Adonara.
Dilema petani subsisten: menjaga keseimbangan pemenuhan kebutuhan pangan dan non-pangan
Pada suatu ketika, kebun kita masih kaya unsur hara (kaena baru selesai buka hutan alam), tanaman pangan masih bertumbuh subur, panen melimpah, “kebang” dan “lepong-boka” terisi penuh.
Baca Juga : Menjawab Tantangan Pertanian NTT dengan Sinergi
Petani kita merasa aman sepanjang tahun. Siklus ketahanan dan kedaulatan pangan kita memang sederhana tetapi fungsional. Masalah basic human needs terpenuhi. Aman, tak ada konflik.
Persoalan baru muncul ketika muncul kebutuhan sekunder, tersier dan seterusnya yang hanya bisa dipenuhi kalau kita punya uang: biaya anak sekolah, rumah sakit, adat, transportasi, dan peternakan hewan modern bernama HP yang harus diberi makan pulsa dan paket data setiap saat.
Bagi orang Dayak Deah dan Manyaan di Kalimantan Selatan dan Tengah, misalnya, menjual hasil padi ladang dari kebun sendiri adalah sesuatu yang tabu, sesuatu yang ‘grar’ang’.
Semua yang sakral atau “grar’ang” dalam kultur pertanian Adonara nyaris hilang dilibas pragmatisme pasar untuk pemenuhan kebutuhan sekunder, tersier dll yang sepenuhnya didikte oleh pasar.
Pada titik inilah kita menyaksikan, nyaris tanpa daya untuk mencegah, proses alih-fungsi lahan pertanian subur menjadi kebun tanaman perdagangan semisal jambu mete, koko, dll. Fenomena ini mirip proses konversi lahan sawah menjadi perumahan atau kawasan industri di pulau Jawa dan Bali. Sebabnya cuma satu: petani butuh uang.
Kita di Adonara masih beruntung. Petani di Jawa menjual tanah mereka di kampung kepada developer perumahan atau industri lalu mereka pergi menjadi buruh tani atau petani penggarap di sawah milik orang lain, sementara kita di Adonara masih sebatas mengalih-fungsikan tanah pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan tanaman perdagangan. Tanah masih tetap milik kita.
Baca Juga: Setelah Pendidikan, Ini Suprastruktur Pertanian NTT Lainnya
Namun bahaya kooptasi tanah pertanian itu semakin hari semakin menjadi-jadi seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan uang cash untuk berbagai keperluan di luar urusan pangan.
Di beberapa tempat di Flores, misalmya, dengan sedih kita menyaksikan jatuhnya tanah pekarangan dan tanah pertanian milik masyarakat ke tangan pendatang dan pengusaha dari luar untuk investasi hotel, losmen, rumah makan, perumahan, bahkan perkebunan mete, dan lain-lain.
Pemilik tanah kemudian harus mengemis ke penguasaha agar anak perempuan mereka bisa diterima menjadi pelayan cuci piring di warung atau tenda makan yang dibangun di atas bekas tanah milik mereka.
Petani kita tergoda menggadaikan (baca: menjual) tanah-tanah adat seharga sebungkus rokok per meter persegi untuk perkebunan milik investor dengan janji penyediaan lapangan kerja di kebun mete.
Dan tanpa kita sadari, kita tidak saja menjual tanah tetapi menjual kedaulatan dan harga diri kita! Orang Adonara dan Flores Timur berperang satu sama lain untuk mempertahankan sebidang tanah atau karena batas tanah yang bergeser beberapa senti meter.
Baca Juga: Apa Saja Infrastruktur Vital Bidang Pertanian dalam Era Industri 4.0?
Tetapi terhadap kapitalisme yang mengambil sebagian atau seluruh tanah kita, seluruh saraf ketahanan dan kedaulatan kita sebagai orang-orang merdeka dan berdaulat atas negeri sendiri justru luluh lantak terkulai tak berdaya.
Kebutuhan akan uang melumpihkan saraf kesadaran ekonomi orang Flores dengan cara amat halus tetapi mematikan! Di Flores Timur (Larantuka), mula-mula ada pendatang minta dengan sopan untuk menyewa area seluas 2×1 meter di depan rumah penduduk untuk buka kios.
Suatu ketika pemilik rumah meminjam uang kepada yang punya kios untuk biaya sambut baru anaknya. Merasa ada kemudahan mendapat pinjaman maka tiga bulan berikutnya ia meminjam lagi untuk biaya pesta kawin, dan seterusnya.
Karena ia tak bisa mengembalikan pinjaman pertama dan kedua maka ia terpaksa merelakan seluruh bagian depan rumahnya dipakai (baca: dikuasai) oleh tamu untuk usaha kios.
Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional
Pemilik rumah bersedia keluar-masuk rumahnya sendiri melalui pintu belakang. Tahun berikutnya rumah itu sepenuhnya sudah berpindah tangan karena sang tuan rumah tidak mampu mengembalikan pinjaman.
Kapitalisme menguasai dan melumpuhkan orang baik, murah hati, dan lugu tapi sangat butuh uang karena ornag baik itu todak memiliki kemampuan mengelola keuangan (baca: mengelola utang).
Jual atau gadai tanah untuk beli tiket pergi merantau adalah “penyakit” lain yang terus menghantui upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan di Adonara. Bersambung….
Pemikiran dalam tulisan ini disampaikan pada diskusi online Epu Oring Adonara, 9 Maret 2021
[…] Baca Juga: Petani Kita dan Kerentanan Pola Pertanian Tanaman Pangan […]
[…] Baca Juga: Petani Kita dan Kerentanan Pola Pertanian Tanaman Pangan […]
[…] Baca juga: Petani Kita Dan Kerentanan Pola Pertanian Tanaman Pangan […]