Eposdigi.com – Tepat setahun yang lalu, di media ini saya menulis soal corona dan potensinya pada kerawanan pangan global. Sentra-sentra produksi pangan, yang padat karya, harus mengurangi produktivitasnya atas nama pembatasan fisik.
Tidak hanya itu. Negara-negara di dunia, dalam rangka mencegah penyebaran corona, membatasi mobilitasnya. Pembatasan mobilitas ini mengakibatkan distribusi pangan global tidak bisa selancar sebelum pandemi.
Corona yang menjadi bencana global, berpotensi diikuti oleh kerawanan pangan global. Corona bisa menjadi pemicu “efek kupu-kupu”, mengakibatkan bencana lain yang lebih besar.
Baca juga: Membangun Kedaulatan Pangan: Tak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Kedaulatan Petani
Tulisan ini tentu tidak lagi mengaitkan Corona sebagai bencana dengan ketahanan pangan. Inspirasi utama tulisan ini datang dari bagaimana melihat dan mendengar masyarakat lokal di Adonara saling mendukung saat badai tropis Siklon Seroja awal April lalu.
Berbagai laman media sosial, terutama Facebook, beredar berbagai informasi mengenai bencana. Fokus tulisan ini bukan mengenai bencananya.
Dari informasi-informasi itu, juga banyak berisi cerita warga dari kampung yang lain, mengunjungi sesama saudaranya di kampung terdampak. Kehadiran mereka tentu menguatkan masyarakat terdampak.
Sebelum bantuan dari luar masuk, dari kampung kampung terdekat sudah mengalir berbagai bentuk bahan pangan lokal. Pisang, singkong, kelapa, sayur mayur bahkan kayu api menjadi buah tangan yang dibawa oleh masyarakat terdekat.
Bagi saya, ini adalah sesuatu hal yang menghangatkan hati. Badai Siklon Seroja mungkin membawa luka mendalam. Kehilangan orang-orang terkasih, pun harta benda. Tapi mereka, masyarakat terdampak, tidak ditinggal sendirian. Pelangi itu muncul segera, bahkan ketika badai masih belum beranjak.
Ya. Cerita kali ini mengenai pangan lokal, menjadi yang pertama hadir, menyertai kehadiran sesama saudara ketika mengunjungi masyarakat terdampak. Ini artinya bahwa pangan lokal harus menjadi bagian dari mitigasi bencana kita.
Kenapa pangan lokal menjadi bagian dari mitigasi bencana? Bagaimana caranya?
Balik lagi ke cerita soal corona, dalam tulisan setahun lalu. Setahun yang lalu, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bisa saja mengganggu pasokan beras dari Surabaya dan atau Sulawesi ke Flores Timur.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka seharusnya menjadi titik picu kita untuk membangun ketahanan pangan berbasis pangan lokal. Corona adalah bencana. Sama seperti berbagai bencana alam yang kerap melanda NTT terkhusus Flores Timur.
Baca juga: Petani Kita Dan Kerentanan Pola Pertanian Tanaman Pangan
Mitigasi bencana, bukan semata-mata mengenai bencana alam. Mengingat dampaknya, mitigasi bencana kita pun sudah seharusnya berfungsi “generik”, bisa digunakan untuk mengatasi berbagai potensi bencana.
Barangkali ide ini bukan ide original. Banyak orang mungkin sudah melontarkan hal yang sama. Banyak tulisan lebih berbobot mungkin juga sudah mengulas tuntas mengenai ini.
Menjadikan bahan pangan lokal sebagai benteng pertahanan paling depan dalam menjaga ketahanan pangan kita dalam keadaan normal apalagi di saat krisis.
Kita (harus) bisa memulainya dalam skala desa. Setiap desa harus memiliki lumbung desa. Penyimpanan berbagai hasil komoditi pertanian desa. Lumbung desa tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan bibit untuk musim tanam berikut.
Lumbung desa harus bisa menjadi gudang pengaman persediaan pangan masyarakat, dalam keadaan normal maupun krisis.
Untuk merealisasikan ini tentu bukan hal mudah. Asal kita mau melakukannya. Kemampuan ini dibuktikan lewat rencana matang. Perencanaan mulai dari hulu di kebun-kebun hingga lumbung desa di hilir.
Baca juga: Ekonomi Neoliberal Dan Lumpuhnya “System Saraf” Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan
Dengan menggunakan dana desa, kita bisa memulainya dari kebun-kebun desa. Kebun desa yang digarap dalam prinsip gemohing. Hasil komoditi pertanian dari kebun desa tidak untuk dikonsumsi. Disimpan sebagai bibit. Disimpan sebagai bahan pangan cadangan.
Jika desa tidak memiliki kebun desa, maka Badan Usaha Milik Desa bisa menjadi “bulog” yang membeli dan menampung berbagai hasil komoditi pertanian masyarakat desa. Disimpan sebagai bibit untuk musim tanam berikut. Pun sebagai bahan pangan cadangan.
Bencana alam tidak akan berhenti. Corona-corona dalam bentuk lain, mungkin masih akan menjadi wabah. Jika lumbung pangan di tingkat desa sudah menjadi bagian dari mitigasi bencana kita, maka ketika itu terjadi kita sudah siap.
Mandiri, bermartabat, berdaulat dalam urusan pangan, dalam keadaan normal, maupun di saat crisis.
Sumber foto: Ani Berta / Kompasiana.com
[…] Baca Juga: Ketahanan Pangan dan Mitigasi Bencana […]
[…] Baca Juga: Ketahanan Pangan dan Mitigasi Bencana […]
[…] Baca juga: Ketahanan Pangan Dan Mitigasi Bencana […]