Eposdigi.com – Saat hadir sebagai salah satu pembicara dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh media ini, Masril Koto banyak bercerita mengenai Bank Tani yang mereka dirikan.
Bank Tani di Nagari Koto Tinggi, Baso, Agam, Sumatera Barat adalah jawaban atas kerinduan para petani untuk mengakses modal. Mereka yang kesulitan memperluas lahan pertanian dan atau meningkatkan produktifitas pertanian miliknya, bisa memperoleh modal dari Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) ini.
Diceritakan oleh Masril, Bank Tani milik mereka tidak langsung jadi dalam semalam. Butuh empat tahun, yaitu dari tahun 2002 hingga 2006, agar Bank Tani milik mereka dapat resmi beroprasi.
Baca Juga: Pekka Lodan Doe; “Berjalan sambil Merintis Jalan”
Memang, untuk pemberdayaan masyarakat, bukan hal mudah. Tidak seperti para politisi yang bisa saja secara instan mendirikan kelompok ini itu sebagai sayarat mendapatkan bantuan dana dari pemerintah.
Masril Koto yang berangkat hanya dari nekat namun akhirnya bisa menggagas dan mendirikan sebuah lembaga keuangan yang memiliki reputasi nasional, yang sahamnya dimiliki oleh petani.
Untuk memberdayakan masyarakat di desa-desa, terutama di Flores Timur, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari Masril Koto dengan Bank Tani-nya.
Pertama, Membangun Kepekaan terhadap Masyarakat di Sekelilingnya.
Jalan panjang Masril Koto hingga sampai pada Bank Tani dimulai dari kepekaannya melihat dan menemukan berbagai masalah dalam lingkungan masyarakat mereka.
Baca Juga: “Perhatikan Semua hal, Abaikan Sebagian Besar, Benahi Sedikit”
Ia menemukan bahwa kampung mereka kotor tidak terrawat. Ia kemudian mengumpulkan teman-teman mudanya lalu kemudian menggagas bersih-bersih kampung.
Ketika masuk ke pasar ia mendapati kenyataan bahwa banyak teman teman sesama kuli pasar tidak dapat melamar kerja lebih baik karena tidak memiliki ijazah dari sekolah formal. Ia kemudian menggagas program kejar paket agar teman-temannya bisa memiliki ijazah.
Usahanya untuk keluar dari arus utama petani pisang di kampung istrinya, kemudian lebih memilih menanam ubi jalar dan jahe, ia lakukan ketika menyadari, bahwa ternyata para petani pisang gagal panen karena hama.
Ia tidak memilih untuk menjadi buruh tani di perkebunan lain, sama seperti banyak petani pisang yang gagal panen. Ia merubah komoditi yang ditanam, yang ternyata berhasil. Lalu kemudian banyak petani di daerahnya banting stir menjadi petani ubi jalar dan jahe.
Hingga kemudian, ketika masyarakat petani kesulitan mengakses modal, plus tidak percaya dengan koperasi, ia lalu menggagas bank tani.
Baca Juga: Masril Koto; “Bankir” Yang Tak Tamat SD
Produk-produk perbankan atau keuangan yang lembaga mereka pasarkan tidak generik. Tidak berlaku sama untuk setiap unit usaha atau cabang. Setiap daerah memiliki karakteristik kebutuhan yang berbeda.
Karenanya produk perbankan merekapun menyesuaikan dengan kebutuhan para nasabah di lingkungan lokal unit usaha itu berada.
Mereka tentu tidak menjual tabungan biaya pajak motor untuk para tukang ojek kepada para petani yang tidak punya motor. Pula, mereka tidak menjual tabungan biaya pernikahan kepada orang-orang tua yang sepuh.
Masril Koto berangkat dari kepekaannya melihat masalah lalu kemudian berpikir dan bertindak mencari solusi.
Masalah kita kebanyakan adalah tidak menyadari bahwa ada masalah yang sungguh-sungguh sedang terjadi di sekeliling kita. Jika demikian, kebaruan apa yang mau kita gagas untuk menyelesaikan masalah itu?
Kedua, Mencari Cara dan Belajar untuk Mendapatkan Solusi Terbaik.
Masril Koto dan para pemuda di kampungnya menyadari bahwa mereka ingin meningkatkan pendapatan mereka dengan usaha produktif lain. Kemudian mereka menjadi developer. Membangun kios dan ruko untuk disewakan kepada para pedagang di pasar.
Baca Juga: Dana Desa, BUM Desa Dan Gemohing
Sayangnya mereka tidak memiliki modal. Kemudian mereka melobi para pemilik toko material bahan bangunan. Mereka mendapatkan material itu secara kredit. Dibayar dengan uang sewa ketika kios dan atau ruko laku terjual atau disewakan.
Ketika usaha mereka diapresiasi pemerintah, atas keberhasilan mereka, berupa peralatan komputer, tak satupun dari mereka cakap mengoprasikannya. Namun niat mereka untuk belajar bahkan sampai menerbitkan buletin yang disebar hingga masyarakat diaspora kampung mereka di perantauan.
Cerita lain tak kalah menarik. Ketika banyak teman-teman mudanya membolos dari kelas kejar paket, ia pun mencari solusi agar teman-temannya mau balik ke kelas. Ia pun mendatangkan para pengajar yang cantik-cantik. Kelaspun penuh kemudian.
Masril Koto bahkan tidak taman Sekolah Dasar. Ia harus mendapatkan informasi seakurat mungkin tentang bank. Ia ingin mendirikan sebuah bank, tanpa pengetahuan apapun tentang itu.
Ia bercerita bahwa banyak waktu digunakannya untuk mempelajari bagaimana mendirikan dan mengoprasikan sebuah bank.
Baca Juga: Jebakan Pasar Bebas: Konversi Lahan Pertanian Pangan Menjadi Lahan Tanaman Perdagangan
Tidak hanya mendatangi bank-bank di daerahnya untuk belajar secara langsung, ia pun mendatangi seminar-seminar tentang perbankan agar dapat menimba ilmu dari sana. Bertanya kepada banyak orang. Bahkan berguru langsung pada Bank Indonesia.
Karena basis pasarnya adalah masyarakat pertani, maka ia tak segan belajar juga dari dinas pertanian yang ada di provinsi mereka.
Sama seperti Masril Koto, tidak satupun manusia lahir dengan kemampuan super untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dijumpai dalam kehidupannya. Hanya mereka yang mencari cara dan belajarlah yang dapat menyelesaikan masalah-masalah itu.
Ketiga, Membangun Sinergi dengan orang lain.
Masril Koto, ketika menyadari bahwa kampung mereka butuh di benahi ia tidak serta merta mengambil sapu dan menyapu seluruh kampung sendiri. Ia membuat lapangan bola basket untuk mengumpulkan para pemuda di nagarinya. Mereka kemudian bersama-sama membenahi kampung/nagari mereka.
Sinergi dengan orang lain juga terlihat dari bagaimana ia mendatangkan guru-guru cantik untuk kelas kejar paket yang mereka selenggarakan. Sebelumnya Ia adalah peserta belajar yang merangkap sebagai guru.
Baca Juga: Menjawab Tantangan Pertanian NTT dengan Sinergi
Ia tidak punya cukup modal untuk menjadikannya pemegang saham mayoritas. Ia mendirikan bank tani dengan cara menjual saham kepada para calon pemilik. Dan agar banyak orang terlibat maka dibuat mekanisme untuk itu.
Setiap orang hanya boleh memiliki maksimal 5 lembar saham, sebagai bukti kepemilikan bersama, atas lembaga keuangan mikro, Bank Tani milik mereka. Atau karyawan bank tani yang adalah anak-anak para petani pemilik saham.
Sinergi dengan orang lain adalah keharusan dalam era serba ‘net’ saat ini. Single fighter akan punah. Orang harus berjejaring. Membangun kerjasama sinergis di antara mereka. Bukankah ini adalah semangat gemohing yang kita di Lamaholot miliki?
Keempat, Berkearifan Lokal.
Masril Koto menyadari betul bahwa ia harus tetap menapak pada tradisi sesuai kearifan lokal masyarakat miliknya. Lembaga keuangan yang mereka miliki harus terus terjaga ada. Tidak susah payah dibangun untuk kemudian bangkrut karena utang tak tertagih nasabahnya.
Baca Juga: Memasarkan Minyak Goreng Kelapa Merek “Tapo”
Jalan keluar yang mereka tempuh dengan melibatkan para orang tua tokoh adat dan atau toko masyarakat, “ninik mamak”, sebagai penjamin pinjaman. Siasat ini terbukti sangat efektif menjaga arus kas mereka.
Kelima, Konsistensi dan sikap pantang menyerah.
Tidak mudah meyakinkan masyarakat minang atas nama sebuah lembaga keuangan, terang Masril. Ia melanjutkan, banyak masyarakat Padang lalu lalang di depan rumah Mohamad Hata – Proklamator yang juga Bapak Koperasi Indonesia, namun tidak percaya pada koperasi.
Menurut Masril, masyarakat di sana menganggap koperasi hanya menguntungkan para pengurus saja. Bukan untuk mensejahterakan anggota.
Begitu juga dengan perbankan. Masyarakat petani telalu lugu. Mereka menganggap gedung mewah bank hanya pantas bagi mereka yang berbusana rapi. Bukan tempat yang bisa mereka singgahi dengan kesederhanaan mereka.
Baca Juga: Dari Pembelajaran Tematik di Kelas Menjadi Metode Pendidikan Alternatif Bersama Komunitas
Masril bisa saja menyerah. Ia bisa saja membiarkan para peserta program kejar paket. Toh ijazah buat mereka. Atau ketika ia mendatangi banyak seminar. Hanya dengan naik motor, cerita Masril Koto, pergi ke kota untuk bisa menghadiri seminar tentang perbankan.
Ia akrab dengan banyak kejadian tak enak; kena tilang, di tipu oknum petugas bank; dalam perjalanannya memulai Bank Tani.
Saya membayangkan bahwa tentu untuk mendapatkan kepercayaan dari para pemilik toko bahan bangunan bukan perkara mudah.
Belum lagi mereka harus segera menjual dan atau mencari penyewa ruko agar segera melunasi bahan bangunan yang dikreditnya.
Masril Koto pasti memiliki daya tahan luar biasa untuk itu. Daya juang itu bernama konsistensi. Ia memiliki panggilan untuk pemberdayaan masyarakat. Masril Koto meyebutnya investasi sosial.
Untuk Lamaholot Flores Timur, Jika MAU, kita juga bisa belajar dari Bank Tani di Nagari Koto Tinggi, Baso, Agam, Minang sana.
[…] Baca Juga : Belajar Tentang Pemberdayaan Masyarakat Dari Masril Koto Dengan Bank Tani-Nya […]
[…] Baca Juga: Belajar Tentang Pemberdayaan Masyarakat dari Masril Koto dengan Bank Tani-nya […]