Eposdigi.com – Perjumpaan saya dengan Kelompok Pekka, terjadi sekitar 11 tahun lalu. Tahun 2010, ibu saya cerita bahwa ia ikut sebuah kelompok “gemohing” ibu-ibu. Kelompok mereka itu namanya kelompok Pekka.
Belakangan baru saya tahu bahwa Pekka itu adalah program pemberdayaan untuk para “perempuan kepala keluarga.”
Saya menanggapi ceritanya saat itu sekedarnya saja. Berpikir bahwa kelompok seperti itu pasti bentukan pemerintah atau politisi lokal. Atas nama uang proyek. Seperti yang sudah-sudah. Barangkali setelah uangnya habis, kelompokpun bubar.
Apalagi, ibu menambahkan, bahwa di desa kami, Oringbele, Kecamatan Witihama, ada banyak kelompok bentukan pemerintah atau politisi. Dengan berbagai kegiatan usaha. Ada kelompok tenun ikat, ada kelompok ibu-ibu titi jagung. Dan lainnya.
Baca Juga: Dari Pembelajaran Tematik di Kelas Menjadi Metode Pendidikan Alternatif Bersama Komunitas
Kelompok Pekka ibuku memproduksi minyak kelapa. Mereka berkumpul setiap hari Kamis dan Jumat. Kelapa untuk produksi dibawa oleh anggota kelompok. Mereka olah dan hasilnya dibeli anggota kelompok mereka sendiri. Juga dijual kepada orang lain jika tidak dibeli kelompok. Atau produksinya lebih.
Hingga saat ini, Kelompok Pekka ibuku masih berproduksi. Bahkan usaha mereka berkembang. Tidak hanya mesin parut kelapa bantuan pemerintah saat awal kelompok ini berproduksi, aset mereka terus bertambah saat ini.
Mereka menyewakan drum penampung air, tikar dan terpal kepada siapa saja yang membutuhkan. Tentu harga sewa hanya dibebankan kepada yang bukan anggota. Drum penampung air dan tikar serta terpal sangat dibutuhkan saat ada hajatan.
Entah untuk acara kedukaan atau pesta-pesta di kampung kami, yang setiap tahun ada banyak. Permandian anak, sambut baru, orang menikah atau acara lainnya.
Saat kepemimpinan Simon Hayon di Flores Timur, mereka dibantu dana Rp10 juta. Uang itu dipinjamkan di antara mereka dan dicicil pengembaliannya dengan bunga ringan selama setahun. Uang itu berputar, di samping produksi minyak kelapa mereka yang terus berjalan.
Baca Juga: Surat dari Adonara
Kelompok lain di desa kami saat ini sudah tidak lagi ada. Konon uang bantuan dari pemerintah ditempatkan demi bunga 10 persen di Mitra Tiara. Kelompok lain itu bubar seiring kolapsnya Mitra Tiara.
Belum lama ini, saat hadir dalam diskusi melalui zoom yang diselenggarakan oleh media ini, menyoal “Relevansi Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Komunitas” perintais Pekka Lodan Doe, Ina Bernadette Deram Langobelen, bercerita banyak hal mengenai Kelompok Pekka Lodan Doe.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, serikat Pekka memiliki wilayah kerja di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Serikat Pekka NTT hadir di 15 kecamatan dengan 97 desa. Membawahi 142 Kelompok Pekka dengan anggota serikat sebanyak 2.875 orang dan 4.769 anggota non serikat. Sekretariat Serikat Pekka NTT adalah di center Pekka Lodan Doe.
Keberhasilan Pekka Lodan Doe sungguh membesarkan hati. Berangkat dari pemberdayaan anggota kelompok yang kebanyakan ibu-ibu dengan tingkat pendidikan seadanya. Lebih banyak yang buta aksara.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
Sebagai nara sumber dalam diskusi tersebut Ina Dette bercerita bagaimana memperkenalkan huruf demi huruf kepada para anggotanya yang buta aksara. Ia menamakannya aksara fungsional. Mengenal huruf dari lingkungan kehidupan ina-ina di Adonara dan Lembata.
Misalnya kepada anggotanya mereka memperkenalkan huruf “K”untuk kelapa, “T”dari tenun. Pemberdayaan anggota Pekka Lodan Doe tidak sebatas keterampilan teknis, melainkan juga kemampuan manajerial, administrasi keuangan sederhana hingga pendidikan politik.
Saya punya cerita tersendiri mengenai program pemberdayaan ala Pekka ini. Beberapa tahun lalu, saya lupa persisnya, saya dikirimi foto wisuda oleh kakak ipar saya di kampung.
Kakak ipar saya mengenakan kebaya dan berdandan cantik seperti wisudawan umumnya. Apalagi di latar foto itu ada tulisan Akademi Pradigta. Saya kemudian memastikan foto itu ke kakak saya.
Baca Juga: Dana Desa, BUM Desa dan Gemohing
Pikir saya ada sekolah tinggi membuka kelas jarak jauh di Adonara. Apalagi saat itu lagi marak “kuliah senja”, kuliah jarak jauh di Waiwerang yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka dari Kupang.
Kakak ipar saya kemudian menjelaskan bahwa ia ikut program pemberdayaan perempuan di Akademi Pradigta yang diselenggarakan oleh Pekka.
Program pendidikan politik Pekka di Flores Timur dan Lembata membuahkan hasil yang luar biasa. Tercatat kepala desa perempuan pertama di Flores Timur adalah kader Pekka. Ina Petronela Peni Loli dari Desa Nisa Nulan kecamatan Adonara terpilih menjadi kepala desa periode 2007 hingga 2013 adalah kader Pekka.
Ina Velomena Nona terpilih dan menjabat dari tahun 2011 hingga tahun 2017 sebagai kepala desa di Desa Kelukengnuking – Kecamatan Wotan Ulumado, dan almarhuma Ina Theresia Tuto Pati di desa Nelelamadiken tahun 2014 hingga 2019. Ketiganya adalah kader Pekka.
Tidak hanya itu, program pemberdayaan ekonomi Pekka Lodan Doe juga tidak main-main. Akun instagram @yayasanpekka misalnya menulis tentang Pekka Mart di NTT yang omset minggunnya mencapai Rp300-an juta. Beberapa kelompok dari Pekka Lodan Doe di Adonara memproduksi minyak kelapa “Tapo”.
Pekka Mart adalah gerakan ekonomi keswadayaan yang menampung berbagai produk dari anggota dan disalurkan atau dijual kepada para anggota dan masyarakat umum.
Baca Juga: Memasarkan Minyak Goreng Kelapa Merek “Tapo”
Tidak hanya Pekka Mart, Kelompok Pekka Lodan Doe juga memiliki koperasi. Tidak tanggung-tanggung, mereka memiliki 3 koperasi. Koperasi Pekka Lodan Doe, Koperasi Pekka Seni Tawan, dan Koperasi Pekka Keru Baki.
Koperasi ini sudah memberikan beasiswa penuh hingga tamat sarjana kepada 4 orang, dan membantu ratusan calon sarjana lainnya dalam bentuk pinjaman lunak.
Tidak muluk-muluk. Pekka Lodan Doe dengan segala keterbatasannya berusaha menciptakan surga-surga kecil di sentra-sentra Pekka masing-masing. Slogannya “pakai apa yang kita hasilkan, makan apa yang kita tanam”.
Kepada para anggotanya, dalam setiap kegiatan, diingatkan dan diwajibkan untuk mempromosikan tenun ikat, dimulai dari mereka. Maka wajib hukumnya bagi para anggota untuk memakai kain sarung tenun ikat setiap kesempatan, terutama dalam kegiatan-kegiatan Pekka.
Pekka Lodan Doe bahkan memiliki 5 hektar ladang kapas yang saat ini sedang dalam masa panen. Kapas sangat dibutuhkan terutama untuk sentra-sentra tenun ikat. Tentu kedaulatan bisa dibangun dari hulu hingga hilir.
Dengan memproduksi benang sendiri sentra-sentra tenun milik kelompok Pekka berdaulat mulai dari bahan baku – benang – penghasil tenun ikat.
Pekka Lodan Doe mengakar tumbuh dari tanah. Dari lingkungan alam. Sebagian besar anggotanya yang adalah petani, memanggil Pekka Lodan Doe untuk merawat ibu bumi, demi kelestarian lingkungan dengan pola pertanian berkelanjutan.
Baca Juga: Berani Melihat Kelapa Bukan Hanya Sekedar Kopra
Anggota Pekka Lodan Doe dilatih untuk menghasilkan pupuk organik dari sampah. Tidak hanya kepada anggota, sebagai ibu, mereka juga terlibat mengorganisir anak-anak muda. Mereka juga menggagas dan menyelenggarakan festival budaya anak.
Dalam diskusi itu saya bertanya kepada Ina Dette, bagaimana caranya Pekka dengan latar belakang anggotanya yang kebanyakan ibu-ibu yang buta aksara itu, bisa mengorganisir diri sedemikian rupa dan hingga mengantar anggotanya memiliki begitu banyak sentra ekonomi bahkan meraih karir politik di desa?
Ina Dette menjawab, “Pekka Lodan Doe, berjalan sambil merintis jalan”. Benar. Mereka berjalan sambil menciptakan sukses storynya sendiri. Kita sepatutnya belajar banyak dari perempuan-perempuan tangguh ini.
Foto dari : pekka.or.id
[…] Baca Juga: Pekka Lodan Doe; “Berjalan sambil Merintis Jalan” […]