Eposdigi.com – Ia memutuskan untuk berhenti sekolah ketika masih di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Buntut dari kekecewaannya, sekolah mewajibkan membeli sepatu pramuka. Keuangan orang tuanya tak cukup untuk memenuhi kewajiban itu. Ia memilih keluar sekolah saja.
Sejak drop out dari sekolah, ia bekerja serabutan. Membantu orang tuanya. Menjadi pemulung. Hasil memulung digunakan membeli mesin jahit. Kemudian membantu orang tuanya menjahit.
Berbagai pekerjaan lain juga ia tekuni. Ketika ikut bersama keluarganya pindah ke kampung Pasar Padang Luar, ia menjadi kuli di pasar tersebut. Hasil kerjanya ia gunakan untuk membangun rumah bagi orang tuanya.
Baca Juga: Membangun Kedaulatan Pangan: Tak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Kedaulatan Petani
Setelah itu, ia sempat merantau ke Jakarta dan bekerja di sebuah tempat percetakan milik orang Agam. Namun krisis tahun 1998 memaksanya kembali ke Sumatra Barat. Ia kemudian aktif menggerakan teman-temannya dalam organisasi kepemudaan di kampungnya.
Berbagai kegiatan mulai dari olah raga hingga benah-benah kampung. Kampung mereka yang menjadi lebih bersih dan nyaman, adalah bukti nyata kerja keras mereka. Keberhasilan kecil inipun mendapat apresiasi dari para orang tua di kampung mereka.
Dari kampung ia kembali ke pasar. Tempat kerjannya dulu ketika menjadi kuli. Di antara rekan-rekan sesama kuli, ternyata beberapa dari mereka memiliki bidang keahlian lain. Sayangnya itu tidak banyak membantu karena pendidikan formal mereka terbatas.
Ia kemudian berinisiatif mendirikan Sekolah Kejar Paket, buat teman-temannya dan juga buat dirinya. Ia menjadi siswa sekaligus menjadi tenaga pengajar. Ia memperoleh Ijazah Paket A dan B dari program kejar paket yang didirikannya.
Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme
Kelompok pemuda yang ia organisir juga mencoba peruntungan lain. Menjadi kontraktor ruko. Modalnya nekat. Mereka meminjam material dari toko, membangun ruko, menyewakannya, kemudian uang sewa digunakan untuk melunasi utang material.
Keberhasilan mereka mendapat apresiasi dari pemerintah. Mereka mendapat seperangkat komputer dari Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Barat. Merekka kemudian belajar mengoprasikannya hingga menerbitkan buletin.
Perjalanannya menjadi seorang “bankir” baru mulai ketika ia menjadi petani. Setelah menikah, ia harus ikut keluarga istri, seperti adat kebiasaan masyarakat Minang pada umumnya.
Masyarakat Baso, tempat istrinya, kebanyakan adalah petani pisang. Namun ketika itu para petani gagal panen karena tanaman mereka terserang hama. Ia beralih memanam jahe dan ubi jalar.
Baca Juga: Dari Pembelajaran Tematik di Kelas Menjadi Metode Pendidikan Alternatif Bersama Komunitas
Komoditi yang ia pilih adalah hal baru di Kecamatan Baso. Banyak petani lain lebih memilih menjadi buruh tani di daerah lain. Namun setelah hasil panennya melimpah, ia kemudian diikuti oleh banyak petani lain.
Pengalamannya bertemu dengan banyak petani membuat ia sungguh memahami kebutuhan sesama rekan petaninya. Mereka kesulitan mengakses modal untuk memperluas atau untuk meningkatkan hasil pertanian mereka.
Ia pun menawari mereka koperasi. Namun sayang. Koperasi rupanya tidak menjadi pilihan masyarakat petani di sana. Mereka beranggapan, koperasi hanya menguntungkan para pengurus saja. Tidak ada manfaatnya buat mereka para anggota.
Alternatif modalnya adalah dari perbankkan. NamunbBagi kalangan petani di sana, gedung bank terlalu mewah buat mereka. Di mata mereka bank hanya dimasuki oleh mereka yang berpakaian rapi.
Baca Juga: Setelah Pendidikan, Ini Suprastruktur Pertanian NTT Lainnya
Ia kemudian membawa keluar sistem bank, untuk menemui para petani. IA memutuskan untuk mendirikan bank bagi para petani.
Karena itu, ia mulai mempelajari sistem perbankan. Bagaimana sebuah bank didirikan. Bagaimana oprasionalnya. Ia, dengan segala keterbatasannya mendatangi bank, menghadiri berbagai seminar perbankan.
Tidak mudah pada awalnya. Sebagai lembaga, apa yang mereka bentuk tidak masuk kategori manapun. Koperasi bukan, karena para anggotanya tidak menyetor pimpanan pokok.
Bank bukan, karena tidak memiliki izin oprasi dari Bank Indonesia. Akibatnya, ia dituduh menghimpun dana ilegal.
Sejak dirintis tahun 2002 dan baru resmi berdiri pada tahun 2006, lembaga yang meraka dirikan, dimiliki oleh semua anggota. Kepemilikan anggota ditandai dengan kepemilikan saham. Satu lembar saham dihargai Rp100.000,. Masing-masing anggota hanya boleh memiliki 5 lembar saham. Pembayarannya boleh di cicil.
Ternyata masyarakat petani menyambut baik. Pada hari dibuka, mereka meraup lebih dari 15 juta rupiah.
Baca Juga: Petani dalam Pusaran Era Industri 4.0, Di Mana posisi Kaum Milenial?
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, ia Bertemu dengan Pak Yiyuk Herlambang. Ia mendapat banyak informasi bangaimana membentuk sebuah bank.
Gayung juga bersambut dari Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Barat. Lewat Pak Joni, ia disarankan untuk mendirikan sebuah bank tani.
Namun agar secara kelembagaan tidak bertabrakan dengan aturan maka bank tani yang mereka dirikan di beri nama resmi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani. Lembaga ini dikelola oleh putra-putri para petani, pemilik saham.
Produk-produk bank tani ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal di sana. Satu daerah bisa saja memiliki produk yang berbeda dengan daerah lain. Mereka memasarkan produk sesuai dengan kebutuhan.
Ada produk bernama tabungan untuk pajak motor tukang ojek, tabungan ibu hamil, tabungan biaya pernikahan, tabungan buku, tabungan pendidikan. Jenis produk ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal pada sebuah unit bank tani ini berada.
Keinginannya adalah agar semua kebutuhan para petani, apapun itu, dapat terjawab lewat kehadiran bank tani ini. Terutama agar semua lahan produktif petani bisa tergarap. Semua lahan tergarap bisa meningkat produktifitasnya.
Foto dari maxmanroe.com
[…] Baca Juga: Masril Koto; “Bankir” Yang Tak Tamat SD […]