Eposdigi.com – Agak sulit memang membayangkan adanya gerakan bijak digital di tingkat PAUD secara kolektif tepat pada saat kesenjangan sosial ekonomi antardaerah di Indonesia masih sangat signifikan.
Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang pemanfaatan internet untuk mendukung aktivitas bermain dan belajar anak sementara layanan PAUD di Desa Nurri, Flores Timur, NTT, belum tersentuh jaringan listrik PLN?
Mengenai hal di atas, saya sangat mengapresiasi langkah-langkah yang sudah dibuat oleh masyarakat khususnya pihak swasta dalam mendirikan dan menjaga agar PAUD di wilayah-wilayah pelosok tetap beroperasi.
Hal itu tampak misalnya, dari jumlah keseluruhan PAUD di Indonesia, terdapat 3.889 (2%) dikelola oleh pemerintah dan sebanyak 191.853 (98%) dikelola oleh swasta.
Hal ini membuktikan bahwa terdapat kepedulian yang besar dari masyarakat terhadap PAUD sebagai generasi emas Indonesia.
Dari jumlah sebanyak itu dan dengan karakteristik yang berbeda-beda, orangtua perlu memiliki stok informasi yang mencukupi sebelum memilih PAUD bagi anak, antara lain: Pertama, mencari tahu reputasi atau track record lembaga pendidikan.
Baca Juga: Darurat Kecanduan Gawai pada Anak
Kedua, memahami sistem pengajaran dan metode pendidikan yang digunakan. Ketiga, memilih sekolah sesuai dengan karakter anak. Keempat, memperhatikan lingkungan sekitar. Kelima, memperhatikan kebijakan sekolah.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kualitas PAUD dan meminimalisir kesenjangan aksesibilitas antardaerah, dibutuhkan strategi, taktik, dan prediksi yang matang mengenai apa saja langkah antisipatif yang mesti dibuat untuk merebut masa depan generasi emas Indonesia.
Saya mencatat ada enam (6) komponen penting yang mesti diajarkan kepada anak berkaitan dengan perkembangan dunia saat ini dalam apa yang populer disebut sebagai literasi.
Pertama, Literasi Baca-Tulis
Semua orang sepakat bahwa literasi dalam bidang membaca dan menulis sangat penting bagi PAUD karena melalui dua aktivitas itu, anak dilatih untuk berpikir kritis.
Saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Kemendikbud melalui kegiatan Gerakan Nasional Orang Tua Membaca Buku (Gernas Baku) pada bulan Juli 2019 lalu untuk memupuk kegemaran membaca anak yang dimulai dari para orang tua.
Mengenai hal yang sama, untuk melatih kebiasaan membaca sejak dini, Dewan Perpustakaan Nasional Singapura atau National Library Board (NLB) Singapore mencanangkan program Read at School.
Baca Juga: Survey Digital Civillity Indeks; Neitizen Indonesia Paling Tidak Sopan se-Asia Tenggara
Program ini dimaksudkan bagi anak-anak usia 7-12 tahun maupun bagi para orangtua dan guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta program Sure, Understand, Research, and Evaluate (SURE) yang diperuntukan bagi semua usia (Kompas.com, 9 Juli 2019).
Meskipun demikian, membaca dan menulis saja tidak pernah cukup. Nalar anak hendaknya dilatih untuk mempertanyakan apa yang ia baca, memproblematisasi persoalan yang dikemukakan dalam buku dan dirangsang untuk bertanya. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu dipikirkan sebelum memberikan buku kepada anak untuk dibaca.
Perhatikan apa yang menjadi hobi dan minat anak dan berikan buku yang sesuai; perhatikan tingkat kesulitan buku tersebut agar kegiatan membaca tidak dianggap sebagai aktivitas yang tidak menyenangkan bahkan membuat anak frustrasi.
Manfaatkan ketertarikan anak dalam percapakan dengan mengutip beberapa hal dari buku; bagi anak usia dini, dongeng adalah metode ampuh untuk membangun imajinasi anak.
Karena itu, berdongenglah sambil sesekali memperlihatkan bahwa dongeng yang Anda ceritakan berasal dari buku atau kombinasikan dongeng dengan membaca lantang.
Kedua, Literasi Numerasi
Poin ini berkaitan dengan bagaimana nantinya, terutama ketika berada di jenjang pendidikan lanjut, nalar anak terbiasa dengan data-data kuantitatif, grafik, tabel, dan bagan.
Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai
Di situ anak akan mampu membuat prediksi dan mengambil keputusan tertentu berdasarkan hasil analisis terhadap makna yang tersebunyi di balik angka, bagan, dan grafik itu.
Rendahnya literasi numerasi berdampak pada gagapnya siswa atau mahasiswa dalam bernalar secara logis.
Berdasarkan hasil penelitian dari Research on Improvement of System Education (RISE) tahun 2018, kemampuan siswa memecahkan soal matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk sekolah dasar dan yang sudah tamat SMU (Tempo.co, 11 November 2018).
Masih berkaitan dengan hal yang sama, menyitir laporan dari Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) dari Kemendikbud, Beritagar.id mencatat bahwa pada tahun 2016, sebanyak 87,81 persen anak Maluku tergolong kurang dalam hal numerasi dan menjadi yang terburuk di seluruh Indonesia.
Di Sulawesi Barat, delapan dari 10 anak memiliki kemampuan numerasi dan membaca yang kurang. Provinsi ini mencatat rekor terburuk untuk dua kompetensi tersebut dibandingkan provinsi lain.
Baca Juga: Melindungi Anak Milenial dari Kejahatan Digital
Sementara itu, anak jago berhitung paling banyak ditemukan di DI Yogyakarta, sebanyak 4,3 persen. Anak yang bisa memahami ilmu sains, paling banyak berada di Aceh, meskipun angkanya hanya mencapai 2,01 persen (Beritagar.id, 20 Oktober 2018).
Oleh karena itu, pada usia dini, anak perlu diberi pemahaman tentang bentuk, ukuran, dan tempat sebagai landasan awal pengembangan kecerdasan berhitung. Melalui permainan spasial misalnya, anak dilatih utuk memahai ukuran, posisi, dan gerakan.
Ambil contoh: anak akan mengenal dan memberi nama 4 bentuk seperti lingkaran, kotak, segitiga, dan persegi panjang, dan ini merupakan pengetahuan dasar geometri.
Anak juga belajar kata matematika spasial seperti di depan, di belakang, dan di atas atau mengenal posisi di akhir baris atau di samping teman ketika mereka sedang belajar bermain Anak juga belajar mengelompokan baru berdasarkan warna, bentuk dan ukuran, dan lain sebagainya.
Ketiga, Literasi Sains
Literasi jenis ini didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (OECD, 2003; The PISA 2003).
Baca Juga: Bagaimana Orang Tua Mengantar Maudy Ayunda Meraih Segudang Prestasi?
Ambil contoh: Ketika bermain misalnya, anak diajak untuk melihat lingkungan, mempelajari sesuatu yang ia lihat, dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Dengan kata lain, literasi sains bertujuan melatih anak untuk bereksperimen dengan melakukan beberapa percobaan dan mendorong anak menjadi orang yang kreatif dan penuh inisiatif.
Dari situ, dapat lilihat perkembangan indikator anak dalam menyimak, memprediksi, dan mengkomunikasikan gejala hingga membuat keputusan tertentu.
Menempati posisi strategis dalam kancah akademik, beberapa tahun terakhir Kemendikbud, mengembangkan model pendidikan “little scientist” untuk menumbuhkan rasa ingin tahu anak sejak dini melalui fenomena lingkungan sekitar.
Terobosan ini dibuat mengingat melalui PAUD-lah bibit-bibit ilmuwan dan peneliti Indonesia berasal. Hal itu dibuat mengingat Indonesia memiliki perbandingan 89 orang peneliti untuk setiap satu juta penduduk.
Sementara Singapura memiliki 6.658 peneliti per satu juta penduduk, dan untuk setiap satu juta penduduk, Brasil memiliki 700 peneliti, Rusia 3.000 peneliti dan India 160 peneliti (Antaranews.com, Kamis 6 Desember 2018).
Baca Juga: Hari Ini eranya Robot, Bung!
Namun demikian, keberhasilan program ini terletak pada kesiapan guru dalam mengarahkan anak untuk membiasakan diri melakukan observasi, berani bertanya, mencari jawaban, mengumpulkan data, dan mengambil keputusan serta melakukan verifikasi.
Keempat, Literasi Digital
Data survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 23,5 juta atau 8,9% dibandingkan pada 2018 lalu.
Karena klasifikasi berdasarkan kategori usia belum ada, saya menggunakan data pada tahun 2016 di mana kelompok usia 10-24 tahun sebesar 18,4%, usia 25-34 tahun sebesar 24,4%, usia 35-44 tahun sebesar 29,2%, usia 45-54 sebesar 18%, dan usia 55 tahun ke atas, sebesar 10%.
Dibandingkan dua tahun sebelumnya, persebaran pengguna internet ini menunjukkan adanya perbedaan.
Pada tahun 2014, pengguna internet pada kelompok umur 18-25 tahun sebesar 49%, umur 26-35 tahun sebesar 33,8%, umur 36-45 tahun sebesar 14,6%, umur 46-55 tahun sebesar 2,4%m dan umur 56-65 tahun sebesar 0,2%.
Kesimpulannya, pada tahun 2014, usia termuda dalam menggunakan internet adalah 18 tahun maka pada 2016 usia termuda adalah 10 tahun dan tentu saja ada kecenderungan usia pengguna internet semakin lama semakin muda.
Hasil penelitian Common Sense Media pada tahun 2014 misalnya, menunjukkan bahwa di Amerika bayi di bawah delapan tahun (72%) dan anak usia dua tahun ke bawah (38%) telah menggunakan beragam perangkat digital terkini seperti telepon pintar, iPad, iPod, dan tablet.
Meskipun demikian, patut dicatat bahwa keterampilan digital berbeda dengan kecerdasan digital atau bijak digital.
Keterampilan bisa dipelajari namun menggunakan keterampilan tersebut secara bijak merupakan hal yang lain. Dibahasakan secara berbeda, pengetahuan tentang digital tidak berjalan sejajar dengan pengalaman pribadi seseorang menggunakan teknologi digital.
Satu contoh yang bagus berasal dari India, di mana National Association of Software dan Service Companies (NASSCOM) bekerja sama dengan NGO dan Pemerintah India membangun Literasi Digital Nasional di seluruh pelosok India (World Economyc Forum, 4 Januari 2017).
Terobosan itu dilakukan mengingat tanpa adanya literasi digital, masyarakat diprediksi akan sulit beradaptasi dengan bentuk-bentuk dunia masa mendatang entah itu sistem ekonomi politik, pendidikan, ketenagakerjaan, lingkungan, kesehatan, dan pertahanan keamanan.
Baca Juga: Mengapa Peringkat Literasi Kita Nyungsep?
Kekhawatiran seperti ini juga dilontarkan oleh beberapa teoretikus dengan nada pesimis, sebagaimana dikutip World Economic Forum yang menjelaskan bahwa 65% anak yang memasuki PAUD akan memiliki pekerjaan yang belum ada saat ini dan karena itu pendidikan mereka akan gagal mempersiapkan mereka, memperburuk jurang skill dan ketidakprofesionalan di masa depan.
Beberapa teoretisi lain bahkan menambahkan, sistem pelatihan tenaga kerja saat ini tidak mampu mendukung proses belajar sekitar 3 miliar orang.
Itu berarti pendidikan hendaknya selalu memperbaharui sistemnya terutama muatan kurikulumnya agar mampu beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Para orang tua dan pendidik misalnya, hendaknya punya wawasan yang cukup tentang bagaimana memperluas wahana bermain anak termasuk permainan edukatif yang ditawarkan oleh teknologi digital diantaranya:
Paket Belajar Lengkap TK & PAUD untuk anak usia 12 tahun ke bawah (link downloadnya ada di akhir tulisan).
Paket Belajar Lengkap Anak PAUD TK dengan 2 Bahasa berisi materi yang mengenalkan anak pada huruf, angka, belajar menulis, mengenal warna, mengenal nama buah-buahan, nama hewan, dan berbagai games interaktif lainnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (link downloadnya ada di akhir tulisan).
Kelima, Literasi Finansial
Kategori ini azimnya dikenal dengan istilah literasi keuangan yang kemudian diterjemahkan secara ‘kurang ajar’ sebagai pengetahuan tentang e-commerce. Ketiadaan wawasan mengenai hal ini cenderung memicu pola hidup konsumerisme atau perilaku konsumtif.
Di samping itu juga, kurangnya informasi mengenai literasi finansial digital, berpotensi menjerumuskan orang pada praktek berdagang atau jual beli illegal.
Mengatasi hal ini, dibutuhkan kemampuan untuk menata dan mengelola keuangan serta membuat skala prioritas dalam hidup. Kebiasaan ini hendaknya ditanamkan sejak dini dalam diri anak agar ia mengerti bahwa barang atau mainan, dibeli menggunakan uang dan tidak boleh dihabiskan begitu saja.
Baca Juga: Hati-hati! Copet Mengintai Dompet Digital Anda
Orangtua juga hendaknya mengajarkan konsep keuangan sejak usia sebelum sekolah dengan cara mengenalkannya dengan berbagai jenis uang, mengajarkannya menabung, dan bertanggung jawab dengan apa-apa yang dibeli.
Keenam, Literasi Budaya dan Kewargaan
Hal ini berkaitan dengan bagaimana memperkenalkan kepada anak tentang apa dan bagimana hidup dalam perbedaan termasuk sikap mereka terhadap perbedaan.
Salah satu aplikasi digital yang dapat digunakan oleh anak-anak usia 8 tahun ke bawah yakni Aplikasi Marbel Belajar Budaya Nusantara.
Aplikasi ini membantu anak untuk belajar mengenal paakaian anadat di nusantara, berbagai bentuk rumah adat, alat musik khas, tarian daerah, dan makanan khas daerah di Indonesia (link downloadnya ada di akhir tulisan).
Baca Juga: Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan*
Semua pengetahuan itu, kelak setelah dewasa, memudahkan anak dalam mengelola perbedaan dari perspektif kewargaan di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dan diakui oleh konstitusi.
Pengetahuan tersebut juga menjadi landasan pijak etis yang membuat anak merasa bangga menjadi warna negara Indonesia terutama ketika berhadapan dengan warga negara lain.
Link Download Aplikasi Belajar TK dan PAUD klik tautan berikut: Marbel Belajar Budaya Nusantara, Paket Belajar lengkap untuk TK dan PAUD usia 6-12 tahun, dan Paket Belajar Lengkap Anak PAUD TK dengan dua bahasa (usia di bawah 8 tahun)
Foto ilustrasi: digination.id
Leave a Reply