Eposdigi.com – Hari ini, teknologi komunikasi dan informasi adalah salah satu jenis tekonologi yang paling pesat perkembangannya. Salah satunya dalam bentuk gawai. Secara sederhana kita memahami gawai itu adalah telpon genggam (handphone) atau telpon pintar (smart phone). Di dalam benda yang disebut gawai terdapat inovasi atau kebaruan yang terus-menerus dilakukan oleh pihak industri. Dalam hitungan bulan seri-seri terbaru dengan spesifikasi yang ter’upgrade’ diluncurkan untuk mendorong kebutuhan pengggunanya.
Saat ini, sebuah gawai umumnya menggabungkan fitur dari perangkat mobile populer, seperti asisten pribadi digital (PDA), media player, unit navigasi-GPS, dan kamera digital bahkan televisi, menjadi sebuah perangkat pintar. Dengan media penyimpanan yang berkembang dan semakin besar pemilik gawai bisa menyimpan dokumen, foto dan video hingga ratusan bahkan ribuan tergantung ukuran filenya.
Tentu, kemajuan perangkat komunikasi dan informasi ini mendatangkan manfaat yang tidak sedikit, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Namun tidak dipungkiri bahwa kemajuan yang sedemikian pesat ini juga membawa berbagai dampak negatif yang menyertainya.
Tulisan kami hari kemarin mengangkat dampak buruk penggunaan gawai, terutama pada anak. Mulai dari gangguan penglihatan atau lebih dikenal dengan Computer Vision Syndrome (CVS) juga blurry vision. Hingga terganggunya hormone yang mengatur siklus tidur karena pancaran sinar biru (blue light) dari gawai.
Tidak hanya gangguan fisik. Harian Kompas (26/07/18) menulis bahwa Poli Jiwa RUSD Koesnadi Kabupaten Bondowoso saat ini sedang menangani 11 pelajar yang adiksi gawai. Anak-anak ini tahan bermain gim pada gawai lebih dari dua malam, tanpa makan apalagi istirahat. Mereka, bahkan sampai ngamuk dan membentur-benturkan kepalanya ke tembok ketika dilarang bermain gim oleh orang tuanya. Ada yang sampai mengkonsumsi narkoba agar bisa terus terjaga saat bermain gim.
Bukan hanya di Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengeluarkan International Classification of Disease (ICD) edisi ke II menyebutkan bahwa kecanduan gim adalah gangguan kesehatan jiwa dalam kategori gangguan permainan atau gaming disorder. Hal ini menunjukan bahwa persoalan kecanduan gawai sudah menjadi masalah dan perhatian dunia International.
Jauh lebih buruk lagi jika gawai terkoneksi internet. Informasi yang tersedia secara cepat, tanpa jarak, bebas, sangat murah yang terhubung melalui internet memungkinkan anak-anak dapat mengakses konten apapun. Konten-konten berisi berita palsu, SARA dan ujaran kebencian, pornografi, berbagai bentuk penipuan hingga perekrutan teroris menyebar luas begitu mudahnya akibat perkembangan ini. Anak-anak bisa menjadi korban yang paling parah karena anak-anak belum punya filter yang cukup baik untuk menyaring berbagai konten tersebut.
Kompas.com (05/12/2017) menulis bahwa cara paling mudah melihat anak memiliki ketergantungan (baca: kecanduan) pada gawai adalah jika waktu bermain gawai mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Anak tidak mau melakukan yang lain selain bermain gawai. Ia baru mau makan, mandi atau belajar setelah bermain gawai. Akibatnya ini menjadi sumber pertengkaran diantara keluarga. Lebih-lebih jika bermain gawai menjadi satu-satunya aktivitas yang menyenangkan bagi anak.
Bagaimana peran orang tua yang mengakibatkan anak kecanduan gawai? “Kesalahan-kesalahan” orang tua seperti apa yang membuat anak kecanduan gawai?
Pertama, anak dipaparkan dengan gawai sedari bayi. Konon, memutar musik klasik diyakini memberi dampak baik bagi perkembangan anak. Karena praktis, gawai menjadi alat pemutar musik yang sering dipilih oleh orang tua. Secara tidak sadar gawai yang diletakkan di dekat si bayi menjadi mainan yang tentu saja mengasikkan. Bayi siapa yang tidak menyukai ‘mainan’ yang mengeluarkan berbagai macam bunyi-bunyian yang indah?
Mainan kesukaan ini tentu selalu dicarinya seiring pertumbuhannya. Apalagi anak adalah pembelajar paling maju perkembangannya. Tidak sulit bagi anak menemukan permainan pada gawai orang tuanya, bahkan permainan itu tidak diketahui oleh pemilik gawai tersebut. Begitu banyak konten internet yang dibuat khusus untuk menyenangkan anak-anak. Semakin anak tumbuh berkembang, semakin banyak hal menyenangkan yang ia temukan dari gawai. Semakin ia tergantung pada gawai.
Kedua, gawai adalah alat untuk menenangkan anak. Menjadi pemandangan yang umum dijumpai, bahwa demi menenangkan anak yang sedang ‘tantrum’ cara paling instan adalah memberinya gawai. Entah hanya untuk dipegang atau untuk dijadikan alat permainan. Dan ternyata ini sangat efektif. Ketika anak ingin meminkan gawai dan tidak dituruti oleh orang tua, anak sudah belajar bahwa ia ‘harus’ rewel terlebih dahulu agar dituruti. Lingkaran ini ternyata tidak mudah diputus.
Di banyak kesempatan sejauh yang kami amati, terutama dalam pertemuan-pertemuan keluarga dimana banyak anak-anak berkumpul, hal yang paling ampuh untuk membuat anak tenang dan menjadi anak yang manis – versi orang tua – adalah dengan memberi mereka gawai. Anak-anak tidak lagi berlarian dan bergerak – sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak sesuai usia pertumbuhannya – melainkan duduk manis ketika menggenggam gawai. Apalagi jika ‘duduk manis’ ini juga berarti ‘anak baik’ menurut orang tua.
Ketiga, orang tua terlalu sibuk dengan gawai. Dunia anak-anak adalah bermain. Permainan paling menyenangkan adalah bermain dengan orang tuanya. Hari ini, tidak sedikit dari kita para orang tua yang lebih sering ‘bermain’ dengan gawai dari pada bermain bersama anak. Gawai seolah menjadi satu-satunya benda yang tidak boleh jauh dari tangan kita mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Dan saat tidurpun gawai seringkali sengaja diletakan ditempat yang paling mudah terjangkau.
Entah setingan media atau bukan, sebuah video viral berisi seorang anak menjawab ‘menjadi HP’ ketika ditanya tentang apa cita-citanya. Dalam video ini, si anak menjelaskan kenapa ia ingin menjadi HP saja. Ia berkesimpulan bahwa orang tuanya lebih punya banyak waktu dengan gawainya daripada bermain bersamanya. Jika video ini setingan sekalipun, pesannya adalah kenyataan yang hari ini terjadi. Bagaimana anak merasa tersisihkan dari orang tuanya. Apalagi orang tua kadang justru memberi gawai kepada anak agar anak tidak mengganggunya ketika bermain gawai.
Bukan berarti kecanduan gawai pada anak tidak ‘tersembuhkan’. Orang tua harus kreatif dan menyediakan alternatif permainan yang menyenangkan. Permainan yang melibatkan lebih banyak anggota gerak tubuh. Semakin aktif anak bergerak semakin baik perkembangan fisiknya. Berkebun, bersih-bersih rumah, mencuci kendaraan, mencuci dan melipat baju, menyiapkan makan bersama, membereskan meja makan dan mencuci piring dan kegiatan di rumah lainnya bisa jadi alternatif permainan yang menyenangkan sekaligus mendorong kemandirian.
Yang paling penting adalah komitmen orang tua untuk menyediakan dirinya dan waktunya untuk bermain bersama anak. Perlu ada komitmen bersama di rumah untuk mengatur kapan dan bagaimana bermain gawai atau mengakses internet, yang berlaku bagi seisi rumah. Terutama mendampingi saat anak bermain gawai yang terkoneksi internet agar orang tua bisa menjadi filter yang baik terhadap apa yang diakses oleh anak. (Tulisan ini pernah tayang di www.depoedu.com, kami tayangkan kembali atas izin dari penulis). Foto ilustrasi : krjogja.com.
[…] Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai. […]
[…] Baca Juga :Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]
[…] Baca Juga : Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]
[…] Ayo Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]
[…] Ayo Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]
[…] Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]
[…] Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]
[…] Baca Juga : Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai […]