Eposdigi.com – Mengkuatirkan dampak buruk permainan game online bagi remaja, otoritas di China mengeluarkan kebijakan untuk membatasi remaja dan anak-anak bermain game online.
Kebijakan ini diberlakukan untuk mencegah anak dan remaja di China terkena efek negatif bermain game seperti kecanduan, kerusakan mata (rabun jauh), hingga terganggunya kegiatan belajar yang akan berpengaruh pada raihan nilai akademis.
Bahkan otoritas nasional Press and Publication Administration menguatirkan terganggunya kesehatan mental anak dan remaja China, akibat kecanduan game online.
Baca Juga: Darurat Kecanduan Gawai pada Anak.
Saat ini banyak anak dan remaja mulai terdeteksi kecanduan game online, bahkan mulai terdeteksi pula gangguan mental. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi anak dan remaja bermain game online tersebut.
Kebijakan tersebut membatasi remaja berusia di bawah 18 tahun tidak dapat bermain game online dari pukul 22.00 hingga pukul 08.00. Mereka hanya boleh bermain game selama 90 menit atau 1,5 jam.
Secara teknis, dengan pembatasan ini anak dan remaja tidak lagi mempunyai waktu untuk bermain game sama sekali, karena di China, waktu anak dan remaja pergi ke sekolah adalah pukul 06.30, dan selesai sekolah pada pukul 22.00. Ini yang dikeluhkan oleh para penggemar permainan game online.
Untuk mengefektifkan aturan baru ini, aturan tersebut juga mengatur agar semua gamers di bawah umur mesti melakukan log in ke game online dengan nama asli dan nomor kartu identitas resmi.
Meskipun demikian banyak pihak skeptis karena aturan tersebut tetap bisa diakali oleh para pemain belia tersebut dengan sejumlah cara. Misalnya, bisa saja memakai nama dan nomor identitasorang tua untuk log in.
Namun demikian, kebijakan ini tetap dilihat sebagai langkah maju. Otoritas di China mengambil langkah proaktif untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak akibat kecanduan game. Kebijakan serupa sudah diterapkan di Jepang dan Korea Selatan.
Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai.
Bagaimana dengan Indonesia? Apa langkah proaktif yang dilakukan oleh Kementrian Perlindungan Anak dan lembaga negara seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia terkait gejala ini?
Bukankah ini adalah gejala global, yang tidak hanya terjadi di China, Jepang dan Korea Selatan, namun juga terjadi dan melibat kan anak dan remaja kita? Bukankah mencegah lebih ringan daripada mengobati? (Artikel ini sudah pernah tayang di depoedu.com. kami tayangken kembali dengan izin dari penulis / Foto: nextren.grid.id)
Leave a Reply