Eposdigi.com – Disrupsi 4.0 yang masif dan pesat hari ini, mau tidak mau, tidak bisa kita hindari. Kehadirannya ibarat angin segar, yang pada waktu bersamaan pula, bisa berwujud angin topan.
Era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi dewasa ini membawa dampak tertentu bagi keseharian hidup kita, baik ikut yang menghasilkan hal positif, maupun sebaliknya.
Bagaimanapun, semestinya bukan teknologi yang menguasai kita, tetapi kita yang harus menguasasi teknologi.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan bahwa kemajuan teknologi dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup suatu peradaban, yang berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaan, yang diwarisi dari generasi ke generasi.
Salah satu contoh degradasi nilai dan moral yang hari ini marak terjadi ialah komodifikasi terhadap tubuh, baik perempuan maupun lelaki. Komodifikasi tubuh merupakan bentuk eksploitasi terhadap tubuh yang lahir sebagai produk kesadaran palsu melalui hegemoni dan propaganda media massa.
Komodifikasi menciptakan ilusi bahwa seakan tubuh kita memiliki nilai jual, yang mana alat transaksi dalam disrupsi era ini tidak melulu soal uang, tapi lebih kepada jumlah followers, likes, viewers, dan/atau subscribers. Seakan eksistensi kita diukur dari angka semata.
Baca Juga :Orang Muda, Revitalisasi Nilai Adat dan Tantangan Era 4.0
Di sisi lain, disrupsi 4.0 menciptakan ruang maya yang apabila kita optimalkan pemanfaatannya dapat membantu memerangi potensi degradasi nilai-nilai kehidupan, yang kita khawatirkan juga timbul daripadanya.
Nilai-nilai kehidupan memang semestinya harus mulai diinternalisasikan sejak usia dini, di mana anak-anak sebagai imitator terbesar lazimnya akan mulai mengenal hal-hal dasar dalam kehidupan, melalui orang-orang di sekitarnya, peristiwa yang dialaminya, pola asuh yang diterimanya.
Internalisasi dan imitasi bahkan pula dapat dimulai dari seperangkat produk atau wujud seni dan budaya yang diperkenalkan kepadanya. Sebut saja dongeng “Malin Kundang” yang sangat mashyur menyiratkan penghormatan kepada seorang ibu yang tak lekang oleh apapun.
Menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui produk dan wujud seni dan budaya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, termasuk nilai-nilai kehidupan orang Lamaholot, misalnya melalui permainan tradisional, tarian, lagu, pantun, syair kuno, dongeng, mitos, legenda, dan lain-lain.
Dengan mengandalkan dan mengoptimalkan kolektivitas orang Lamaholot yang dikenal tinggi, seyogyanya kita dapat membangun satu kesatuan sistem pelestarian seni dan budaya yang mengandung nilai-nilai kehidupan melalui dunia pendidikan.
Bagaimana caranya? Dengan membuat kurikulum lokal untuk muatan lokal yang dinamai “Seni Budaya Lamaholot”.
Muatan lokal “Seni Budaya Lamaholot” harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan kultural masyarakat Lamaholot di wilayah Kabupaten Flores Timur dan diberlakukan sejak bangku Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA).
Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan)
Dengan mengawinkannya dengan disrupsi 4.0, kita tak hanya bisa mengarsipkan produk dan karya seni lokal, namun juga bisa menyebarkannya secara luas.
Untuk usia SD misalnya, anak-anak bisa mulai belajar menulis pantun dalam bahasa daerah, mengenal lagu-lagu dalam bahasa daerah, dan mempraktikkan permainan tradisional.
Untuk usia SMP, pelajar bisa mempraktikkan drama singkat tentang keseharian hidup kita menggunakan bahasa daerah, mengenal syair-syair kuno, dan mendongeng dalam bahasa daerah.
Sedangkan siswa-siswi SMA bisa melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat setempat tentang sejarah desa setempat dan menceritakannya kembali, serta belajar membuat sambutan semiformal dan formal dalam bahasa daerah. Atau bisa juga disesuaikan dengan kurikulum baku yang ditetapkan.
Keseluruhan karya tersebut dapat dibuat dalam bentuk audio visual (video) dan di-upload ke kanal YouTube dan official account media sosial milik sekolah yang bersangkutan.
Mengingat bahwa budaya orang Lamaholot adalah budaya tutur, maka karya dalam bentuk audio visual adalah cara paling tepat. Atau dalam bentuk lain bisa membuat podcast dengan memanfaatkan platform untuk memutar podcast tersebut.
Bayangkan saja apabila Pemerintah Daerah Flores Timur kemudian mengoptimalkan sistem ini dengan terus melibatkan partisipasi publik secara aktif. Semisal menyelenggarakan lomba mendongeng tingkat SMP secara virtual.
Baca Juga : Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)
Masing-masing peserta sebagai perwakilan sekolah dapat mengunggah karyanya melalui platform media yang telah disepakati. Penilaian terhadap konten yang dilombakan memang harus didasarkan pada kriteria tertentu yang dibuat oleh pihak penyelenggara lomba.
Namun bukan berarti publik tak bisa ikut berpartisipasi. Menghadirkan “juara favorit” yang dinilai dari “likes“terbanyak bisa jadi jawabannya. Semakin banyak link karya dibagikan, semakin luas pula karya tersebut dikenal.
Bahkan putra-putri Lamaholot, khususnya Flores Timur yang berada di luar wilayah Flores Timur sekalipun dapat menikmatinya pula.
Hal semacam ini akan semakin mendorong para pelajar untuk mengoptimalkan pemanfaatan media sosialnya sebagai ajang promosi karya untuk menuai prestasi, bukan sensasi. Setiap pelajar niscaya akan semakin terdorong untuk membuat karya-karya yang apik dan menarik.
Memang cita-cita ini tidak bisa dengan serta merta kita wujudkan. Kendala fasilitas terutama mungkin akan kita jumpai di sana-sini. Namun bukan berarti ini tidak mungkin. Peran orang tua serta guru dalam membantu para pelajar menunjukkan eksistensi diri melalui karya akan sangat dibutuhkan.
Sambil menyelam minum air. Sambil berkarya, para siswa/i pun dapat mewujudkan upaya pelestarian nilai-nilai kehidupan melalui kreativitas dalam bingkai seni dan budaya. (Foto : Floresmuda.com)
*Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com dengan judul : Mengintegrasikan Corak Pendidikan Lokal dengan Disrupsi 4.0 di Flores Timur
**Penulis Adalah Mahasiswa FISIP – Prodi Ilmu Komunikasi – Konsentrasi Jurnalistik Universitas Nusa Cendana – Kupang NTT
[…] Baca Juga: Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan* […]
[…] Baca Juga: Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan* […]
[…] Baca Juga: Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan* […]
[…] Baca Juga: Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan […]