Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan)

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Kembali ke Kearifan Lokal

Eposdigi.com – Pendekatan dialektika ini akan mengantar kita pada batasan yang nyata dalam dimensi dan skup Adonara. Di sini konsep dialektika Plato membantu kita menjadi jembatan. Kita menjembatani terobosan kita dengan paradigma dan realitas secara keseluruhan di tanah Adonara.

Selain “kepulang”, ada beberapa kearifan   lokal lainnya, misalnya Gemohin (gotong royong ). Hal ini sebenarnya menjadi kekuatan dasar untuk kita berpijak secara sosial, ekonomi maupun politik.  Dari dulu sampai sekarang kita selalu bergotong royong.

Dalam  menyelesaikan persoalan sekecil atau seberat apapun, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Beban kerja atau persoalan sebesar apapun akan menjadi ringan karena setiap orang mengambil bagian di dalamnya.

Kita harus merasa bangga karena  Gemohin ini sudah ada sejak founding father kita dari abad XVI atau mungkin juga sebelumnya. Gemohin memiliki dampak sosial yang luar biasa. Kita perlu bangga karena ia lahir  sebelum lahirnya tokoh sosialist Karl Marx.

Jiwa sosial Ata Diken Adonara ini hanya dimengerti oleh orang Adonara. Orang lain tidak akan pernah mengertinya. Bahkan  mereka akan merasa aneh dengan jiwa sosial kita. Pernah di tahun 2014 dan 2017, saya bersama orangtua angkat dari Minneasota, salah satu negara bagian Amerika Serikat berlibur sebulan di kampung Lewopao – Ile Boleng.

Kebetulan bertepatan dengan pesta-pesta adat yang selalu dirayakan pada akhir Mei sampai Agustus. Waktunya memang harus  sesuai dengan keputusan pemangku Adat Lewopao. Kedua orangtua Amerika ini merasa begitu aneh dan heran. Alasannya karena kita selalu berkumpul.

Baca Juga:  Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)

Lalu mereka melihat begitu banyak orang yang datang menghantar bagiannya “PENANG”.  Begitupun ketika makan bersama secara adat dalam skala suku atau sekampung. Di sana ada begitu banyak hewan (Kambing dan Babi) yang dikorbankan.

Mereka merasa penasaran lalu melontarkan seribu satu macam pertanyaan. Mereka bertanya, apakah kebiasaan mereka di sini sudah seperti ini? Lalu siapa yang memberi mereka makan? Dari mana semua hewan korban diperoleh? Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan setiap kali mengadakan pesta?

Saya berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Mereka tetap saja tidak mengerti. Bahkan mereka mengatakan, “kami tidak dapat mengerti karna pesta tidak pernah putus. Kami mungkin tidak mampu karena uang simpanan kami pasti selesai seketika.  Lalu bagaimana dengan kehidupan kami selanjutnya”.

Singkat saja saya katakana, ya.. kamu tidak mengerti.  Kamu  tidak akan pernah mengerti karena kamu hanyalah pengunjung. Karena kaum capitalist seperti kamu berdua ini sulit memahami secara logis dan rasional. Saya yakin kamu pasti akan merasa diri menjadi seperti orang gila.

Apalagi ketika harus memberi ratusan bahkan ribuan orang makan seperti ini. Mereka merasa aneh dan tidak dapat mengerti jiwa sosial kita. Karena mereka bukan orang Adonara.  Tetapi saya bisa mengerti mereka, karena mereka berjiwa kapitalis. Saya mengerti mereka dengan prinsip hidup yang terikat dengan budget.

Sekecil apapun pengeluaran harus dicatat, dan dikalkulasi. Kita tidak mengenal hal itu. Karena kita menjujung nilai-nilai sosial sebagi yang pertama dan utama. Prinsip hidup dari nenek moyang kita adalah memberi tidak akan pernah membuat kita miskin. Kita boleh miskin secara material tapi hati kita tidak pernah miskin.

Sebaliknya  kenyataan yang saya alami setiap kali berlibur ke rumah mereka di negara bagian Minnesota. Saya begitu prihatin dan kasihan melihat kaum lansia di panti-panti jompo atau di apartemen-apertemen mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, sunyi dan sepi melanda hari hari tua mereka.

Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship

Kadang saya bertanya di mana anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka. Semua sibuk kerja, kerja dan kerja. Kalaupun ada waktu itupun diakhir pekan. Bahkan sekali waktu kedua orangtua itu bercerita tentang  anak dari teman mereka. Ia sebagai seorang pengacara. Ayahnya terpaksa tinggal sendirian di apartement selepas kematian ibunya.

Ya, begitu sunyi dan selalu mengharapkan kehadiran sosok putrinya. Kebetulan putrinya adalah satu-satunya anak mereka. Tetapi putrinya begitu sibuk dan tak pernah ada waktu sedikitpun bertemu.

Betapa malangnya nasib sang ayah sampai suatu ketika di telponnya sang putri, “putriku saya baik baik saja, tetapi saya sangat rindu mengharapkan kehadiran dirimu”. Ternyata apa yang dijawab oleh sang putri begitu mengejutkan.

Ayah pasti tahu dan mengerti anakmu sangat sibuk setiap hari dengan agenda, klien , pertemuan dan sidang di pengadilan yang tak pernah putus-putusnya. Lalu ayahnya menjawab, apakah engkau masih sempat datang di hari penguburanku?

Sang putri merasa sedih dan berkata, mengapa ayah berkata demikian? Ya aku membutuhkan kehadiran dirimu sekarang ini, karena itu lebih penting dari tangisan dirimu di saat ayahmu dalam balutan kain kafan,” jawab ayahnya dari seberang.

Cerita di atas selalu mengingatkan kita “Ata Diken Adonara” yang sosial dan kolektif.  Hal seperti ini jarang dan bahkan hampir tidak pernah terjadi pada kita. Kita sebagai anak, cucu dan cece  secara alamiah memiliki tanggung jawab moral. Kita tidak pernah merasa terpaksa untuk berada di dekat orangtua kita.

Bahkan kita berani mengorbankan semuanya demi kebahagiaan orangtua kita sampai diakhir hayat hidup mereka. Orientasi kekeluargaan dan kolektivitas kita begitu kuat erat melakat.  Hal ini tidak ada pada mereka.  Di satu sisi saya mengerti bahwa situasi memaksa mereka untuk tidak lagi memiliki rasa kedekatan.

Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Bagian kedua)

Rasa alamiah secara kolektive dan kekeluargaan sebagai skala prioritas yang sudah terkikis habis oleh mental mereka sebagai kaum kapitalis. Orientasi mereka telah berubah dari komunal ke  egosentris yang besar dan indivudalisme yang tinggi.

 Kita dengan mereka sama sama manusia. Tapi Kita lahir dari pola dan tatanan hidup yang berbeda. Sampai pada saatnya kita menutup usia sekalipun kita masih  berbeda dengan mereka. Betapa menyedihkan ketika saya harus menyaksikan peristiwa hidup mereka seperti ini.

Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa kehidupan orang Adonara sangat unik.  Ketika dilahirkan kami memang menangis sendirian, tetapi ketika kami mati, ada ratusan bahkan ribuan orang yang menangsi diri kami.  Dan ini benar adanya.

Berbeda lagi ketika saya berada di Mexico untuk belajar bahasa Spanyol. Saya selalu mendengar ungkapan popular mereka, “como Mexico no hay dos” artinya seperti Mexico tidak ada duanya. Mereka begitu bangga tentang kehidupan social dan budaya mereka.  Setidaknya ada sedikit kesamaan antara kita dengan mereka.

Orientasi kekeluargaan dan kolektivitas masih sangat kuat. Saya sendiri merasa begitu nyaman seperti berada di antara “Ata Diken Adonara”. Mereka selalu berkumpul bersama keluarganya sekalipun sibuk dengan begitu banyak pekerjaan.  Sangat jelas terlihat mereka begitu menikmati dan memaknai makna kehidupan mereka.

Orientasi mereka selalu  merujuk pada  satu darah yang termaktub dalam keluarga dan kolektivitas. Entah apapun kehidupan yang dialami dalam suka maupun duka. Mereka  semuanya turut mengambil bagian.

Demikianpun di Karibia ketika saya bekerja dengan kaum immigrant yang berbahasa Spanyol. Saya selalu dekat dengan mereka . Saya selalu percaya “Ata Diken Adonara “ selalu memiliki hati yang tulus. Kita  mendekati dan menerima siapun juga. Saya merasa mereka dekat dengan saya demikianpun sebaliknya  saya merasa dekat dengan mereka.

Lain lagi ketika saya bekerja beberapa bulan  di Irlandia. Waktu itu Saya tinggal dan bekerja di daerah pedesaan Irlandia. Orang orang begitu ramah. Pintu rumah mereka selalu terbuka untuk kita. Orang-orang di jalanan selalu tersenyum sambil mengucapkan selamat. Percakapan pertama disetiap hari baru selalu dimulai  adalah  cuaca.

Maklum cuaca di Irlandia berubah ubah tak menentu. Sesibuk apapun mereka pasti selalu ada waktu di akhir pekan untuk berkumpul bersama keluarga. Mereka menyanyi dan menari sambil menikmati kehangatan guines.  Ada kedekatan bathin tersendiri dan aku sungguh-sungguh menikmatinya.

Slogan Mexico, kehangatan orang-orang pedesaan di Irlandia  mengajaku kembali ke Nusa Tadon Adonara. Entah secara sadar ataupun tidak, ATA DIKEN ADONARA’ adalah manusia yang ramah tama.

Baca Juga: Agama Koda: Way of life Atadiken Adonara

Kita selalu membuka pintu rumah untuk siapa saja. Ini terlihat dari ajakan “welcoming”. Di jalan bawah disebut dengan kata “Peradok”.  Setiap orang yang berjalan melewati pekarangan rumah pasti ditegur, disapa dan diundang.

Terlebih orangtua  selalu mengajak mereka untuk singgah walaupun hanya sebentar saja. Bagi kaum pria mereka diajak untuk “golo kebako” atau merokok dan “tekan wua malu” atau bersirih pinang untuk kalangan wanita. Begitupun sebaliknya ketika kita berjalan melewati pekarang rumah orang lain. Selalu ada sapaan yang sama.

Hal berikutnya sebagai ekspresi keramahtamahan “Ata Diken Adonara” adalah salaman. Kalau di jalan bawah kita mengenal salamat dengan sebutan yang amat popular “Kereu” selamat jalan atau selamat tinggal.

Sebutan ini sebagai tanda penghargaan terhadap orang. Menariknya ucapan kata ‘Kereu’ ditujukan sesuai status sosialnya, orang terpandang, yang tidak dikenal, orang sebaya, atau orangtua.

Dan filosofi serta prinsip hidup yang menjadi kekuatan dasar bagi “ATA DIKEN ADONARA” adalah “KODA” Kata, bahasa. Mereka yang menetap di Adonara ataupun di luar mengerti apa itu Koda. koda menjadi kekuatan untuk berkata dan berbuat dalam kehidupan holistic “ATA DIKEN ADONARA”. Ungakapan “kodaham mureka pe moe morinkodaham nalane moe matayo” engkau akan hidup kalau engkau benar tapi engkau akan mati kalau engkau salah.

Karena kita percaya bahwa kehidupan “Ata Diken Adonara “  pada mulanya adalah “koda” Ia hadir di bumi menjelma menjadi manusia. Koda dipercaya menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan  bahkan kehidupan ataupun  kematian.

Kearifan lokal  ini rupanya sudah sedikit  mengalami degradasi nilai dalam setting kehidupan masyarakat. Ketika kita kembali ke kampung halaman. Saat ini  terlihat jelas pada tatanan  interaksi sosial antar warga. Sangat menyedihkan generasi sekarang.

Mereka secara perlahan mengadopsi pola hidup kekinian yang tidak lagi berakar pada tradisi budaya.  Pada hal kehidupan “ATA DIKEN ADONARA” selalu merasa indah ketika berada dalam keharmonisan dan  keseimbangan bersama.  Saya mengalami sendiri ketika berlibur di kampung halaman.

Orang sudah mulai belajar lupa hanya membalas ucapan selamat “kereu”.  Kita patut merasah resah dan gelisah. Karena  keharmonisan antara sesama manusia, alam dan wujud tertinggi sebagai bagian yang tak terpisahakan dalam tatanan kosmis secara perlahan terkikis esensinya.

Akhir kata

Pada akhirnya saya harus mengatakan bahwa kita ATA DIKEN ADONARA bukanlah pembunuh. Kita adalah orang orang yang berwatak keras tapi  berhati selembut kapas. Persoalannya  kita menerima segala sesuatu entah baik atau buruk secara harafia dalam hati kita.

Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Bagian Pertama)

Kita menumpuknya di dalam hati tanpa mencernanya lewat akal sehat kita. Ya saya sendiri mengalami itu. Saya mengalami kesulitan di saat-saat awal. Ketika berhadapan dengan orang orang Eropa atau Amerika. Misalnya kita beradu argument.

Menurut mereka hal biasa kalau argument itu logis dan rasional walaupun terkesan sangat kasar. Saat ini sebentar lagi mereka sudah lupa dan move on. Tapi untuk saya selalu butuh waktu. Apa lagi orang-orang di kampung kita.  Sulit sekali bagi siapapun untuk memaafkan siapa saja yang melukai orang dengan  kata- kata apalagi membunuh orang yang dicintainya.

Untuk itu sebagai “deket murine” generasi baru marilah kita bergerak ke arah pendekatan dialektis. Karena di sana sudah ada darah yang tercecer, “mei nawa” . Di sana ada luka bathin yang mengangah. Di sana sudah ada pengalaman traumatis.

Kita masih belum terlambat. Kita sudah memulia hal yang baik. Sebagai garda terdepan kita harus kembali ke Lewotanah. kita berjibaku bersama para pemangku adat  dengan pendekatan dialektika ini.

Seraya menghidupkan kembali kearifan lokal kita untuk menjaga keharmonisan secara menyeluruh. Kita tahu Sekalipun orangtua kita nyaman dalam kemapanan berpikirnya. Tetapi kita harus mencobanya dan jangan pernah menyerah.

Ingat bahwa jangan pernah bayangkan bahwa kita akan mejadi provokator. Kita mesti mejadi obor pembawa terang di tengah kegelapan. HEKE MEGE

April 2020 – St Maarten, kepulauan Karibia

(Tulisan ini sebelumnya tayang di tokanilejadi.blogspot.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis)

Sebarkan Artikel Ini:

8
Leave a Reply

avatar
8 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga : Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]

trackback

[…] Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan) […]