” Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan”
Eposdigi.com – Thesaurus.com mendefinisikan warrior sebagai (1) a person engaged or experienced in warfare; soldier (seseorang yang terlibat atau berpengalaman dalam perang, atau seorang serdadu); (2) a person who shows or has shown great vigor, courage, or aggressiveness, as in politics or athletics (seseorang yang memperlihatkan atau telah memperlihatkan semangat luar biasa, keberanian, atau keagresifan dalam dunia politik atau dunia atletik).
Lalu, walau Thesaurus.com tidak mempunyai definisi, kita dapat menemukan definisi warriorship dalam Merriam-webster.com: the practices, occupation, or status of a warrior. Saya sendiri mendefinisikan warriorship sebagai sifat dan pembawaan kependekaran, yang senantiasa menunjukkan semangat yang luar biasa, keberanian, dan kecekatan dalam mengerjakan sesuatu.
Tentang warriorship, mereka yang meminati topik hubungan antara agama, budaya, dan kemajuan pasti langsung melayangkan perhatian pada sejarah samurai Jepang. Samurai, yang pernah merupakan bangsawan militer Jepang, adalah jagoan kelas dunia yang mempunyai semangat dan ketrampilan kependekaran tinggi.
Baca Juga: Perang Historis Adonara (Bagian Pertama): Vatter dan Bias Pendekatan
Mereka bertarung dalam ketrampilan tinggi, dengan standar pelindung diri dan pedang yang jelas, tetapi sekaligus dengan kesportifan dan norma-norma yang jelas. Mereka juga menjalani hidup keseharian dengan standar etika yang jelas.
Walaupun sebagian mereka pernah turun kelas dan menjadi serdadu bayaran, seperti yang terjadi dalam perang kolonial di Maluku ketika dibayar Belanda kemudian Inggris, kependekaran samurai tetap dikenang.
Dan ketika samurai itu sendiri tidak ada lagi dalam sistem sosial dan politik Jepang modern, kesamuraian tetap dikenang dan hidup dalam code of ethics Bushido, yang diyakini menyumbang signifikan bagi kemajuan Jepang.
Delapan (8) kode etik para samurai yang dikenal luas adalah (1) integritas dan kejujuran, yaitu kelurusan yang utuh yang diperlihatkan dalam kesejalanan antara pemikiran, perkataan, dan perbuatan; (2) keberanian menghadapi kesulitan, yakni bertahan demi prinsip kebenaran sekalipun menghadapi tekanan dan kesulitan;
(3) kemurahan hati dan kasih saying, yakni disiplin dalam mencintai sesama sebagai penyeimbang yang sebanding dengan kehebatan perang; (4) hormat kepada orang lain, yakni pembawaan diri yang dianggap merupakan cermin dari keprajuritan sejati; (5) tulus ikhlas, yakni dengan menyampaikan informasi sesuai kenyataan, menjaga kata-kata, dan tidak menggunjing;
(6) kehormatan diri, yakni menghindari perilaku tidak berguna, tidak menyia-nyiakan waktu, dan tidak bersantai sembarangan; (7) kesetiaan kepada pimpinan dan guru, dengan cara terus berjuang dan menjalankan tugas dengan baik; dan (8) rendah hati dan menghormati orang tua.
Kedelapan poin etika tersebut tentu merupakan ajaran yang umum, tetapi kekenyalan kepemilikan nilai-nilai tersebut dalam diri samurai, yang kemudian menular pada masyarakat Jepang pada umumnya, pasti secara relatif jauh lebih meyakinkan dibandingkan masyarakat lain.
Hal itu karena nilai-nilai tersebut “dipaksa” pertumbuhannya dalam konteks sejarah dan budaya tertentu, dan “diasah” dalam tantangan yang serius.
Kedelapan poin etika tersebut kemudian bercampur dengan dua unsur etika yang telah dihidupkan dalam Religi Tokugawa, yakni altruisme (pengorbanan diri) dan kepatuhan pada organisasi masyarakat, sehingga membentuk budaya Jepang yang tangguh menghadapi aneka tantangan peradaban.
Baca Juga: Perang Historis Adonara : Kopong Medan dan Adonara yang Terus Berperang
Sekali lagi, kesepuluh nilai tersebut dibentuk oleh konteks sejarah tertentu, tetapi konteks sejarah tersebut sudah hilang. Dunia kesamuraian sudah tidak ada lagi. Keshogunan Tokugawa juga sudah tidak ada lagi. Konteksnya sudah menjadi masa lampau.
Hanyut dan dibiarkan hanyut bersama jalannya waktu. Tapi nilainya dipelihara. Dihidupkan dalam ruang peradaban baru. Yakni Jepang baru yang memodernisasi diri dalam segala aspek kehidupan. Jepang baru yang modern.
Jalan pikiran dan jalan peradaban yang sama mestinya juga diikuti dengan berani oleh orang Adonara. Pas kebetulan juga contoh Jepang yang diambil sepertinya mencerminkan Adonara, sehingga membaca Jepang sudah hampir seperti membaca diri Adonara sendiri.
Intinya adalah membiarkan konteksnya pergi bersama masa lampau. Yakni konteks perang. Tapi mari menghidupi warisan nilainya dalam konteks kehidupan kekinian, yakni perjuangan untuk mengakhiri berbagai ketertinggalan di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, baik sebagai orang Adonara, sebagai orang Flores Timur, sebagai orang NTT, sebagai warga bangsa Indonesia, maupun sebagai warga dunia.
“Perang” baru ini membutuhkan manusia-manusia dengan watak dan kemampuan terbaik, dan di sana sejumlah nilai positif warisan budaya perang tanding Adonara menjadi sangat relevan.
Kita anggap beberapa kejadian terakhir sebagai babak penutup. Dan barangkali anggapan itu juga yang tengah diyakini oleh lingkungan masyarakat terdekat.
Kita yakin bahwa sejumlah nilai yang kita wariskan dari perang tanding sesungguhnya tidak kalah dengan nilai-nilai kesamuraian Jepang. Demikian pula kekenyalan kepemilikan kita atas nilai-nilai tersebut, juga tidak kalah. Nilai-nilai tersebut menyumbang signifikan terhadap berbagai upaya memerangi ketertinggalan.
Sekadar mengulang dan mengkristalisasi, nilai-nilai tersebut adalah (1) loyalitas dan solidaritas tinggi dalam suatu persekutuan (lewo) dan selalu menempatkan diri sebagai bagian dari organisasi persekutuan (lewo); (2) pengorbanan diri (altruisme) untuk kepentingan orang banyak (lewo); (3) komitmen pada kebenaran dan keadilan;
(4) musyawarah; (5) rasa tanggung jawab tinggi ketika menyampaikan pikiran dan mengeluarkan kata-kata; (6) integritas dan kebersihan diri; (7) iman pada kemahakuasaan Tuhan; dan (8) kepercayaan atas perlindungan setia leluhur lewotanah.
Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot?
Sekali lagi, mengulangi beberapa poin yang sudah dikemukakan ketika mengomentari Vatter dan Kopong Medan, ada beberapa alasan untuk menghentikan perang sebagai bagian dari budaya Adonara:
Pertama, perang tidak tuntas menjawab kebutuhan akan kebenaran dan keadilan. Beberapa perang yang terjadi belakangan menghasilkan gambaran yang absurd tentang keadilan dan kebenaran sebagai ujung yang semestinya dicapai dari perang.
Korban jatuh di kedua belah pihak, dan karena itu dengan logika perang sulit menentukan siapa pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan. Dengan kondisi gantung seperti itu, perang yang sementara ini berhenti memiliki kemungkinan untuk muncul lagi di suatu waktu di masa depan dengan hasil yang absurd pula.
Kedua, perang mewariskan dendam dan tidak berproses tuntas menuju kedamaian. Beberapa perang belakangan juga tidak berproses hingga tahap akhir “hodi limat” sebagaimana yang digambarkan oleh Kopong Medan.
Selain karena fakta “korban di kedua belah pihak”, penghentian perang yang dilakukan secara terpaksa oleh Negara menghasilkan situasi aman sementara yang berpotensi untuk meletus lagi di kemudian hari. Karena itu, tujuan “kedamaian” yang lebih sejati, yang terjadi karena berlangsung di atas hubungan yang adil, tidak tercapai.
Ketiga, perang aktual sudah sulit dijaga kemurnian dan batas norma-normanya, serta dapat diboncengi kepentingan politik dan ekonomi. Beberapa perang belakangan membawa dan melampiaskan suasana konflik dan amarah di luar wilayah yang disengketakan. Ini tentu melanggar norma perang.
Perang juga sudah menggunakan senjata-senjata modern. Gejala adu domba yang berlangsung pada suasana perang juga menimbulkan dugaan bahwa perang yang terjadi dapat diboncengi oleh pihak tertentu untuk mengambil manfaat dari keadaan perang.
Keempat, perang melembagakan nilai-nilai tertentu sebagai elemen kultural yang negatif dalam kerangka kehidupan di arena yang lain. Nilai-nilai negatif yang inheren dalam keputusan perang adalah tidak sabar berproses, tidak mengandalkan alternatif jalan damai, tidak suka bernegosiasi, mengandalkan jalan pintas.
Nilai-nilai tersebut kontraproduktif dengan kebutuhan untuk memastikan bahwa generasi baru Adonara dapat survive di dunia pengabdian lain yang merupakan dunia-dunia dengan standar-standar nilai modern.
Baca Juga: Surat Dari Adonara; November 2019
Dunia modern memberikan penghargaan tinggi pada nilai kerja sama, kesabaran, komunikasi, negosiasi, dan pengambilan keputusan dengan pertimbangan matang.
Kelima, logika perang tradisional tidak relevan lagi dalam perang peradaban modern. Dalam perang tradisional, musuh saya ada di sana di hadapan saya. Sementara dalam perang modern antar bangsa, musuh saya disebar dan tersebar di sekitar saya, yang dapat menipu dan memperdaya saya.
Keenam, perang menghadirkan citra irasionalitas dan keprimitifan, dan itu merupakan brand buruk untuk generasi baru Adonara. Citra sebagai manusia perang mungkin berguna di dunia tertentu di masa lampau dan masa sekarang. Tetapi kemungkinan citra seperti itu tidak lagi berguna di masa depan.
Tentu saja transisi pengakhiran ini membutuhkan sejumlah pekerjaan.
Pertama, rekonstruksi struktur emosi orang Adonara. Kelemahan orang Adonara sebagai orang-orang yang terlalu mudah tersinggung, sebagaimana diamati oleh Vatter, perlu mendapat perhatian khusus. Pendidikan di sekolah dan di luar sekolah perlu diarahkan secara serius untuk menjawab persoalan ini.
Penanganan kelemahan ini, jika berhasil, tentu juga akan dengan sendirinya berguna untuk mengatasi banyak ketegangan sosial, yang terjadi juga di tingkat “lango”, “suku lango”, “suku”, dan “lewo”. Dan bagi generasi muda orang Adonara, kecerdasan emosional akan banyak berguna bagi kehidupan mereka.
Kedua, rekonseptualisasi tanah. Tanah bagi orang Adonara sangat sakral. Tanah adalah ibu yang memberi kehidupan. Dan kesakralan tersebut barangkali tidak perlu dipersoalkan. Sebab dengan menganggapnya sakral, kita berusaha untuk terus memeliharanya.
Yang perlu kita lakukan adalah menyempurnakan nilainya. (1) Bahwa tanah yang adalah ibu kehidupan tentu menjadi makin bernilai ketika dia memberi makan kepada makin banyak orang. Dan itu sesungguhnya sudah ditunjukkan dengan toleransi kita terhadap mereka yang boleh mengambil hasil dari atas tanah seseorang jika dia memang sedang haus atau sangat membutuhkan.
Dan (2) bahwa untuk alasan kehidupan yang sama, beberapa orang juga bisa, tanpa pengetahuan yang memadai, mengambil tanah dari kepemilikan seseorang. Dan karena itu, karena prasangka baik kita bahwa dia pasti melakukannya atas alasan mempertahankan hidup, kita pertama-tama perlu mengedepankan jalan damai untuk mengkomunikasikannya dengan baik.
Ketiga, peradilan alternatif. Perang hanya tuntas diakhiri jika ada alternatif lembaga penyelesaian sengketa yang efektif.
Dan sebagaimana telah kami usulkan, peradilan kampung (dan modifikasinya sehingga mencakup juga wilayah yang lebih luas di tingkat kecamatan) dan belo berekane dapat dipertimbangkan sebagai wahana peradilan alternatif, dengan cara dan norma yang lebih disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
Keempat, suasana sosial dengan energi positif dan damai. Kegiatan-kegiatan positif orang muda di lingkungan gereja dan mesjid, dengan saling berkunjung dan kerja sama, demikian juga kegiatan pramuka dan ekstra kurikuler lain dengan misi harmonisasi tentu senantiasa perlu didorong.
Beberapa kegiatan yang dipromosikan di media sosial terasa sekali efek psikologisnya.
Kelima, kepemimpinan kemasyarakatan. Disorganisasi sosial, yang merupakan efek dari perubahan-perubahan sosial di luar kendali kepemimpinan lokal, perlu diimbangi dengan kepemimpinan adat dan kepemimpinan pemerintah desa yang lebih baik.
Dalam kondisi organized, pengendalian sosial akan jauh lebih mudah dilakukan, dibandingkan dengan pengendalian sosial yang dilakukan di dalam masyarakat yang terpencar tanpa kepemimpinan.
Keenam, disrupsi dan transformasi. Tumbuhnya generasi baru dengan gaya hidup baru, yang fokus pada tantangan-tantangan dunia yang khas zamannya, perlu ditopang dengan pemberian ruang-ruang kreatif positif. Ruang-ruang positif dengan nilai-nilai baru ini dapat mengimbangi orientasi pada nilai-nilai lama yang bisa tumbuh kembali sesewaktu.
Dengan sikap yang jelas terhadap masa lampau, dengan orientasi dan komitmen baru untuk menghadirkan keAdonaraan dalam ruang peradaban baru, dan dengan agenda transisi sebagaimana kami tawarkan di atas, kita berharap Adonara dapat melangkah maju dengan lebih meyakinkan tanpa ada rasa bersalah terhadap masa lampaunya.
Adonara yang tetap “deket”, tapi mengaktualisasikannya di ruang peradaban baru.
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]
[…] Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship […]