Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Bagian Pertama)*

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Lewo sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum pra desa, dengan beberapa varian bentuk dan nama, mempunyai akar yang jauh terbenam dalam sejarah.

Tidak banyak alternatif metodologi untuk menggali dan mengenali akar keberadaan lewo ini di tengah keterbatasan referensi sekunder tertulis, kecuali tafsir terhadap berbagai tutur dan cerita yang diwariskan.

Pilihan metodologi seperti ini tentu mempunyai kemungkinan bias yang mau tidak mau harus dipahami. Yang perlu dilakukan adalah optimalisasi pendayagunaan metodologi seperti ini agar dapat membantu menghasilkan pengetahuan yang berguna.

Temuan esensi adalah tujuan dari penelusuran eksistensi lewo beserta susunan dan adat istiadatnya, sebagai basis orientasi dari pembentukan Lembaga Adat Desa (LAD).

Tujuan tersebut semestinya menempati urutan utama ketimbang menemukan susunan, titik penting dan urutan waktu, serta tata fisik dan tata cara sebagaimana yang biasa dilakukan dalam kerja etnografi.

Temuan esensi dapat membantu kita membangun kerangka berpikir yang lebih solid dalam kerja pembangunan desa, atau lebih jauh dapat kita sebut sebagai kerja pembangunan peradaban di desa.

Baca Juga : Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan)

Melalui kerangka berpikir tersebut, tema “tiga batu tungku” yang sering didengungkan dapat dioperasionalkan dengan kerja-kerja yang lebih bermakna.

Komponen Utama

Kita makin menyadari bahwa tutur dan penafsiran terkait sejarah pembentukan lewo berbeda dari satu desa ke desa yang lain, bahkan mungkin dari satu pribadi ke pribadi yang lain.

 Pada saat yang sama kita pun menyadari bahwa apa yang menjadi pengetahuan setiap kita hari ini tentang proses pembentukan lewo belum tentu sama persis dengan fakta proses pembentukan lewo untuk setiap lewo yang kita maksudkan.

Semua itu tentu terkait dengan jarak waktu yang sudah terlalu jauh antara hari ini dan waktu ketika lewo terbentuk, dan metode perolehan pengetahuan kita yang sepenuhnya berdasarkan pada narasi lisan yang diturunkan dari waktu ke waktu.

Pada akhirnya kita memang hanya bisa menampung berbagai narasi tersebut tanpa perlu melakukan penilaian apakah narasi tersebut benar atau tidak. Karena untuk melakukan penilaian pun kita tidak mempunyai basis yang kuat.

Di atas segala narasi dan perbedaan yang ada, sejauh yang sudah berkembang dari diskusi di grup Epu Orin Adonara kita dapat mengidentifikasi beberapa kesamaan dasar komponen lewo dan proses pembentukannya, yakni:

(1) Adanya lewo tana alapen (perintis dan penguasa pertama) yang menguasai suatu wilayah adat, yang memiliki kebesaran hati untuk berbagi tanah yang dikuasai tersebut kepada beberapa orang dan/atau suku yang berkehendak bermukim bersama di wilayah tersebut dan hidup bersama sebagai suatu komunitas;

(2) Adanya pengorganisasian lebih lanjut para pemukim, yang berujung pada pembentukan lewo melalui proses mula nuba ada nara, dengan segala pembagian tugas dan wewenang;

(3) Adanya kehadiran Tuhan dalam proses pembentukan lewo, yang disambut dengan serius dan penuh rasa syukur oleh alam raya dan segenap warganya, yang diwakili oleh para pemangku yang terlibat dalam proses mula nuba ada nara;

Baca Juga: Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)

(4) Adanya upaya serius memelihara kehadiran Tuhan dan relasinya dengan lewotana dan alam raya melalui simbol nuba nara dan/atau kesadaran yang terus terpelihara;

(5) Adanya kharisma yang terus mengalir dan berkembang bersamaan dengan pelaksanaan berbagai urusan dan wewenang di lewo yang diyakini berkembang karena kedekatan dengan Tuhan;

(6) Adanya upaya untuk terus menghadirkan Tuhan dan berdialog denganNya dan alam raya melalui berbagai ritus di berbagai urusan;

(7) Adanya kewibawaan yang terus tumbuh dalam diri lewo tana alapen dan para pemangku karena kemurnian batin dalam menjaga lewo, dan ketekunan dalam melakukan dialog penuh kerendahan hati dengan Tuhan;

(8) Adanya kepemimpinan yang makin terbentuk dari waktu ke waktu, yang mulai menjalankan fungsi-fungsi quasi modern, yang bisa bersumber dari lewo tana alapen itu sendiri atau dari sumber lain yang tumbuh melalui peristiwa-peristiwa sejarah kemudian (belen lewo, mehene lewo, kebelen lewo, raja, bela, dan sebagainya).

Kekayaan Nilai dan Kharisma

Perbedaan dalam struktur lewo, yakni yang berkaitan dengan tata organisasi, tata wewenang dan kharismanya, tata simbolik fisik dan ritualnya, adalah realitas yang tidak perlu mengundang godaan untuk menyeragamkan dan mempersoalkannya.

Realitas tersebut adalah realitas temuan yang hanya patut disyukuri, karena yang mau kita “temukan kembali” dalam proses revitalitasi Lembaga Adat Desa ini bukanlah terutama susunan organisasi yang relatif berbeda-beda tersebut.

Yang mau kita temukan adalah hal hakiki di balik susunan organisasi tersebut, yakni apa yang mungkin masih belum terdefinisikan dengan baik tetapi yang kita yakini sebagai: kuat kemuha atau ike kewaat, nilai-nilai dasar, koda kirin miline kaka ama gena, kearifan-kearifan mulia, yang tumbuh dalam perilaku manusia Ata Diken Adonara Lamaholot.

Karena itu regulasi terkait lembaga adat tidak perlu berurusan dengan godaan akademis untuk mempertanyakan ada tidaknya lewo di suatu desa dan bagaimana sesungguhnya tata organisasi lewo tersebut, yang bisa saja berujung pada treatment penataan yang terlalu jauh.

Regulasi sebaiknya membatasi diri untuk hanya memfasilitasi pengakuan atas adanya lewo, yang keberadaannya sudah diakui dan susunan organisasinya sudah diketahui oleh warga desa yang bersangkutan.

Tentang nilai-nilai dasar, atau koda kirin miline, tentu saja setiap anak Adonara Lamaholot dapat mempunyai catatan dan urutan yang berbeda berdasarkan nasehat dan pengalaman pribadi masing-masing.

Saya sendiri mencatat beberapa nilai utama yang mengalir dari dunia kehidupan adat: (1) Sikap iman yang kuat, dengan mengandalkan Tuhan dan leluhur lewotana dalam setiap peristiwa hidup, sebagaimana mengemuka dalam kebiasaan doa di rie hikun liman wanan, dalam ungkapan Lewo molo kame dore, dan dalam nasehat ake soot ake kedoko;

(2) Bakti dan pengabdian yang total pada lewo dan bentuk kesatuan lain seperti suku dan keluarga, sebagaimana mengemuka dalam praktek-praktek gotong royong dan gelekat;

 (3) Cinta dan solidaritas, serta sikap membantu penuh keikhlasan pada kerabat dan sesama, yang nyata dalam hidup keseharian dan yang memanifestasi dalam praktek tulun tali dan gute gelekat;

Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship

(4) penghargaan tinggi pada hak dan kewajiban, serta pada nilai kebenaran dan kelurusan hidup, yang mengemuka dalam prinsip ata raeka ata raeka titet titet;

(5) Keberanian, ketangguhan dan sikap pantang menyerah karena keyakinan atas keberpihakan Tuhan pada mereka yang berada di posisi benar (deket);

(6) Kecerdasan berbagi dan bekerja sama di bawah etos pohe gemohin; dan (7) Rasa kekerabatan inklusif dan kepedulian kemanusiaan yang tinggi pada siapapun juga sesama melalui sapaan-sapaan hangat dalam praktek keseharian.

Ditambah dengan nilai-nilai cinta yang lebih tinggi yang diperkaya melalui ajaran-ajaran moral agama, yang menggenapi ajaran solidaritas lokal dengan sikap mudah memaafkan dan tidak dendam, semua nilai ini sudah semestinya menghasilkan manusia Adonara Lamaholot dengan kecerdasan spiritual, moral, dan sosial sangat tinggi.

Segala usaha untuk revitalisasi Lembaga Adat Desa sebaiknya tertuju pada sasaran jauh revitalisasi nilai-nilai luhur yang bersumber dari kehidupan dunia adat istiadat ini.

Semua nilai ini, selain dipelihara melalui adat istiadat kelahiran, perkawinan, kematian, pertanahan, seni dan budaya, olahraga, perdamaian, pertahanan, dan keorganisasian, juga ditopang pertumbuhannya oleh kekuatan kharisma lewo yang diturunkan Tuhan melalui para pemangku di desa.

Kharisma-kharisma tersebut berbeda komposisi antar lewo, tetapi beberapa di antaranya dapat disebut: (1) kharisma penjembatanan relasi dengan Tuhan (rera wulan); (2) kharisma penjembatanan relasi dengan alam raya (urut wai);

(3) kharisma perlindungan dari bencana (nuun mayan); (4) kharisma rekonsiliasi (ata mua); (5) kharisma relasi dengan leluhur (kedan keneren); (6) kharisma penyembuhan (ata molan);

(7) kharisma pertahanan (reket leu, niha karang); dan lain-lain. Semua kharisma ini menguatkan rasa syukur dan kedekatan pada Tuhan dari waktu ke waktu, sedemikian rupa sehingga menghasilkan kewibawaan dan kekuatan lewo yang luar biasa.

Kekuatan dan kewibawaan tersebut membuat lewo mampu mengikat dan menumbuhkan nilai-nilai terbaik dalam diri warganya, baik untuk kepentingan kebersamaan itu sendiri maupun sebagai bentuk syukur pada Yang Maha Kuasa. Bersambung….

*Tulisan ini dibuat terutama sebagai bagian dari respon terhadap berbagai pemikiran yang berkembang dari diskusi zoom Grup Epu Orin Adonara, dengan tema Hubungan antara Pemimpin Lewo dan Pemimpin Desa, 9 Juni 2020.

Sebarkan Artikel Ini:

2
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Bagian Pertama)* […]

trackback

[…] Baca Juga: Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Bagian Pertama)*   […]