Eposdigi.com – Pemilihan kepada desa (pilkades) merupakan salah satu ciri dominan dari demokrasi desa. Pawai demokrasi desa yang dipertontonkan di negeri ini, sesungguhnya telah lama hadir mewarnai pasang surut perpolitikan desa.
Itu sebabnya pilkades seringkali dipandang sebagai sebuah arena pendidikan politik dan demokrasi bagi warga desa.
Karena dalam pilkades warga desa dapat menggunakan hak politiknya dengan cara mendatangi tempat pemungutan suara untuk memilih secara langsung para calon kepala desa yang dinilai terbaik memimpin desa.
Dalam pilkades para kontestan diharapkan berkompetisi sesuai prosedur demokrasi yang jujur dan adil serta regulasi yang berlaku.
Baca Juga: Menggali Akar Demokrasi Desa dari Tanah Leluhur
Warga desa pun mesti diberi kebebasan menggunakan hak dan pilihan politiknya secara cerdas, bebas dan mandiri dalam menentukan calon pemimpin terbaik yang layak memimpin desa selama satu periode ke depan.
Melalui mekanisme pilkades yang demokratis niscaya akan menjamin kesinambungan kepemimpinan desa dan kontrol warga terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan yang lebih akuntabel dan transparan di desa.
Walaupun sirkulasi elit politik desa telah lama hadir menjadi basis demokrasi dan relasi sosial politik antara elit dengan warga desa, namun selalu tak luput dari permainan politik kotor para elit desa.
Karena itu dinamika politik desa menjelang pilkades berupa tarik menarik kepentingan seringkali tak terhindarkan bahkan seringkali memicu konflik dan intrik politik yang tak sehat antar elit dan masyarakat pendukungnya sejak proses pencalonan sampai pada masa pasca pilkades.
Baca Juga: Menggagas Sumpah Adat Saat Pelantikan Pejabat Publik di Lamaholot
Munculnya intrik politik seperti politik uang, hoax dan berbagai tekanan maupun mobilisasi dukungan, baik yang dilakukan secara terbuka maupun diam-diam merupakan sebuah fenomena politik di desa yang tak mesti dilanggengkan karena dapat merusak kohesivitas sosial dan sendi-sendi berdemokrasi di desa.
Tim pemantau pilkades serentak di Kabupaten Bogor menemukan sebanyak 1.027 kasus dan didominasi politik uang serta ketidaknetralan ASN, (Pojokbogor.com, 3/11/2019).
Sejumlah temuan ini sejatinya merupakan aib bagi demokrasi dan tamparan keras buat pemerintah daerah yang tak serius mengelola pemerintahan yang bersih dan demokratis di level lokal.
Bahkan pemerintah daerah di beberapa wilayah tanah air lebih cenderung sibuk melayani dirinya sendiri dari pada peduli dengan kepentingan warga desa.
Baca Juga: Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Penutup)
Kasus politik uang dan ketidaknetralan perangkat desa tentu bisa terjadi berulang kali dan akan meluas ke berbagai wilayah lain, kalau tak ada langkah antisipasi dan upaya pencegahan serius dari pemerintah setempat secara terprogram dan berkelanjutan.
Oleh sebab itu tak mengherankan apabila setelah pilkades selesai dan susunan pemerintahan desa baru terbentuk, kemudian muncul berbagai sikap apatis, masa bodoh dan cenderung menaruh prasangka buruk terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa dari para pihak yang kalah dalam pilkades.
Kelompok warga yang menjadi oposan ini kemudian menarik diri dari segala aktivitas pembangunan desa sehingga roda pemerintahan desa pun nyaris lepas kendali dan makin eksklusif dari amatan warga desa.
Sikap politik warga desa yang demikian justeru akan merugikan kepentingan desa itu sendiri karena selain memperburuk wajah demokrasi, juga akan menutup ruang partisipasi politik warga terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan desa.
Baca Juga: Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Bagian Pertama)*
Situasi seperti inipun seringkali dimanfaatkan oleh sejumlah oknum aparatur desa untuk melakukan tindakan melawan hukum dengan mengabaikan kepentingan masyarakat luas guna memperoleh keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Akibatnya roda pemerintahan dan pembangunan desa makin jauh dari praktek baik dan berpotensi menimbulkan praktek abuse of power yang kemudian berujung pada munculnya kasus KKN, yang telah banyak menimpa para kepala desa dan perangkatnya,
Data dari ICW menunjukkan bahwa sejak tahun 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi yang melibatkan para kepala desa dan perangkatnya serta kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa mencapai total Rp 111 miliar, (Kompas.com, 22/3/2021).
Sejumlah kasus ini telah membuktikan bahwa KKN telah menggerogoti desa dan merusak tatanan berdesa. Tentu hal ini bisa terjadi karena lemah dan makin tak efektifnya fungsi kontrol institusi BPD dan warga desa.
Baca Juga: COVID-19 dan Jalan Menuju Kedaulatan Pangan di Desa
UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, sejatinya telah mempertegas dan memperkokoh kembali budaya berdemokrasi yang lebih sehat di Desa sebagai wujud rekognisi Negara atas keunikan tradisi berdesa, sehingga bisa dihindari kasus penyalagunaan kekuasaan di desa.
Namun Sutoro Eko, cs, (2014) mengingatkan bahwa dengan adanya asas rokognisi dan subsidiaritas dapat memunculkan kembali watak feodal dan elitisme baru dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Itu sebabnya penerapan demokrasi desa yang berbasis pada pelibatan waga secara substantif di berbagai aspek pembangunan desa menjadi kebutuhan esensial untuk mengendalikan munculnya watak feodal dari para oligark desa.
Selain itu dapat menumbuhkan kemandirian dan kesadaran baru warga desa tentang posisi politiknya yang strategis sebagai subyek pembangunan dan pemilik kedaulatan di desa.
Dengan demikian penguatan kapasitas warga secara kelembagaan dan individual merupakan hal niscaya yang mampu mendorong pelembagaan demokrasi desa.
Baca Juga: Warga Hadakewa; Dana Desa untuk Beternak Babi
Ini ditandai dengan lahirnya pemilih cerdas sehingga dapat memilih sosok pemimpin baru desa yang berintegritas tinggi, paham regulasi, inovatif, peduli dan sensitif terhadap kepentingan warga.
Sekaligus pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan sehingga berani melakukan terobosan pembangunan secara masif menuju masyarakat desa yang lebih sejahtera dan mandiri.
Foto ilustrasi: probolinggokab.go.id
Leave a Reply