Modus Operandi Korupsi Kepala Daerah

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kasus korupsi yang dilkukan oleh kepala daerah tergolong cukup tinggi. Kepala daerah yang terjerat kasus korupsi baru-baru ini adalah Nurdin Basirun, Gubernur Kepulauan Riau. Selama 2004 hingga 2019, Katadata.co.id mencatat ada 114 kepala daerah yang ditangkap KPK, dengan berbagai kasus korupsi.

114 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terdiri dari 17 gubernur, 74 bupata dan 23 walikota. Kebanyakan kerena kasus suap dan gratifikasi yaitu 81 kasus. Kasus lainnya berupa penyalahgunaan anggaran sebanyak 27 kasus, pengadaan barang dan jasa ada 13 kasus. Tindak pidana pencucian uang 9 kasus, perizinan 6 kasus dan pungutan yang menjerat seorang gubernur dan 2 orang bupati / walikota.

Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 30 September 2016 mengungkapkan bahwa  penyebab kepala daerah melakukan korupsi antara lain: Pertama : Monopoli Kekuasaan.  Kekuasaan seorang kepala daerah dalam pengelolaan APBD, rekrutmen pejabat daerah, perijinan pengelolaah sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, dan pembuatan perda berpotensi menyeret seorang kepala daerah kepada perbuatan tindak pidana korupsi. Apalagi jika terjadi politik dinasti di daerah tersebut.

Kedua, Diskresi Kebijakan. Dalam keadaan mendesak, seorang kepala daerah diberi kebijakan untuk memutus sesuatu diluar APBD. Sayangnya kebijakan yang sangat dibatasi ini sering dipahami secara salah. Akibatnya banyak kebijakan atas nama dikresi yang kebablasan.

Ketiga, Lemahnya Akuntabilitas. Perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif dalam pembuatan perda, perijinan, pengadaan barang dan jasa membuat pengelolaan APBD menjadi tidak transparan.

Keempat, beberapa factor lain yang juga menjadi penyebab kecendrungan korupsi kepala daerah adalah biaya politik yang mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan.

Dalam perilaku korup para kepala daerah setidaknya ada 18 cara atau modus operandi  tindakan korupsi dilakukan, antara lain:

(1) Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” Kepala Daerah/Pejabat Daerah mengintervensi proses pengadaan barang dan jasa dalam rangka memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah

(2) Pengusaha mempengaruhi Kepala Daerah/Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses pengadaan barang dan jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga barang/jasa dinaikkan (mark up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan

(3) Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merk atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up harga barang atau nilai kontrak

(4) Kepala Daerah/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif

(5) Kepala Daerah/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah yang bersangkutan, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar, bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya fiktif

(6) Kepala Daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi

(7) Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan ruislag atas aset Pemda dan melakukan mark down atas aset Pemda serta mark up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan

(8) Para Kepala Daerah meminta uang jasa (dibayar dimuka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek

(9) Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan

(10) Kepala Daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mepermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur

(11) Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank

(12) Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiiki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya

(13) Kepala Daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya

(14) Kepala Daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga yang murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di-mark up

(15) Kepala Daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya menggunakan anggaran daerahnya

(16) Kepala Daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban kepada anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK

(17) Kepala Daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD

(18) Kepala Daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah

Masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi. Sesuai dengan dengan UU Nomor 31 tahun 1999 dan PP Nomor 43 tahun 2018 masyarakat diharapkan mempunyai control social dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi. Maka jika menemukan indikasi korupsi, masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi. Jika menduga ada korupsi, siapkan bukti dan laporkan. (Penulis adalah Ketua Umum LSM Anti Korupsi – GAPURA RI. – Foto: beritasatu.com)

Sebarkan Artikel Ini:

1
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Modus Operandi Korupsi Kepala Daerah […]