Eposdigi.com- Demokrasi pada hakikatnya selalu memposisikan kekuasaan Negara atau pemerintahan berada di tangan rakyat. Menurut Franz Magnis Suseno,(1996) rupa demokrasi cukup bervariasi, tetapi semuanya tetap bermuara pada satu titik yang sama, yaitu adanya pelembagaan mekanisme guna memaksimalkan kontrol warga sipil terhadap pemerintah.
Di dalam Negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat mendapat tempat yang sangat istimewa sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dan secara periodik teraktualisasi dalam pemilu dan beragam cara lain, seperti melalui opini di media, diskusi publik, unjuk rasa dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan di semua level pemerintahan.
Baca juga: Problem Parpol Sebagai Pilar Demokrasi
Melalui pemilu yang demokratis rakyat melakukan evaluasi terhadap sang pemimpinnya dan memberikan persetujuan untuk menyerahkan kekuasaanya kembali secara sah kepada pemimpin atau calon pemimpin baru yang diyakini paling mampu membawa rakyat mewujudkan kemajuan dan kemakmuran rakyat.
Dalam demokrasi setiap unsur kekuasaan Negara nyaris tak bisa lepas dari intervensi rakyat. Walaupun menurut sejumlah pihak esensi dan bobot demokrasi tak hanya ditakar dari beramai-ramai orang melakukan aksi turun ke jalan-jalan dan ke bilik suara melalui hajatan pemilu.
Karena menurut Hannah Arendt, (2011) orang-orang seperti itu sebagai pribadi yang tidak sanggup berpikir sendiri. Mereka mudah terbakar oleh propaganda, provokasi dan isu-isu sentimental dan primordial.
Itu sebabnya demokrasi substantif hanya bisa diwujudkan dalam suatu sistem pemerintahan yang tak boleh membiarkan adanya intimidasi dan mobilisasi massa. Melainkan selalu mengupayakan pelibatan semua elemen masyarakat secara sadar dan aktif berpikir dan bersuara kritis melalui debat terbuka di ruang-ruang publik, opini di media massa untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap kekuasaan.
Baca juga: Memahami Local Strongmen Dalam Peta Politik Lokal
Sekaligus menawarkan ide atau gagasan brilian guna mengatasi berbagai kemelut yang dihadapi pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian kecenderungan praktik demokrasi modern yang dipertontonkan oleh penguasa hari ini makin menunjukkan karakter oligarkis.
Menurut J.A. Winters, (2011), oligarki merupakan politik mempertahankan kekayaan atau kekuasaan oleh mereka yang kaya. Karena itu menurut Winters jika sistem demokrasi yang sedang berkembang akan semakin membuat oligarki merajalela dan hal ini bukan kesalahan sistem demokrasi, melainkan karena lemahnya sistem penegakan hukum.
Sedangkan Hadiz dan Robison, (2004) memahami oligarki sebagai kekuatan-kekuatan yang berada di lingkaran inti kekuasaan dan mendominasi struktur ekonomi dan politik.
Atau dengan kata lain oligarki merupakan relasi kuasa saling menguntungkan antara para kapitalis dan elit politik agar dapat menguasai akses sumber daya ekonomi dan politik Negara secara tak terbatas dan berkelanjutan. Akibatnya sirkulasi elit politik di dalam Negara hanya berputar di lingkaran para oligark yang telah menguasai akses sumber daya dan jaringan ekonomi dan politik Negara.
Itu sebabnya akumulasi kekuatan dan kekayaan para oligark makin nyata serta hidup bergelimangan harta sedangkan rakyat tetap miskin karena hanya dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan dan melegitimasi kekuasaan semata.
Baca juga: Menggali Akar Demokrasi Desa Dari Tanah Leluhur
Rezim pemerintahan saat ini kian terperangkap dalam permainan oligarki akibat praktik politik berbiaya tinggi di hampir semua tingkatan. Mahalnya ongkos politik setelah reformasi yang kemudian bersamaan dengan maraknya jual beli suara atau politik uang dan pragmatisme politik justru makin mengokohkan posisi para oligark dan para kapitalis dalam proses pengambilan keputusan di hampir semua level.
Menurut sejumlah pihak meningkatnya koalisi politik gemuk fraksi-fraksi pendukung pemerintah di parlemen mengindikasikan adanya kekuatan oligarki yang makin efektif mencengkram elemen demokrasi yang menjadi kekuatan inti negara.
Melalui koalisi politik gemuk, semisalnya di DPR RI nyaris segala keinginan dan tindakan politik yang diambil penguasa selalu berjalan mulus tanpa kontrol berarti.
Dua fraksi (F-PKS dan F-Partai Demokrat) yang diharapkan dapat menjadi benteng penyeimbang kekuatan dan pengontrol penyelenggaraan Negara nyaris tak memiliki kekuatan karena selalu kalah suara di parlemen bila ingin membendung langkah politik eksekutif yang dianggap menyimpang dari kehendak mayoritas publik.
Seiring berjalannya waktu praktik demokrasi Indonesia makin mengalami kemunduran karena secara perlahan-lahan satu persatu organisasi politik dan elemen organisasi masyarakat sipil yang diharapkan bisa menjadi alat perjuangan rakyat mulai terkooptasi oleh kekuatan oligarki.
Baca juga: Mencermati Dinamika Politik Menuju Kekuasaan
Inilah dampak negatif dari kebebasan berdemokrasi tanpa diikuti oleh pendidikan politik warga dan penguatan terhadap kapasitas sumber daya Negara secara memadai. Guna membendung langkah oligarki setidaknya rekomendasi Seymour Martin Lipset, (1956) maupun Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll, dalam Three Solutions to the Oligarchy Problem, (2013) penting untuk dikaji lebih serius dan komprehensif.
Hal itu dimaksudkan untuk mencegah meluasnya cengkraman oligarki dalam Negara demokrasi. Itu berarti sistem pemilihan kepala daerah dan presiden berdasarkan sistem perwakilan seperti di masa lalu perlu dipertimbangkan kembali tetapi tetap di bawah sebuah mekanisme hukum yang kuat dan pengawasan yang super ketat dari publik.
Demikian juga dengan syarat ambang batas dalam pencalonan presiden dan calon independen dalam pilkada, mestinya lebih sederhana agar dapat membuka ruang politik seluas-luasnya bagi partai-partai gurem dan calon potensial berkualitas di luar partai politik untuk dapat mengambil bagian dalam proses rekrutmen pejabat publik di negeri ini.
Baca juga: Degradasi Karakter Pejabat Publik Dalam Melayani
Apabila makin banyak orang terbaik yang mencalonkan diri tentu akan memberi banyak pilihan bagi rakyat untuk memilih calon-calon pemimpin berkualitas yang mampu membawa perubahan signifikan bagi bangsa dan Negara di masa depan dan sekaligus dapat mendorong perbaikan kualitas sistem demokrasi kita.
Dengan demikian semua elemen rakyat mestinya bersatu dan tak boleh tinggal diam membiarkan Negara ambruk dan jatuh ke tangan oligarki atau segelintir orang serakah.
Karena para oligark hanya memanfaatkan demokrasi sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan agar dapat merampok sumber daya Negara tanpa batas dan bukan untuk memikirkan bagaimana cara mengatasi nasib jutaan rakyat yang masih tetap miskin di negeri ini.
Sumber foto: jejakrekam.com
Leave a Reply