Mencermati Dinamika Politik Menuju Kekuasaan

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com-  Kejatuhan  rezim pemerintahan Soeharto selama berkuasa lebih dari tiga decade, telah menandai  berakhirnya kekuasaan otoritarian dan  awal dimulainya orde reformasi di segala bidang kehidupan di bawah suatu sistem pemerintahan yang demokratis. 

Demokrasi menjadi kata kunci dalam segala hal, rakyat telah mendapat posisinya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan calon pemimpin yang dikehendakinya.

Kebebasan dalam menyampaikan kritik dan gagasan melalui berbagai forum dan media massa menjadi hal yang lumrah bahkan cenderung kebablasan dan menimbulkan kontroversi di ruang publik. 

Atas nama kebebasan berserikat dan berpendapat telah melahirkan begitu banyak organisasi  politik yang menghiasi tatanan demokrasi di negeri ini.  

Baca juga: Degradasi Karakter Pejabat Publik Dalam Melayani

Sungguh tak bisa dihindari  kalau saat ini bermunculan sejumlah orang yang berniat  mencalonkan diri menjadi  pemimpin politik.  Inilah bonus demokrasi ketika kita memilih jalan demokrasi sebagai solusi mengatasi kemelut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam perspektif politik jalan menuju kekuasaan hanya melalui partai politik (parpol) dan calon  independen di level lokal.  Itu sebabnya tak sedikit orang berjuang mati-matian dengan mengerahkan segala kekuatan sumber daya untuk menjadi pimpinan parpol. 

Apabila tak memperoleh jabatan puncak, setidaknya bisa menjadi  pengurus inti  parpol. Sebab  menguasai  parpol   setidaknya jalan menuju puncak kekuasaan dan akses sumber daya ekonomi dan politik pun akan terbuka luas. 

Bermodal uang dan popularitas sebagian orang kaya pun ikut terlibat dalam parpol dan  meramaikan dinamika politik nasional maupun lokal.  Dengan mengusung isu kerakyatan dan citra dermawan  mereka pun berharap akan mendapat simpati dan dipilih rakyat. 

Pada hal sebenarnya tak sedikit dari mereka hanya topeng belaka dan sekadar  memenuhi nafsu syahwat berkuasa agar dapat  menambah harta kekayaan, pundi-pundi uang  dan kehormatan semata. 

Baca juga: Dana Desa Antara Capaian Prestasi Dan Jebakan Hukum

Ketika seseorang  mengambil keputusan memilih berjuang di jalur politik, mestinya sudah menyiapkan diri meninggalkan keinginan  pribadi dan rela berkorban untuk kepentingan publik dengan  mengusung  visi besar mewujudkan kemakmuran rakyat. 

Karena seorang pemimpin  visioner dan berwawasan kebangsaan harus mampu memikul tanggung jawab Negara sesuai amanat konstitusi dan menciptakan ruang-ruang publik yang lebih kondusif   bagi  kemakmuran  semua penghuni  yang  ada di dalamnya.

Data menunjukkan setiap tahun selalu  ada pejabat Negara baik di level nasional maupun  daerah termasuk aparatur sipil negara  terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi.  

Khusus para  Pejabat Negara (menteri) yang terlibat kasus tindak pidana korupsi sejak era reformasi sampai dengan sekarang sebanyak 11 orang dengan kerugian negara di atas 100 miliar  lebih (Antaranews.com, 7/12/2020). 

Sedangkan menurut ICW pada tahun 2020 total kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi mencapai 56,7 triliun dan yang berhasil dikembalikan ke kas Negara hanya sebesar 8,9 triliun.

Baca juga: Mencari Format Pilkada Ideal Dalam Praktek Otonomi Daerah

Total terdakwa kasus korupsi di tahun 2020, mencapai 1.298 orang. Dari data tersebut tercatat praktik korupsi dilakukan paling besar oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan 321 kasus, pihak swasta  286 kasus, dan perangkat desa 330 kasus. (Kompas.com,22/3/202). 

Dan yang paling terakhir di sepanjang tahun 2021 ada satu orang Gubernur dan lima orang Bupati di Indonesia terjerat kasus tindak pidana korupsi dari KPK (Tribunnews.com 8/12/2021).

Maraknya  kasus tindak pidana korupsi yang selalu terjadi di pusaran kekuasaan ingin menegaskan bahwa sesungguhnya  moral  pejabat politik di Indonesia sedang berada di titik nadir.  

Bagi sekelompok orang kekuasaan telah berubah menjadi barang dagangan politik dan makin oligarkis.  Kekuasaan seperti  pedang bermata dua, di satu sisi dapat digunakan  mewujudkan kemakmuran dan di sisi lain dapat digunakan oleh para oligarki untuk merampok kekayaan rakyat. 

Dalam konteks ini parpol penguasa pun mestinya ikut bertanggung jawab atas penyalahgunaan kekuasaan  yang selalu melibatkan para pejabat yang direproduksi dari rahimnya sendiri dan bukan sebaliknya melepas tanggung jawab dan mencari kambing hitam. 

Baca juga: Gaya Gubernur NTT Memimpin Dan Tantangan Kepemimpinan Era Industri 4.0

W.S Rendra  pernah berujar  politik adalah cara merampok dunia dan menggulingkan kekuasaan untuk menikmati giliran berkuasa. Sedangkan Honore de Belsac, (1799-1850) seorang novelis dan penulis drama terkenal asal Perancis, pernah mengatakan  dibalik kesuksesan yang besar adalah sebuah kejahatan yang luar biasa.   

Kata-kata bijak ini mau mengingatkan bahwa praktik politik yang dipertontonkan saat ini  akan menghantar kita pada suatu kondisi obyektif bahwa di balik kesuksesan para pemimpin, kita mesti  tetap berhati-hati dan jangan sampai lengah dan melepaskan kontrol atas diri mereka.  

Hal ini dikarenakan selalu saja ada kebusukan yang disembunyikan di lorong-lorong gelap.  Kata Lord Acton, “Power tends to corrupt”(Kekuasaan itu cenderung korup). Karena itu bila ada warga masyarakat yang berani  melakukan kontrol atas pemimpinnya, tak mesti dihalang-halangi biarkan  hal itu berproses dan dibuktikan di ranah hukum.

Penguasa hari ini walaupun sudah memiliki segalanya, hidup enak, naik mobil mewah, rumah mewah, uang banyak dan berinvestasi di mana-mana, namun masih tetap merasa kurang. Sifat manusia memang begitu selalu ingin memiliki lebih, tetapi tak elok jika berlaku  serakah. 

Baca juga: Lee Kuan Yew, Pemimpin Yang Tegas Dan Ayah Yang Demokratis

Ketika berada di puncak kekuasaan berbuatlah selalu kebaikan,  jangan  bernafsu menguasai kekayaan dunia tanpa batas dengan menghalalkan segala cara sampai tak menyadari diri bahwa  suatu saat  akan turun takhta dan dipanggil pulang oleh sang pencipta-Nya.            

Mereka seharusnya mencontohkan banyak pemimpin dunia yang rela bekerja untuk rakyatnya tanpa menerima gaji, semisal Presiden Uruguay, Jose Mujica yang menyumbangkan 90% gajinya untuk badan amal, kemudian Pemimpin Gereja Katolik di Vatikan, Paus Fransiskus tidak menerima gaji atas pelayanannya; demikian juga  Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. 

Meskipun mencari dan menemukan calon pemimpin anak bangsa saat ini tidaklah mudah, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tetapi  rakyat sebagai sang pemilik kedaulatan tertinggi harus tetap berikhtiar untuk menemukan pemimpin  terbaiknya pada setiap periode pergantian, karena kuasa itu masih tetap ada di tangan rakyat dan mesti digunakan secara cerdas. 

Pertanyaan kemudian, adakah calon pemimpin Indonesia hari ini yang di dadanya menyala api pengorbanan, kemuliaan dan ketulusan hati  menjadikan bangsanya   sebagai bangsa  besar dan  berdaulat penuh mewujudkan visi kemerdekaan dari warisan pendiri bangsanya ? semoga. 

Sumber foto: kubikleadership.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of