Eposdigi.com – Program Nawa Cita ketiga Presiden Joko Widodo adalah “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI”. Lahirnya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sejatinya merupakan jawaban pemerintah mewujudkan nawa cita tersebut.
Dalam pasal 72 UU No.6 Tahun 2014, diatur tentang pendapatan desa dan salah satu sumber pendapatan desa berasal dari APBN yaitu dana desa. Dana desa merupakan skema pendanaan pemerintah pusat yang ditransfer melalui APBD dan dialokasikan ketiap desa secara merata dan berkeadilan sesuai jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografi desa.
Mencermati isi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sejatinya Negara telah memposisikan desa sebagai subyek dan obyek pembangunan dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian desa. Desa telah diberikan kuasa dan wewenang politik untuk merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunan desa melalui sumber pendanaan yang cukup memadai dari Negara.
Setiap tahun pemerintah pusat menggelontorkan anggaran Dana Desa sangat signifikan kepada Desa dan angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan hasil evaluasi tiga tahun pelaksanaan dari menteri Keuangan RI Tahun 2017, Dana Desa terbukti telah menghasilkan sarana/prasarana yang bermanfaat bagi masyarakat, antara lain berupa terbangunnya lebih dari 95,2 ribu kilometer jalan desa; 914 ribu meter jembatan; 22.616 unit sambungan air bersih; 2.201 unit tambatan perahu; 14.957 unit PAUD; 4.004 unit Polindes; 19.485 unit sumur; 3.106 pasar desa; 103.405 unit drainase dan irigasi; 10.964 unit Posyandu; dan 1.338 unit embung dalam periode 2015-2016, (buku pintar dana desa, 2017).
Selain itu, desa juga memiliki peluang mengembangkan usaha pertanian dan peternakan serta industri rumah tangga, mendapatkan pelatihan dan pemasaran hasil produksinya maupun pengembangan kawasan wisata melalui BUMDes.
Kunci untuk meraih impian desa maju dan sejahtera adalah membangun sinergitas yang kokoh melalui sentuhan inisiasi dan inovasi dari tangan-tangan terampil dan pikiran cerdas, para elit desa, dengan berbagai elemen masyarakat baik di dalam maupun di luar desa.
Sebab pembangunan desa yang mandiri tidak mungkin bisa diraih oleh kepala desa dan perangkatnya semata, melainkan membutuhkan dukungan kerjasama berbagai pihak.
Menurut Eko, dkk (2017) formula dana desa dalam PP No.22/2015 tidak mencerminkan keadilan. PP No.22/2015 hadir guna merevisi formula dana desa dalam PP No.60 / 2014 karena telah menciptakan disparitas yang tajam antar desa dalam satu kabupaten/kota, tetapi tetap berimplikasi pada kesenjangan antar pulau termasuk tidak adil bagi desa adat.
Demikian juga dengan pengelolaan keuangan yang tidak terkonsolidasi tetapi terfragmentasi berdasarkan sumber pendapatan. Sumber pendapatan desa yang utama adalah Dana Desa, Alokasi Dana Desa dan bagi hasil pajak diatur secara terpisah baik penggunaan maupun pelaporannya.
Hal ini telah menyebabkan desa tidak memiliki keleluasaan dalam mengkonsolidasikan pendapatan dan menggunakannya secara efektif sesuai dengan kebutuhan desa.
Model pengelolaan keuangan desa seperti ini tentu akan menambah kompleksitas beban pemerintah desa dan mereduksi desa sebagai kesatuan hukum dan wilayah yang diatur bedasarkan asas rekognisi dan asas subsidiaritas yang dimiliki Desa.
Beragam kerumitan pengaturan dan pengurusan administrasi desa serta silih bergantinya regulasi tentang sistem pengelolaan keuangan desa telah memberikan tekanan kerja luar biasa bagi kepala desa dan perangkatnya. Bahkan bila tak berhati-hati dalam perencanaan dan pelaksanaan dipastikan akan terjebak pada masalah hukum.
Pada tahun 2018 formula dana desa telah diubah, dengan menurunkan porsi yang dibagi rata dari 90% menjadi 77% dari pagu DD, alokasi afirmasi untuk DT dan DST 3% dari pagu dana desa. Meningkatkan porsi DD yang dibagi berdasarkan formula dari 10% menjadi 20% serta mengubah bobot masing-masing variabel pro pada kemiskinan, (buku pintar dana desa, 2017).
Perubahan proporsi dan bobot formula ini diharapkan akan terwujud rasa keadilan dan dapat mengurai problem kemiskinan bagi desa tertinggal dan desa sangat tertinggal, tetapi justru cenderung menimbulkan sejumlah komplikasi masalah bagi kepala desa dan perangkatnya sejak proses penyaluran, seperti APBDes belum ditetapkan serta dokumen perencanaan dan laporan belum ada dan pada saat yang sama terjadi pergantian kepala desa.
Selain itu dalam aspek penggunaan dana desa seringkali tak sesuai dengan bidang dan bukti memadai, karena terkendala oleh rendahnya kapasitas organisasi pemerintah desa dan masyarakatnya.
Namun ironisnya pemerintah desa kurang mendapatkan perhatian dan pembinaan serius dari pemerintah supra desa, sehingga sejumlah kepala desa dan perangkatnya cenderung bekerja sendiri dan terperangkap dalam tuntutan formalisme hukum dan birokrasi.
Karena minimnya pengetahuan dan pengalaman kepala desa memahami skema teknokratis dalam sistem administrasi modern, kemudian menimbulkan berbagai kasus hukum yang menjeratnya.
suatu kenyataan pahit yang harus dihadapi sebagai seorang pemimpin desa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Karena itu tak mengherankan bila trend peningkatan kasus dana desa yang melibatkan kepala desa dan perangkatnya terus meningkat dari tahun ketahunnya.

Menurut ICW sejak dana desa digulirkan ke Desa dari tahun 2015 sampai dengan semester 1 tahun 2018, sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa melibatkan 184 tersangka korupsi dengan nilai kerugian Negara sebesar Rp.40,6 Miliar.
Dari semua kasus tersebut, mayoritas tersangka adalah kepala desa yang sudah dijebloskan dalam penjara dan sebagian kecil lain masih menunggu proses hukum lebih lanjut di pengadilan.
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati NTT terjadinya kasus korupsi pengelolaan dana desa, karena kepala desa tidak memahami secara baik sistem administrasi pengelolaan keuangan desa, (Bisnis.com,12/8/2019).
Temuan penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa pada Program studi Ilmu Pemerintahan Unwira tahun 2017 terkait dana desapun membuktikan bahwa kasus korupsi dana desa yang melibatkan kepala desa dan perangkatnya karena rendahnya kapasitas organisasi pemerintah desa termasuk BPD dalam merespon berbagai perubahan dalam tata pemerintahan desa baru.
Kita semua tentu tak berharap Nawa Cita ketiga Presiden Jokowi gagal dibumikan di desa hanya karena terus bermunculan berbagai kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkatnya.
Karena itu mesti ada langkah solutif agar pemerintah desapun bisa terhindar dari jeratan hukum, yakni: (1) Penguatan dan pengembangan kapasitas organisasi pemerintah desa dan BPD serta elemen masyarakat desa melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang lebih masif dan intensif; (2) Membuat regulasi tentang sistem administrasi keuangan desa yang lebih sederhana dan mudah dipahami; (3) Penguatan jejaring kerjasama lebih luas dengan berbagai institusi terkait, seperti kalangan pendidikan tinggi dan organisasi masyarakat sipil. (Foto : suarasikka.com)
Leave a Reply