Eposdigi.com – Diskursus tentang politik dan pemerintahan lokal nyaris tenggelam karena narasi yang dibangun dan dikedepankan ke publik dewasa ini cenderung isu-isu politik terkait perilaku dan sepak terjang elit politik di level nasional yang terjadi di ibu kota Negara.
Pada hal pasang surut politik, pemerintahan dan demokrasi di level lokal, mestinya direspon secara serius sebagai wujud nyata adanya keragaman dan keunikan tata kelola pemerintahan daerah.
Dalam kenyataan tata pemerintahan daerah nyaris tak terkawal optimal oleh elemen masyarakat sipil setelah berakhirnya proses pilkada.
Pemerintah daerah (eksekutif-legislatif) bukannya bermitra dan bekerja sungguh-sungguh melayani kepentingan rakyat sesuai janjinya, melainkan lebih sering bekerja melayani dirinya sendiri, keluarga maupun dengan relasi bisnis dan tim sukses yang telah memberinya dukungan saat pilkada.
Akibatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah cenderung tersandra oleh local strongmen yang berada di luar jalur kekuasaan formal. Local strongmen yang menganggap dirinya telah berkontribusi mengantar kemenangan calon dalam pilkada, merasa berhak mengendalikan pemerintahan formal.
Membiarkan praktek local strongmen mengintervensi kerja birokrasi adalah hal yang tak lasim, sebagai bentuk abuse of power tetapi terpaksa dibiarkan oleh penguasa karena merupakan bagian dari komitmen dan balas jasa politik.
Praktek pemerintahan seperti ini disatu sisi justru telah memperkaya sekelompok orang yang berada di lingkaran dalam kekuasaan secara berlebihan, sedangkan di sisi lain sangat merugikan dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Menurut Agustino, (2014) kehadiran elit politik informal berkorelasi dengan ketergoncangan politik kekuasaan pusat akibat tercetusnya polisentrisme yang menolak pusat bercampur dengan menguatnya politik identitas di daerah.
Kondisi ini menurut Agustino merupakan modus vivendi antara weak state dan strong society yang kemudian menyumbang pada konsolidasi para local strongmen dalam meningkatkan peranan dan pengaruhnya terhadap politik lokal.
Fenomena kemunculan informal governance yang terkonsolidasi dalam diri orang-orang kuat lokal di sejumlah daerah pasca tumbangnya rezim otoritarian sejatinya merupakan dampak negatif dari proses demokratisasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Menurut Migdal, orang-orang kuat lokal berhasil melakukan kontrol sosial karena dilandasi oleh beberapa argumen yang saling berkaitan, antara lain: (1) local strongmen tumbuh subur dalam masyarakat yang mirip jejaringan; (2) orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan memanfaatkan komponen penting yang diayakini masyarakat sebagai strategi bertahan hidup; (3) local strongmen secara langsung ataupun tidak telah berhasil membatasi kapasitas lembaga dan aparatur Negara sehingga menyebabkan pemerintahan menjadi lemah, (Agustino, 2014).
Para pelaku local strongmen sangatlah beragam antara lain para pengusaha, politisi, tokoh ormas dan bahkan para pelaku kriminal atau preman yang ikut terlibat dalam mendukung kemenangan calon kepala daerah. Salah satu faktor penyebab menguatnya praktek pemerintahan informal, diduga karena melemahnya basis sumber daya sosial-ekonomi dan politik dari para calon kepala daerah yang bertarung dalam pilkada.
Ongkos politik yang sangat besar menuntut tiap calon kepala daerah mengambil jalan pintas menjalin kerjasama saling menguntungkan dengan semua pihak agar mampu memobilisasi dukungan sosial-politik seluas-luasnya dan dapat membiayai semua tahapan dalam pilkada.
Apabila sukses dalam pilkada para pihak yang telah memberikan dukungan nyata akan diberi akses sumber daya dalam tata pemerintahan daerah, termasuk ikut menentukan proses pengambilan keputusan terkait mutasi dan promosi pejabat birokrasi serta pemenang tender proyek di daerah.
Menurut Hidayat, (2007) untuk konteks Indonesia relasi kekuasaan pada aras lokal memiliki banyak kekhususan yang tak cukup hanya dipahami dengan pendekatan formal, karena juga melibatkan banyak jaringan informal, termasuk di dalamnya relasi antara penguasa dan pengusaha.
Itu sebabnya sejumlah kasus di daerah yang mencuat pasca pilkada selalu dihubungkan dengan kepentingan local strongmen. Sebagai contoh kasus Wakil Walikota Kupang dibentak sekelompok orang di Balai Kota, (Pos Kupang.Com, 2-11-2017) dan adanya penolakan dari kalangan masyarakat sipil atas pembangunan gedung DPRD di Kabupaten Flores Timur, (Pos Kupang, 24-2-2019) diduga sarat kepentingan local strongmen dan dinilai cacat prosedural dalam pengambilan keputusan.
Dinamika politik lokal terkait pilkada secara demokratis di sejumlah daerah disatu sisi telah mendorong pelembagaan demokrasi, namun di sisi lain telah melahirkan praktek informal governance sebagai kekuatan anti demokrasi yang cenderung mendegradasi peran pemerintah formal sehingga tata pemerintahannya makin rapuh dan korup.
Praktek pemerintahan seperti ini niscaya akan sangat merugikan kepentingan masyarakat luas yang selalu mengharapkan dan menuntut pelayanan dari pemerintah formal secara lebih adil dan optimal.
Local strongmen merupakan aktor lama yang masih memiliki sumber daya sosial, ekonomi dan politik, tetapi karena faktor momentum mereka tak bisa berperan dalam panggung politik orde baru.
Hal itu dapat dimaklumi karena penguasa orde baru menerapkan sistem dropping dari pusat pemerintahan, para aktor lokalpun tak diberi kesempatan leluasa melakukan bargaining position dan kemudian kalah bersaing sehingga terpaksa tiarap selama rezim orde baru berkuasa.
Mereka baru bisa tampil ke panggung politik setelah rezim orde baru tumbang melalui gerakan people power yang dimotori oleh kekuatan mahasiswa pada bulan Mei 1998.
Setelah rezim orde baru tumbang lahirlah orde reformasi yang mulai melakukan perubahan secara sistematis di hampir segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Upaya pelembagaan proses demokrasi mulai dilancarkan lewat kebijakan politik desentralisasi, para actor local strongmen atas nama demokrasi seakan menemukan jalan dan momentum ke panggung politik lokal sebagai penyelamat demokrasi dan beberapa di antara mereka berhasil merebut simpati publik dalam pilkada menjadi pemimpin dalam jabatan politik maupun sebagai kekuatan mobilisator penguasa baru agar dapat diberi akses atas berbagai sumber daya ekonomi dan politik di daerah.
Mengendalikan kehadiran local strongmen dalam tata pemerintah formal merupakan sebuah keharusan yang mesti dilakukan, guna meluruskan jalan menuju pelembagaan demokrasi, antara lain: (a) Penguatan terhadap kapasitas organisasi pemerintah melalui reformasi birokrasi harus terus ditingkatkan secara terus menerus;
(b) penguatan kapasitas masyarakat sipil melalui pendidikan politik warga secara massif di level akar rumput dan pembentukan forum warga guna meningkatkan daya kritisnya sebagai wujud adanya kekuatan check and balances; (c) Penerapan open governance, menjadi sarana efektif membuka seluruh proses pengelolaan Negara agar dapat diketahui dan diakses oleh publik;
(d) Penegakan hukum tanpa tebang pilih dan diskriminasi merupakan sebuah keniscayaan, dalam arti hukum harus menjadi panglima dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat. (Foto: pojoksatu.id)
[…] Memahami Local Strongmen dalam Peta Politik Lokal […]
[…] Memahami Local Strongmen dalam Peta Politik Lokal […]