Eposdigi.com – Belum lama ini, seorang teman mengeluh tentang banyak perubahan yang terjadi di kampung. Salah satunya soal budaya tolong menolong. “Tidak seperti dulu. Semua diukur dengan uang”, akunya. Tidak salah. Salah satu dampak dari moderenitas adalah budaya konsumerisme. Ini tidak bisa dihindarkan.
Konsumerisme ditandai dengan munculnya sifat individualistis. Menganggap bahwa orang lain tidak dibutuhkan. Dengan segala hal yang dimilikinya, ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Sifat lain dari individualistis adalah mengukur segala hal dengan uang. Mereka membangun relasi sosialnya berdasarkan pertimbangan untung rugi.
Koentjaraningrat membagi budaya dalam tiga wujud. Sistem nilai yang mendasari pola perilaku sebuah masyarakat. Pola perilaku yang kemudian menghasilkan benda-benda budaya. Artinya bahwa perilaku sebuah masyarakat harusnya terinspirasi dari nilai-nilai budaya yang membangun tatanan masyarakat tersebut. Nilai budaya Lamaholot manakah yang melahirkan perilaku konsumerisme?
Gemohing adalah salah satu wujud budaya Lamaholot. Gemohing adalah ujud dari perilaku masyarakat Lamaholot. Gemohing didasari oleh nilai-nilai “Pohe–Gemohe (sering disebut tulun tali – pohe pore)” yang ada dalam tatanan social masyarakat Lamaholot. “Pohe-Gemohe” –Tolong-Menolong, adalah nilai yang menjadi warisan turun temurun. Nilai ini muncul bersaamaan dengan nilai kekeluargaan yang begitu kuat di dalam masyarakat lamaholot.
Pohe-Gemohe juga menunjukan bahwa masyarakat Lamaholot memandang setara derajat sesama manusia. Pohe-Gemohe, adalah dua kata yang membentuk satu makna. Secara hurufia, Pohe diterjemahkan sebagai meminta, mengharapkan pertolongan. Sedangkan Gemohe artinya memberi pertolongan. Artinya kata Pohe-Gemohe yang dalam satu makna itu, menempatkan yang membutuhkan pertolongan dengan yang menolong dalam derajat yang sama.
Pohe-Gemohe, tidak sama dengan ‘Soron’ dan/atau ‘Hode’. Memberi dan menerima bisa saja menempatkan yang memberi lebih tinggi derajat kedudukannnya, dibandingkan dengan yang ‘hode’- yang menerima. Bisa saja ‘soron’ – yang memberi – memiliki lebih sehingga memberikannya kepada yang menerima – yang kekurangan. Pemberian ini bisa menjadi sangat transaksional. Yang memiliki lebih memberi dengan mengharapkan imbalan tertentu. Soron-Hode itu transaksional, menempatkan yang memiliki lebih, sederajat lebih tinggi dibandingkan penerima.
Dalam kalimat sederhana, Soron-Hode adalah bentuk bantuan social. Sedangkan Pohe-Gemohe adalah bentuk Keadilan Sosial.
Sebagai nilai budaya, “Pohe-Gemohe”, yang dijiwai semangat kekeluargaan dan kesetaraan, melahirkan gemohing, sebagai institusi budaya. Gemohing hasil pola perilaku Pohe-Gemohe masyarakat Lamaholot. Pohe-Gemohe yang dijiwai nilai kekeluargaan, tolong menolong dan kesetaraan.
Hari ini, kata Gemohing selalu diasosiasikan sebagai institusi Ekonomi. Tidak salah. Gemohing adalah modal social budaya yang bisa saja diakumulasi menjadi modal ekonomi. Namun gemohing bukan semata-mata institusi ekonomi yang meninggalkan nilai-nilai budaya yang melatarinya.
Ekonomi gemohing, menempatkan semua pelakunya dalam satu derajat kontribusi yang sama. Pertama-tama lahir dari apa yang dibutuhkan anggotanya. Bukan saja pemenuhan kebutuhan materi ekonomi semata, gemohing juga adalah interaksi budaya yang memperkokoh seperangkat nilai yang melatarinya. Gemohing sekaligus memenuhi kebutuhan sosial budaya dan spiritual para anggotanya.
Ekonomi gemohing, menempatkan setiap individu anggotanya sederajat kontribusinya. Bisa saja bentuk kontribusi setiap anggotanya berbeda. Perbedaan ini lahir karena anggota memiliki kemampuan, kompetensi IpTek yang berbeda. Namun dalam gemohing semua yang berbeda ini bersinergi untuk mewujudkan keadilan social.
Individualistis adalah sifat yang memandang dirinya lebih unggul dibandingkan orang lain. Lebih unggul dari sisi ekonomi dan budaya – lebih celaka jika merasa lebih unggul pengetahuan dan keterampilannya-. Ia tidak membutuhkan siapapun. Dengan uang, atau pengetahuan dan keterampilannya, ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Interaksi nya dengan orang lain diukur dengan uang. Gelekat ‘doi’ bukan gelekat ‘ata diken’.
Digitalisasi global yang tak terhindarkan pada hari ini membawa perubahan yang sangat besar. Mempengaruhi hampir semua sendi kehidupan. Jika tidak disikapi dengan baik, bisa saja ia meruntuhkan tatanan social masyarakat. Menggeser nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat tersebut.
Dalam tradisi Lamaholot, dimana ikatan kekeluargaan begitu kuat, munculnya budaya konsumerisme menandakan bahwa ada masalah social yang lebih kompleks sedang terjadi. Mungkin butuh studi yang lebih dalam untuk mengukur sejauh mana kompleksitas perubahan social yang terjadi hari ini. Namun salah satu solusi yang pasti memperkuat nilai-nilai kekeluargaan orang Lamaholot adalah Gemohing. (Foto diambil dari akun Facebook Boro Beda Darius)
Semoga budaya Gemohing ini tetap ada, tidak hilang di telan zaman..
Kalau hedonisme, konsumerisme dan individualisme dapat dihindari kemungkinan budaya seperti Gemohing dapat dipertahankan. Tapi jika kita tidak dapat menahan pengaruh hedonisme dan temen temenya maka, gemohing pasti punah dari masarakat kita.
Peluang untuk mengembalikan eksistensi gemohing sangat tergantung dari sikap menghargai kebersamaan dlm menghadapi masalah, apakah secara sosial kita masih membutuhkan orang lain?
[…] Baca Juga: Gemohing: Sekedar Entitas Ekonomi? […]
[…] Ayo Baca Juga: Gemohing: Sekedar Entitas Ekonomi? […]
[…] Ayo Baca Juga: Gemohing: Sekedar Entitas Ekonomi? […]
[…] Baca juga: Gemohing: Sekedar Entitas Ekonomi? […]