Eposdigi.com – Pelaksanaan otonomi daerah sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada hakikatnya menuntut adanya perubahan kapasitas politik pemerintah yang efektif dan efisien. Kapasitas politik lokal selalu terkait dengan kesanggupan dan kesungguhan institusi lokal dan masyarakat agar merubah cara pandang baru yang berorientasi pada prinsip good governance terutama bagi para penyelenggara pemerintahan dan semua aktor yang terlibat di dalamnya. Secara empirik praktek pilkada langsung adalah buah dari implementasi otonomi daerah yang telah menghadirkan arena baru bagi partisipasi politik warga menuju pelembagaan demokrasi.
Masyarakat di daerah mulai belajar mewujudkan hak-haknya sebagai warga merdeka dan berdaulat melalui keterlibatan langsung maupun tak langsung dalam proses politik sesuai kehendaknya secara bebas. Pondasi politik dan demokrasi yang tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi UU, setidaknya menjadi bingkai penyelenggaraan pilkada langsung oleh pemerintah di daerah.
Pergeseran fokus kekuasaan dari pusat ke daerah melalui pilkada langsung telah memberikan kekuasaan dominan bagi penguasa kecil di daerah baik di level eksekutif maupun partai politik (legislatif). Bahkan kecenderungan itu telah melahirkan masalah baru dalam bentuk pemerintahan oligarki yang cenderung korup di berbagai daerah. Robert Dahl, Cohen dan Peterson menegaskan otonomi daerah sebagai sebuah komponen niscaya dari sebuah demokrasi yang pluralis dan sebagai alat untuk memajukan sebuah sistem administrasi yang lebih efisien dan kreatif, (Said, 2005). Sebab sistem dan prosedur yang baik akan mendorong pengembangan sistem pemerintahan yang lebih demokratis, transparan dan akuntabel.
Menurut Djojosoekarto, (2003) dan Prihatmoko, (2005) secara teori ada beberapa sistem yang biasa diterapkan dalam pilkada langsung, antara lain:
(1) Sistem Pemilihan Preferensial atau Preferential Voting System / Approval Voting System. Dalam sistem pemilihan seperti ini kemenangan secara mayoritas mutlak (50%+1) bisa dicapai oleh kandidat pertama dan kedua apabila suara-suara dukungan dari para kandidat di urutan bawahnya ditransfer untuk diakumulasikan bagi kandidat pertama dan kedua. Variasi lain dari sistem ini ialah dengan memberi kemungkinan bagi tiap calon untuk mengalihkan suara yang diperolehnya bagi calon lain apabila calon pertama tersisihkan pada perhitungan suara, dengan resiko adanya ”politik dagang sapi”.
(2) Sistem Mayoritas Sederhana /Suara Terbanyak atau First Past the Post System yakni kandidat dengan perolehan suara terbanyak dinyatakan menang. Kelebihan sistem ini adalah: (a) sederhana dan mudah; (b) Waktu penghitungan mudah dan singkat. Sedangkan kekurangannya adalah pemenang bisa tidak memperoleh suara mayoritas mutlak atau hanya meraih kurang dari 50% suara sehingga dapat mengurangi legitimasi.
(3) Sistem Dua Putaran (Two Round System atau Run off System) yakni pemenang adalah yang dapat meraih suara mayoritas mutlak (50%+1) dan perolehan suara harus tersebar sebanyak minimum 20% di minimum ½ atau 2/3 di daerah pemilihan.
(4) Sistem Electoral College, Cara kerja elektoral adalah setiap daerah pemilihan (kecamatan dan gabungan kecamatan untuk Bupati / Walikota: Kabupaten / Kota dan gabungan kabupaten / Kota untuk Gubernur) diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara dewan pemilih terbesar akan memenangkan pilkada langsung. Pada umumnya calon yang berhasil memenangkan suara di daerah pemilihan adalah dengan jumlah penduduk padat.
Selama ini sistem pilkada langsung Indonesia, selain Provinsi DKI Jakarta, Papua dan Aceh cenderung menerapkan kombinasi sistem Mayoritas Sederhana /suara terbanyak atau First Past the Post System dengan sistem Dua Putaran (Two Round System atau Run off System). Artinya apabila salah satu kandidat tidak memperoleh mayoritas suara lebih dari 25%, maka pilkada langsung akan dilaksanakan dalam dua putaran, tetapi hanya diikuti oleh dua pasang calon yang memperoleh dukungan suara terbanyak di posisi urutan pertama dan kedua. Terlepas dari segala kelebihannya, sistem ini bila dilakukan dua putaran akan menguras ongkos politik yang sangat besar. Hal ini akan membuka ruang bagi local strongmen terlibat dalam aksi saling dukung mendukung calon yang minim sumber daya sosial, ekonomi dan politik. Akibatnya balas jasa politik dan proses pelemahan kewibawaan penguasa formal yang sah makin tak terhindarkan.
Untuk mengatasi pesoalan ini maka, dibutuhkan suatu desain sistem pilkada yang lebih responsif terhadap kemajemukan di level lokal, maka ada beberapa alternatif desain sistem pilkada yang bisa ditawarkan, antara lain:
- Desain sistem pilkada serentak secara beragam untuk setiap daerah pemilihan, dengan tetap mengakomodir calon independen dan dilakukan serentak dalam sekali putaran, bila jumlah suaranya mencapai lebih dari 25%. Dalam konteks ini pemerintah pusat hanya membuat regulasi umum sedangkan secara teknis operasional akan diatur tersendiri oleh pemerintah daerah masing-masing sesuai dengan situasi dan kondisi Dengan demikian mekanisme pemilihannya akan diatur khusus oleh pemerintah daerah masing-masing dengan tetap mengedepankan nilai-nilai lokal yang berakar pada demokrasi.
- Proses pilkada langsung akan lebih efektif dan efisien, jika menerapkan Sistem Mayoritas Sederhana / Suara Terbanyak atau First Past the Post System, yakni kandidat dengan perolehan suara terbanyak dinyatakan menang. Untuk menghindari pilkada langsung dalam dua putaran dan dapat mencapai perolehan suara mayoritas, maka perlu dibatasi jumlah calon melalui regulasi. Setiap partai politik atau koalisi partai politik hanya boleh mengusung calon apabila memperoleh dukungan suara minimal dalam pemilu legislatif sebesar 30%. Calon yang diusung harus benar-benar lahir dari proses kaderisasi yang matang di tingkat parpol, berintegritas tinggi, rekam jejaknya teruji, dikenal luas masyarakat sehingga calon independen sedapat mungkin dihindari.
- Sistem Pilkada Langsung tetap diselenggarakan serentak di masing-masing Provinsi seperti sekarang ini. Namun diperlukan perangkat penyelenggara (KPU dan Panwaslu) yang lebih kuat (fisik dan mental), independen dan profesional di semua tingkatan. Dan mestinya dihindari kontrol secara berlebihan dari pemerintah pusat dan DPP Parpol karena hal itu justru akan menambah beban politik bagi para calon dan sekaligus mencedrai spirit dari otonomi daerah itu sendiri. (Foto: Indoprogress.com)
[…] Mencari format Pilkada Ideal dalam Praktek Otonomi Daerah […]
[…] Mencari format Pilkada Ideal dalam Praktek Otonomi Daerah […]
[…] Baca juga: Mencari Format Pilkada Ideal Dalam Praktek Otonomi Daerah […]