Eposdigi.com – Tidak mengejutkan sebenarnya. Kompas.com pada 27.11.2023 lalu menyebutkan bahwa ada 56 mantan koruptor yang terdata sebagai caleg pada pemilu 2024 yang baru lewat.
Data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam pemberitaan kompas.com ini bahkan menulis secara lengkap nama caleg, dapil, dan kasus korupsi yang bersangkutan.
Secara hukum, sah-sah saja para koruptor ini berpartisipasi dalam hajatan politik. Apalagi jika mereka yang sudah selesai menjalani masa hukumannya. Mahkama Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 membolehkan partisipasi politik kepada para mantan narapidana setelah 5 tahun menghabiskan masa hukumannya.
Atau dengan kata lain, sesuai dengan keputusan MK di atas, lima tahun sesudah seorang narapidana menjalani masa hukumannya yang berkekuatan hukum tetap, ia boleh berpartisipasi lagi dalam kegiatan politik, boleh mencalonkan diri untuk jabatan politis publik (pilkada).
Bagaimana dengan koruptor yang masih diproses hukumnya? Mereka yang baru ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, apakah mereka juga akan kehilangan hak politiknya? Atau mereka boleh mencalonkan diri untuk mengikuti pileg atau pilkada?
Baca Juga:
Sebelum menjawab ini, saya ingin menunjukan fakta yang lain. Kajian yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2018 lalu (hukumonline,05/08/2018) mengungkapkan bahwa “mahalnya biaya politik” menjadi biang keladi banyaknya kasus korupsi kepala daerah dan atau legislator, baik di DPR RI maupun di DPRD.
Pertanyaan kemudian adalah, apakah biaya politik menjadi satu-satunya faktor yang menjadi penyebab perilaku korup para pejabat politik kita? Saya pikir tidak sesederhana itu.
Mengapa seseorang rela mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk jabatan politik tertentu? Alasan yang menjadi jawaban atas pertanyaan inilah yang menurut saya, menjadi motivasi seseorang melakukan tindakan korupsi ketika mengemban jabatan politik tertentu.
Biaya politik menjadi sangat relatif. Ukuran mahal atau tidak mahal tidak bisa distandarisasi dan berlaku umum. Dengan kata lain, biaya politik hanyalah alasan yang “sengaja dimunculkan ke permukaan,” untuk menutupi motivasi dasar perilaku korup seorang pejabat public.
Pada tulisan yang dimuat pada media ini beberapa waktu lalu, kami menyebutkan ada tiga motivasi dasar yang mempengaruhi perilaku seseorang menurut Teori Motivasi McClelland. Ketiganya adalah kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi dan kebutuhan kekuasaan.
Baca Juga:
Tulisan ini disadari penuh bahwa tidak hadir dari sebuah kajian yang mendalam melihat latar belakang korupsi berdasarkan pada Teori Motivasi McClelland sebagai pendekatan. Saya mencoba menggunakan Teori Motivasi McClelland sebagai dasar penalaran untuk melihat motivasi para koruptor yang mencalonkan diri pada pilkada.
Menurut saya, ketiga kebutuhan tersebut secara simultan “bisa jadi” alasan yang memotivasi seseorang melakukan tindakan korupsi.
Politisi yang kaya akan ide melihat jabatan politik publik sebagai kesempatan untuk mewujudnyatakan ide dan gagasan pembangunan yang dimilikinya untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Jabatan politik hanyalah alat yang digunakan untuk mewujudkan ide atau gagasan pembangunan.
Ide dan gagasan- gagasan adalah nomor satu. Focus utama. Sedangkan jabatan politik hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif pengabdian.
Bukan berarti logistik pemilu (uang) tidak penting, namun bagi politisi yang kaya akan gagasan, uang hanyalah satu dari sekian banyak alternatif yang bisa digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan kepada masyarakat dan membantu mereka untuk tampil sebagai pelaku aktif dalam pembangunan.
Berbeda dengan politisi yang minim gagasan. Bagi mereka jabatan politik adalah kesempatan untuk memamerkan prestasi semu. Seolah-olah jabatan public adalah pencapaian luar biasa dalam perjalanan karir politik mereka.
Baca Juga:
Apa Hubungan Korupsi Dana Desa Dengan Pendidikan Politik Warga Desa?
Bagi politisi yang demikian ini, hanya menggunakan jabatan politik untuk mencukupi kebutuhan akan prestasi (pengakuan dari orang lain bahwa ia berprestasi) sekaligus mau menunjukan bahwa ia berkuasa berkat jabatan politik yang ada di tangannya (kebutuhan akan kekuasaan) dengan demikian ia membusungkan dada dan mengangkat kepala ketika berhubungan atau berada di tengah masyarakat (kebutuhan akan afiliasi).
Orang yang demikian ini, tidak peduli pada gagasan atau ide membangun masyarakat, ia berada di tengah masyarakat hanya untuk mencukupi kebutuhannya akan pengakuan. Bahwa baginya yang paling penting adalah bahwa dia dianggap berprestasi, punya kuasa dan dapat mengendalikan orang-orang melalui jabatan politik yang ada di tangannya.
Kebutuhan akan pengakuan ini harus dipertahankan dengan segala cara. Salah satunya adalah dengan menghimpun uang sebanyak-banyaknya. Karena hanya dengan uang ia bisa tetap menikmati pengalaman diterima karena prestasi dan kekuasaan politik di tangannya.
Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan banyak uang bagi dirinya sendiri adalah dengan mencuri uang rakyat (korupsi).
Kita bisa belajar dari Hasto Wardoyo di Kulonprogo, Azwar Anas di Banyuwangi, Dokter Agustinus Taolin di Belu NTT, Adnan Purichta Ichsan di Gowa Sulawesi Selatan, Yoyok Riyo Sudibyo di Kabupaten Batang Jawa Tengah, Acep Purnama di Kabupaten Kuningan dengan BUMdesnya dan sederet pejabat politik lain yang terkenal dan dikenal karena gagasan-gagasan pembangunan mereka.
Baca Juga:
Mereka-mereka yang disebutkan ini benar-benar focus menggunakan jabatan politik yang mereka emban untuk memperjuangkan kebaikan bagi masyarakat yang dilayaninya. Dari gagasan-gagasan yang mereka wujudnyatakan pada periode kepemimpinan mereka menjadikan nama mereka disebut dan dikenal banyak orang. Mereka dikenali dan diterima karena prestasi mereka.
Pemilu adalah kesempatan untuk mengenali ide dan gagasan. Kesempatan untuk melihat lebih dalam siapa-siapa saja yang benar-benar menguasai gagasannya dan konsisten menyuarakan ide-ide pembangunan yang bisa dipahami dan diukur pencapaiannya.
Jika ketidakmampuan para pemimpin membangun daerah bisa kita kategorikan sebagai peristiwa korupsi, maka sebaiknya kita mengeluarkan dari benak kita, pejabat public yang sudah terbukti gagal.
Minimal mereka yang tidak memanfaatkan jabatan yang mereka emban untuk membangun masyarakat. Mereka yang diingat bukan karena prestasi melainkan cerita-cerita proyek gagal selama masa kepemimpinan mereka.
Apalagi akan sangat disayangkan jika kita masyarakat pemilih masih memberi kesempatan kepada koruptor, apapun status hukumnya – bahkan masih tersangka pun, untuk mencalonkan diri demi jabatan publik.
Ilustrasi dari rakyatbengkulu.disway.id
Leave a Reply