Hakordia 2023 dan Mimpi Indonesia Tanpa Korupsi

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Negara-negara di dunia, menganggap korupsi sebagai musuh negara. Sikap Koruptif adalah pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Korupsi merupakan jenis kejahatan luar biasa. Karena itu butuh tindakan yang luar biasa pula untuk menindak dan mencegah tindakan korupsi.

Hal ini yang mendorong banyak negara di dunia, mengambil sikap yang sama dan memandang korupsi sebagai musuh yang harus diberantas dalam tindakan yang nyata. Tindakan nyata ini, salah satunya, bernaung dibawah PBB, sepakat menyatukan sikap untuk memerangi korupsi.

Komitmen bersama itu, mulai mewujud pada tanggal 30 Oktober 2003 terkumpul 190 negara-negara di dunia menyatakan sikap untuk memerangi korupsi. Namun baru beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 2005 Hari Anti Korupsi Sedunia atau International Anti Corruption Day mulai diperingati setiap tanggal 9 Desember.

Bagaimana dengan Korupsi di Indonesia? Kita tidak harus menguraikan lagi sejarah tentang pemberantasan korupsi di Indonesia. Kita sudah memiliki sebuah komisi yang ‘independen’ dalam hal pemberantasan korupsi. Apakah korupsi di Indonesia berkurang?

Dalam perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun 2023 atau Hakordia 2023 di Istora Senayan hari ini, Presiden Jokowi ‘memamerkan’ hasil pemberantasan korupsi di Indonesia.

Baca Juga:

Apa Hubungan Korupsi Dana Desa Dengan Pendidikan Politik Warga Desa?

“Tidak ada negara lain yang menangkap dan memenjarakan pejabatnya sebanyak di negara kita Indonesia,” kata Presiden Jokowi dalam sambutannya pada peringatan Hakordia 2023 (kompas.tv/12.12.2023).

Jokowi benar. Menurut catatannya selama periode 2004 hingga 2022 lalu ada 1.385 orang dipenjara terkait korupsi. Diantara mereka ada 38 menteri dan kepala lembaga, 8 komisioner termasuk komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Yudisial (KY).

Tidak hanya itu. Ada 24 Gubernur, 162 bupati dan wali kota, 31 hakim, 363 birokrat dan ada 415 masyarakat biasa yang terjerat kasus korupsi.

Namun saya percaya bahwa banyak dari kita meyakini bahwa penegakan korupsi di Indonesia sejauh ini belum cukup ampuh membebaskan Indonesia dari korupsi.

Kita kalah dari China yang menghukum mati pejabatnya yang korupsi ‘hanya’ 215 juta. Bahkan dari dua negara sesama Asean-pun kita tidak jauh lebih baik dalam penegakan hukum terkait korupsi. Hukuman kita terhadap koruptor bahkan kalah jauh dari Singapura dan Vietnam yang menghukum mati pejabatnya yang korup.

Saya bukan pengamat hukum atau pegiat anti-korupsi, namun menurut saya pemberantasan korupsi di negara kita tercinta ini masih terlalu ‘lembek’. Ukuran banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi tentu bukanlah ukuran yang pas untuk mengukur sikap anti-korupsi kita sebagai negara.

Hukuman kepada koruptor seringkali lebih ‘sedikit’ dibanding remisi yang para koruptor terima. Belum lagi misalnya dugaan hidup ‘mewah’ di penjara yang dinikmati oleh koruptor-koruptor kakap kita.

Baca Juga:

Pendidikan Karakter dan Upaya Melawan Perilaku Korupsi

Jika kita ‘masih’ menganggap korupsi sebagai jenis kejahatan luar biasa maka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi harus mampu membangun kesadaran kita semua bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Karena itu dalam kasus korupsi hukuman harus seberat-beratnya, membuat efek jera se jera-jeranya.

Penjara, dengan berbagai macam persoalan di dalamnya, rasanya sudah tidak lagi membuat jera para koruptor. Karena itu hukuman penjara bukan lagi pilihan tepat untuk menghukum para koruptor.

Karena itu dalam konteks Indonesia, apa yang sebaiknya kita lakukan?

Yang Pertama, Pemiskinan. Harus ada pembuktian terbalik akan harta dan kekayaan para pejabat negara hingga aparatur sipil negara. Jika tidak dapat membuktikan harta kekayaannya secara wajar maka besar dugaan bahwa harta tersebut berasal dari korupsi.

Dan jika terbukti korupsi maka wajib mengembalikan kepada negara tidak hanya jumlah kerugian negara yang terkait langsung dengan kasus korupsi melainkan jua semua harta yang tidak bisa dibuktikan secara terbalik bahwa harta dan kekayaan itu adalah bukan korupsi.

Kedua; Politisasi hukum dan kriminalisasi politik. Politisasi hukum dan kriminalisasi adalah dua musuh utama pemberantasan korupsi. Jika ada pejabat negara yang terindikasi korupsi jangan sampai dilindungi secara politis.

Pun demikian dengan Kriminalisasi politik. Jangan sampai banyak pejabat kita yang bersih  harus masuk penjara oleh sebab tuduhan korupsi hanya karena beda pilihan politik.

Baca Juga:

Hukuman Bagi Tindakan Korupsi

Penegakan hukum terkait korupsi harus bebas dari unsur politik. Dan karena itu mereka yang terindikasi korupsi harus segera mundur dari jabatan public dan koruptor terhukum dicabut hak politiknya seumur hidup, termasuk untuk jabatan apapun pada perusahaan milik negara.

Ketiga: Sanksi Sosial bagi koruptor. Jika hukuman mati ‘dilarang’ maka harus ada hukuman sosial yang menanti para koruptor. Dan hukuman social ini harus berlaku seumur hidup.

Misalnya para koruptor yang telah dimiskinkan harus melakukan kerja social seumur hidupnya di ruang-ruang public seperti bandara, stasiun, terminal bus, pelabuhan penumpang, kantor-kantor pemerintah dan area publik lainnya dengan tetap menggunakan tanda pengenal koruptor agar semua orang tahu bahwa dia seorang koruptor.

Tanda pengenal koruptor ini wajib dikenakan untuk diketahui oleh masyarakat luas ketika seorang koruptor keluar dari lingkungan privat rumahnya menuju ruang-ruang publik. Selama seorang koruptor keluar rumah maka identitas koruptornya harus diketahui oleh masyarakat luas.

Keempat: Sanksi social belum juga cukup untuk menghukum koruptor. Harus ada sanksi akademik untuk semua koruptor tanpa memandang besar kecil kerugian negara akibat tindakan korupsi tersebut.

Karena korupsi menunjukan bahwa seseorang tidak terdidik dengan baik, maka semua gelar akademiknya harus dicabut, bahkan ke Ijazahnya pun dibatalkan pada semua jenjang pendidikan dasar hingga menengah.

Baca Juga:

Pramuka dan Cita-Cita Indonesia Merdeka

Namun pada akhirnya menyelamatkan negara dari korupsi harus menjadi perhatian serius mulai dari upaya untuk mencegah. Untuk mencegah sikap koruptif, membutuhkan niatan serius mulai dari institusi keluarga, pendidikan dan institusi agama, harus memikirkan secara serius upaya pencegahan korupsi.

Tuntunan moral, pemaknaan atas hidup, kehidupan religious spiritual menjadi nilai yang terintegrasi pada semua anak bangsa yang pada akhirnya menjadi kesadaran bersama bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan.

Karena itu sebagai buah dari kehendak bebas, semua generasi muda kita yang akan datang memutuskan untuk tidak melakukan tindakan koruptif sekecil apapun tindakan tersebut

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of