Calon Independen dan Penguatan Hak Politik Warga

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kebijakan negara yang memberi ruang demokrasi bagi calon independen dalam kontestasi Pilkada setidaknya menjadi momentum bagi rakyat merebut kembali ruang publik yang selama ini dikuasai sepenuhnya oleh partai politik.

Dominasi parpol dihampir semua jabatan politik sangatlah nyata, tetapi amat disesalkan dominasi itu tak dibarengi dengan kualitas produk politik yang dihasilkan untuk  rakyat.

Survei Alvara Research Center (Kompas.Com, 14 Oktober 2019) menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terendah terhadap beberapa lembaga negara, antara lain: MPR sebesar 69,9%, Parpol 67,6% dan DPR 66,7%.

Sedangkan tingkat kepuasan publik tertinggi adalah TNI 91%, KPK 80% dan Polri 78,1%. Hasil survei ini dapat membuktikan bahwa parpol belum serius melakukan terobosan sistematis guna membenahi sistem kelembagaan dan manajemen parpol terutama terkait sistem rekrutmen dan kaderisasi.

Baca Juga:

Problem Parpol Sebagai Pilar Demokrasi

Karena itu dapat dipahami ketika di sejumlah daerah partisipasi pemilih dalam pilkada terus menurun jauh dibawah target KPU/KPUD. Minimnya partisipasi pemilih setidaknya dipengaruhi oleh banyak variabel, namun beberapa di antaranya dapat diidentifikasi seperti pilihan politik pemilih tak sesuai dan kurangnya sosialisasi KPU, (Kompas.com, 31/11/2013).

Dengan adanya calon independen masyarakat berharap akan ada peluang lebih besar mencalonan diri ketika tak diberi ruang oleh parpol. Selain itu kehadiran calon independenpun memberi masyarakat lebih banyak alternatif memilih calon pemimpin terbaik yang dibutuhkan dan sekaligus sebagai bentuk  pengakuan dan penghormatan  negara atas hak warga negara sebagai pemilik kedaulatan.

Namun niat baik negara  tak serta merta memberi ruang kebebasan bagi publik karena dalam pelaksanaan, ternyata mekanisme pencalonan kemudian dikunci dengan persyaratan yang ketat dan berat sehingga pada akhirnya malah membatasi sejumlah kalangan potensial yang hendak maju  melalui jalur independen.

Baca Juga:

Menanti realisasi janji politik anggota DPRD NTT periode 2019-2024

Perhelatan Pilkada yang digelar pada  tahun 2020 yang akan datang di Provinsi NTT dipastikan akan diikuti oleh Sembilan Kabupaten, antara lain Kabupaten TTU, Ngada, Sumba Timur, Belu, Malaka, Sabu Raijua, Manggarai Barat, Manggarai dan Sumba Timur.

Sumber Pos Kupang, 4-11-2019, menyebutkan Kabupaten TTU, Ngada dan Sumba Timur  akan menghadirkan calon independen.  Kabupaten TTU dengan jumlah DPT pemilu terakhir 168.049 orang, Ngada jumlah DPT terakhir 104.730 orang dan Sumba Timur DPT nya 167.712 orang.

Data ini menunjukkan bahwa  bila ada calon yang diusung masyarakat melalui jalur perseorang, maka minimal telah mengantongi  10% dari jumlah DPT yang ada dan tersebar di 50% jumlah Kecamatan, (Antara, 28/10/2019).

Syarat dukungan ini merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap calon yang hendak memilih jalan menuju pintu calon perseorangan dalam pilkada.

Secara ideal masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para calon perseorangan, karena sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa perilaku memilih di NTT  cenderung bersifat kultural-emosional dan pragmatis.

Baca Juga:

Mencari format Pilkada Ideal dalam Praktek Otonomi Daerah

Karena itu hal-hal yang tak terduga atau di luar perkiraan tim sukses dari calon independen bisa saja muncul dan dapat merubah seluruh peta dukungan 10% dari DPT yang sudah dibangun.

Misalnya praktek money politics dari lawan politik bahkan mungkin terjadi dan akan menenggelamkan seluruh perjuangan  para tim sukses dan relawan, sehingga mesti diantisipasi secara cermat.

Pemilih pragmatis selalu memanfaatkan pilkada sebagai sarana memperoleh pundi-pundi guna memenuhi kebutuhan sesaat dan  bahkan selalu disyukurinya sebagai berkat.

Hal ini harus disadari oleh  para tim sukses dan relawan bahwa tindakan money politics secara langsung atau  tidak langsung  telah mengubah perilaku pemilih  menjadi free-riders  yang niscaya dapat  merusak sendi-sendi demokrasi.

Keberadaan calon independen atau perseorangan berkualitas yang lahir dari rahim politik masyarakat diharapkan mampu memberi arah   baru  bagi  pengembangan demokrasi.

Baca Juga:

DPR Dorong Antikorupsi Diajarkan di Sekolah

Itu berarti calon independen harus benar-benar  mengakar dalam masyarakat sebagai wujud  nyata praktek demokrasi  yang sehat dan diterima publik karena integritasnya telah teruji.

Sebab itu calon independen harus mampu meyakinkan publik mengenai rekam jejaknya yang gemilang  atas komitmen, dedikasi dan integritas yang telah diakui masyarakat dan bukan karena terlibat  dalam permainan politik uang dan sentimen emosional.

Dengan demikian  calon yang diusung oleh parpol  maupun melalui jalur perseorangan mestinya diproses dalam  sebuah sistem rekrutmen  yang demokratis.

Sistem rekrutmen yang demokratis, transparan dan akuntabel akan melahirkan calon pemimpin  berkarakter, dikenal luas dan  aspiratif sehingga layak dijual ke publik sebagai alternatif terbaik yang diyakini  membawa perubahan bagi kesejahteraan hidup masyarakat.

Apabila calon independen mampu menawarkan solusi kepemimpin masa depan yang lebih baik bagi masyarakat di daerah, niscaya kehadirannya akan dapat  memaksa partai politik  untuk segera berbenah dan  peta jalan menuju pelembagaan demokrasi di daerah akan segera  menjadi kenyataan.

Tetapi jika sebaliknya maka kehadiran calon independen justeru tak memberi efek apapun terhadap perbaikan kualitas demokrasi di daerah. (Foto: realitarakyat.com)

Sebarkan Artikel Ini:

1
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca juga: Calon Independen Dan Penguatan Hak Politik Warga […]