Eposdigi.com – Peristiwa tidak diundangnya Ganjar dalam pertemuan PDIP di Jawa Tengah bukan sekadar isu atau salah sangka. Orang dekat Puan Maharani telah menjelaskan yang secara jelas pula menyudutkan Ganjar. Ganjar dianggap pemimpin yang lebih tenar di “medsos”. Harusnya bekerja di lapangan dan bukan tebar pesona di Medsos.
Klarifikasi Ganjar mesti sepintas tetapi telah membenarkan bahwa Ganjar memang sengaja tidak diundang. Memang Ganjar tidak memberikan pernyataan resmi hanya sepintas saja. Tetapi terlihat bahwa memang ia tidak diundang di pertemuan yang ada di “rumahnya” sendiri (Bayangkan kalau dengan kekuasaannya yang ada ia bubarkan pertemuan karena dia tidak diundang hehehehe).
Orang pun langsung mengaitkan masalah ini lebih jauh. Ada persaingan antara Puan dan Ganjar. Tentu saja hal itu dikaitkan dengan pencalonan presiden nanti. Kedua kubu (Puan -Ganjar) tentu punya “hitung-hitung” tentang kekuatan yang dimiliki. Puan terpilih menjadi Ketua DPR karena mendulang suara terbanyak. Ia pun beralih dari Menko menjadi ketua DPR.
Baca juga: Mempertanyakan Moral Politik Bung Rocky
Ganjar menguasai gudang yakni Jawa Tengah. Ke depannya siapa yang memenangkan Jawa Tengah bisa dikatakan memiliki “tiket” untuk diperhitungkan untuk memenangkan Pilpres 2024. Karena itu bisa saling sikut menyikut itu “wajar-wajar saja”.
Lalu siapa yang bisa diandalkan jadi calon presiden dan bisa dipastikan (minimal lebih “pede”) akan menang?
Mari kita bahas satu per satu. Model kepemimpinan dan ketenangan Puan tentu tidak bisa dicari pembanding selain ibunya sendiri. Pribadi karismatik, tenang, terukur, tidak asal menyebar informasi. Sungguh “image” dijaga. Selama ini nyaris Puan membuat gaduh. Yang ia buat adalah kerja baik sebagai Menko waktu itu maupun kini sebagai ketua DPR.
Mungkin karena pembawaan yang kalem ini maka cocok dengan masyarakat Jawa Tengah. Perolehan suara 404.034 itu sangat fantastis. Peraih terbanyak kedua baru pada angka 285.797. Bisa dibayangkan jauh bedanya. Itu menunjukkan bahwa pembawaan Puan itu sangat cocok dengan masyarakat Jawa yang “adem”.
Bisa diyakini ketika Puan turun maka tidak ada orang yang mengatakan lain. Hal itu terbukti saat Ganjar menjadi calon gubernur. Kampanye paling didengar diyakini berasal dari Puan. Puan bersabda, semuanya jadi, boleh dikatakan demikian.
Baca juga: Calon Independen Dan Penguatan Hak Politik Warga
Tetapi semua orang hebat di tempat yang tepat. Di sinilah kehebatan Puan tentu bisa teruji selain dari mengcopy kehebatan ibunda, juga terbukti ketika jadi Menko dan saat ini jadi Ketua DPR. Itu sesuai dengan tipe Puan. Dengan posisi itu ia bisa mengontrol, membawa suasana jadi “adem” di kementerian-kementerian yang berada di bawah koordinasinya.
DI DPR juga irama yang sama. Perbedaan pandangan politik dan partai politik tentu menjadi peluang terjadinya konflik. Tetapi pembawaan Puan yang “adem” membuat suasana yang panas jadi dingin.
Inilah posisi yang pas. Jelasnya, tipe kepribadian Puan dan pembawaannya memberinya model kepemimpinan “di belakang meja”. Ya, mungkin model kepemimpinan seperti ini cocok jadi “wapres” (kalau dipaksakan). Ia berada di belakang meja (seperti Ma’ruf Amin saat ini). Tentu konsekuensinya jelas. Masyarakat tidak tahu apa yang dikerjakan. Bisa saja jauh dari kritik tetapi akan kurang memberikan kontribusi untuk partai. Kalau ambil posisi cawapres, maka bisa dipastikan PDIP akan redup.
Lalu kalau posisi demikian tidak dianjurkan maka apakah dipaksakan untuk jadi capres? Tentu tidak. Posisi itu yang lebih merupakan eksekutor (karena merupakan eksekutif) sangat jauh dari pembawaan Puan. Pengalaman ibundanya, Megawati bisa mengajarkan hal ini. Ia hanya bertahan 2 tahun. Setelahnya meski jadi capres incumbent tapi kalah. Tidak hanya sekali. Dua kali kalah.
Baca juga: Generasi Yang Tak Diinginkan : Sebuah Perbandingan Antara “Yang Disayang” Dan “Yang Dibuang”
Kalau begitu posisi Puan sebenarnya seperti seorang ibu, ya seperti mamanya. Harus bersedia melahirkan pemimpin lain selain dirinya. Seperti Megawati yang meski agak terpaksa tetapi akhirnya menyerahkan ke Jokowi dan menang. Bukan hanya sekali, menang dua kali malah kini dianjurkan untuk 3 periode (kalau boleh).
Kepala Daerah
Lalu siapa yang paling cocok membawa PDIP agar bisa menang? Sengaja pertanyaan ini saya kedepankan dan bukan bertanya “siapa” yang harus maju. Yang paling penting siapa yang bisa memenangkan PDIP?
Pertanyaan ini sudah saya ajukan di Kongres PDIP April 2010 di Sanur Bali. Saat itu PDIP berada dalam kondisi galau. Sudah dua kali pilpres dan selalu gagal. Saya lalu mengajukan alternatif ini. Bagi saya, ke depannya PDIP bisa menang kalau mencari pemimpin yang merupakan kepala daerah yang teruji.
Argumentasi ini saya ajukan berdasarkan pengalaman Amerika Latin. Walikota Montevideo akhirnya terpilih jadi presiden Uruguay. Pemimpin yang gagal berulang kali di Brazil akhirnya menang. Hal yang sama terjadi Chile dan beberapa negara Amerika Latin.
Baca juga: Memahami Local Strongmen Dalam Peta Politik Lokal
Rahasia inilah yang saya ajukan ke PDIP untuk mencari kepala daerah teruji. Argumentasi ini saya ajukan dalam diskusi dan setahu saya dihadiri Ganjar. Saya tidak tahu siapa yang sebutkan tetapi ada yang menyebut kepala daerah mereka di Solo yang waktu itu saya tidak tahu namanya. Bagi mereka, PDIP sudah punya pemimpin seperti itu.
Kebetulan waktu itu Ganjar jadi anggota DPR dan tentu tidak merujuk dirinya. Ia tidak masuk dalam hitungan. Apakah dengan penegasan itu akhirnya Ganjar memilih pulang ke Jawa Tengah? Bisa saja demikian. Ganjar mau pulang agar bisa kembali sebagai capres nantinya.
Kembali ke pertanyaan awal. Siapa yang bisa membawa PDIP agar bisa menang nanti dalam pilpres 2024? Tentu jawaban masih sama. Carilah kepala daerah berpengalaman. Di sini kita bisa mengerucutkan jawaban bahwa kalau PDIP mau menang ke depannya maka kita punya kepala daerah berpengalaman: Ganjar dan Tri Rismaharini. Apakah bisa menggandengkan keduanya? Tentu terlalu “pede”. PDIP perlu berkoalisi dengan partai lain membagi “rezeki” dan beban.
Dari keduanya bisa dianggap bahwa Ganjar merupakan calon yang lebih pas. Tri Rismaharini biarkan dia mengatur Ibu Kota menjadi Gubernur. Kita butuh di Jakarta punya gubernur bekerja menata kota (bukan manata kata). Kalau paket ini maju: Pilpres dan Pilgub DKI maka bisa dipastikan, PDIP akan masih menjadi partai pemenang pemilu ke depannya (entah berapa kali lagi periode).
Baca juga: Antara Fahri Hamzah, Fadli Zon, Corona Dan Demokrasi Jokowi
Tapi ini namanya obrolan di warung kopi. Puan barangkali punya target tersendiri yang mau melawan takdir? Singkatnya pertanyaan kepada Puan sebenarnya sederhana saja: Mau PDIP terus menang atau mau agar dirinya yang akan menang? Kalau ingat PDIP maka carilah capres yang merupakan kepala daerah yang teruji (seperti Ganjar). Tetapi kalau mau “tes” apakah bisa jadi presiden atau wakil Presiden, Pun bisa mencoba dengan kemungkinan bahwa bisa kalah.
Ya pengalaman kekalahan mama di masa lalu jadi pembelajaran. Mama adalah guru. Dan pengalaman adalah guru. Pengalaman telah membuktikan hal itu dan mari kita coba melihat secara realistis pengalaman itu. Jadi kalau demikian, pertanyaan Puan atau Ganjar sudah tidak relevan lagi. Kalau target memenangkan PDIP maka jawabanya jelas: Ganjar.
Foto dan tulisan ini diambil dari lini masa facebook penulis atas izinnya.
[…] Baca Juga: Ganjar Atau Puan? […]