Pilkada Serentak Tahun 2024 dan Impact Politik bagi Incumbent

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com- Sirkulasi  elit   dalam konteks kepemimpinan politik di daerah merupakan  salah satu syarat dari pemerintahan  demokratis.   Mosca dan Pareto memaknai  elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli sumber daya utama  dalam masyarakat.

Pemahaman yang demikian sejalan dengan pandangan Robert Michels, (1911) bahwa pemerintahan oleh elit atau oligarki, tidak dapat dihindari sebagai “hukum besi” dalam setiap organisasi demokratis  serta  bagian dari “kebutuhan taktis dan teknis” organisasi yang tak terelakan.

Dalam organisasi apapun, selalu  ada kelompok kecil  yang  dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Karena itu kekuasaan perlu dibatasi  dan dikoreksi  melalui sebuah proses pergantian elit yang dilakukan secara periodik dan demokratis.

Baca juga: Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Pilkada Langsung

Menurut Gaffar,(2012) pilkada merupakan sarana mewujudkan kedaulatan dan pengukuhan kehendak masyarakat di daerah. 

Sebab itu pilkada adalah momentum yang tepat untuk mengevaluasi kinerja kepemimpinan selama menjalankan kekuasaan dan saatnya  memilih calon kepala daerah baru sesuai  kehendak mayoritas  masyarakat.

 Melalui pilkada  diharapkan dapat meningkatkan  kesadaran politik warga tentang  esensi  pemilihan calon pemimpin yang berintegritas  dalam  sistem pemerintahan yang demokratis.

Model pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang   telah  menggunakan beberapa model, yakni model penunjukkan atau dropping dari pemerintah pusat; model pemilihan perwakilan  dengan intervensi dari pemerintah pusat dan model pemilihan perwakilan murni atau tanpa intervensi dan  yang terakhir model  pemilihan secara langsung oleh rakyat.

Baca juga: Mencari Format Pilkada Ideal Dalam Praktek Otonomi Daerah

Dinamika politik pun terus berubah seiring dengan seringnya penyelenggaraan Pilkada di sejumlah daerah, dimana pemerintah di masa pemerintahan SBY kembali mengeluarkan UU No 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan mekanisme pilkada langsung kepemilihan melalui sistem perwakilan. 

Namun kemudian mendapat penolakan  luas dari berbagai elemen masyarakat dengan alasan pilkada langsung akan meningkatkan kualitas demokrasi, memutuskan mata rantai oligarki dan mencegah  pragmatisme politik.

Implementasi atas UU inipun kemudian gagal dilakukan dan di masa pemerintahan Jokowi, pemerintah menerbitkan UU No.1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pengganti UU No.1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU. 

Seiring dengan perubahan konstelasi politik nasional setelah pemilu 2014 maka tak berapa lama kemudian diterbitkan lagi UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Dalam Pasal 201 ayat (8) disebutkan  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Baca juga: Generasi Yang Tak Diinginkan : Sebuah Perbandingan Antara “Yang Disayang” Dan “Yang Dibuang”

Keputusan melakukan gelaran pilkada serentak di seluruh Indonesia  setidaknya bertujuan untuk mengendalikan high cost secara ekonomi dan politik   dan sekaligus dapat meminimalisasi  munculnya praktek KKN di kemudian hari setelah memangku jabatan politik. 

Meskipun begitu  dalam kenyataan KKN yang melibatkan para penguasa seringkali tak terhindarkan.

Beberapa implikasi politik dari pilkada serentak 2024 yang bisa dicermati adalah  akan terjadinya kevakuman jabatan politik  di sejumlah daerah sehingga dapat  berpotensi mengganggu  efektivitas roda pemerintah dan pembangunan daerah.  

Pada tahun  2022 dan   2023 tidak ada pelaksanaan  pilkada yang digelar oleh KPUD di seluruh Indonesia. Artinya  ada  271  jabatan kepala daerah yang akan diisi oleh Pelaksana Tugas (PLT)  yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, (Kumparan News, 30/6/2020).

Secara politik  kepala daerah  yang telah mengakhiri masa jabatan  pada tahun  2022 dan 2023  tentu sangat dirugikan. Para incumbent atau  petahana secara nyata akan mengalami kerugian secara  politik dari kebijakan ini.  

Baca juga: Degradasi Karakter Pejabat Publik Dalam Melayani

Karena secara elektoral  para petahana  akan kehilangan banyak dukungan dari sejumlah akses dan jejaring birokrasi, swasta  maupun dengan elemen masyarakat sipil  lain yang   telah lama menjalin kerjasama di berbagai aspek.  

Para pihak yang selama ini  mendapat manfaat atas akses sumber daya Negara melalui   kebijakan kepala daerah sebelumnya bisa dengan mudah berpindah atau mengalihkan dukungan ke  lain hati  yang secara ekonomi dan politik  lebih menguntungkan. 

 Itu sebabnya dalam  politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, karena hubungan pertemanan dalam politik hanya bisa langgeng apabila masih memiliki kepentingan yang sama.

Jabatan PLT yang ditunjuk oleh pemerintah tingkat atas diduga tak lepas dari intervensi partai politik yang sedang berkuasa sehingga akan bisa mengubah peta politik yang sudah terkonsolidasi dengan baik oleh petahana selama berkuasa.   

Selain itu PLT pun bisa mengoreksi dan mengubah sejumlah kebijakan yang telah dibuat pejabat sebelumnya dengan berbagai terobosan program populis yang bisa saja  menghapus ingatan publik tentang jejak dan prestasi petahana sebelumnya. 

Baca juga: KPK Sebut Pengadaan Barang Dan Jasa Mendominasi Kasus Korupsi Di NTT

Setidaknya  tindakan PLT seperti ini akan memberikan impact  politik bagi partai politik yang sedang berkuasa.

Masyarakat sebagai pemilih di suatu daerah pun  sangat dirugikan, apabila  kepala daerah  tak dapat mengemban tugas sampai dengan lima tahun, terutama kepala daerah yang terpilih pada tahun 2020 dan tahun 2021. 

Kepala daerah tersebut sudah pasti gagal  merealisasikan janji-janji politik  melalui  visi dan misi  yang tertuang dalam RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota  sebagai  dokumen perencanaan pembangunan  daerah.  

Selanjutnya dengan menggelar pilkada serentak pada tahun 2024 maka setidaknya akan memberikan beban luar biasa bagi KPU dan institusi terkait  sebagai penyelenggara.  

Masyarakat sebagai pemilihpun tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menilai visi, misi dan program kerja para kontestan yang paling berpeluang membawa perubahan signifikan bagi masyarakatnya.

Baca juga: Dana Desa Antara Capaian Prestasi Dan Jebakan Hukum

Pertanyaan kemudian  adalah mampukah  seorang PLT bekerja secara profesional dan bersikap netral dalam menata birokrasi dan  melanjutkan program kerja  yang ditinggalkan petahana?

Atau  jangan-jangan PLT merupakan titipan dari partai politik yang sedang berkuasa untuk melakukan konsolidasi politik menyongsong gelaran pilkada serentak  bagi kepentingan pemenangan calon kepala daerah yang sedang disiapkannya. 

Apabila PLT  merupakan titipan  parpol,  maka  pilkada serentak yang diharapkan publik sebagai sarana pelembagaan  demokrasi di daerah niscaya akan   mengalami kemunduran.    

Meskipun  penyelenggara pilkada serentak bekerja dibawah ritme yang tinggi dengan beban kerja luar biasa, tetapi  KPUD diharapkan tetap bekerja secara independen dan mandiri. 

Selain itu KPUD mesti memastikan bahwa hak konstitusional warga tetap terjamin, termasuk menjaga otentitas hasil perhitungan suara dan akses informasi publik  atas seluruh proses pilkada.

Foto: covesia.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of