Eposdigi.com- Sirkulasi elit dalam konteks kepemimpinan politik di daerah merupakan salah satu syarat dari pemerintahan demokratis. Mosca dan Pareto memaknai elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli sumber daya utama dalam masyarakat.
Pemahaman yang demikian sejalan dengan pandangan Robert Michels, (1911) bahwa pemerintahan oleh elit atau oligarki, tidak dapat dihindari sebagai “hukum besi” dalam setiap organisasi demokratis serta bagian dari “kebutuhan taktis dan teknis” organisasi yang tak terelakan.
Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Karena itu kekuasaan perlu dibatasi dan dikoreksi melalui sebuah proses pergantian elit yang dilakukan secara periodik dan demokratis.
Baca juga: Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Melalui Pilkada Langsung
Menurut Gaffar,(2012) pilkada merupakan sarana mewujudkan kedaulatan dan pengukuhan kehendak masyarakat di daerah.
Sebab itu pilkada adalah momentum yang tepat untuk mengevaluasi kinerja kepemimpinan selama menjalankan kekuasaan dan saatnya memilih calon kepala daerah baru sesuai kehendak mayoritas masyarakat.
Melalui pilkada diharapkan dapat meningkatkan kesadaran politik warga tentang esensi pemilihan calon pemimpin yang berintegritas dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Model pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang telah menggunakan beberapa model, yakni model penunjukkan atau dropping dari pemerintah pusat; model pemilihan perwakilan dengan intervensi dari pemerintah pusat dan model pemilihan perwakilan murni atau tanpa intervensi dan yang terakhir model pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Baca juga: Mencari Format Pilkada Ideal Dalam Praktek Otonomi Daerah
Dinamika politik pun terus berubah seiring dengan seringnya penyelenggaraan Pilkada di sejumlah daerah, dimana pemerintah di masa pemerintahan SBY kembali mengeluarkan UU No 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengembalikan mekanisme pilkada langsung kepemilihan melalui sistem perwakilan.
Namun kemudian mendapat penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat dengan alasan pilkada langsung akan meningkatkan kualitas demokrasi, memutuskan mata rantai oligarki dan mencegah pragmatisme politik.
Implementasi atas UU inipun kemudian gagal dilakukan dan di masa pemerintahan Jokowi, pemerintah menerbitkan UU No.1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pengganti UU No.1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU.
Seiring dengan perubahan konstelasi politik nasional setelah pemilu 2014 maka tak berapa lama kemudian diterbitkan lagi UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Dalam Pasal 201 ayat (8) disebutkan tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Baca juga: Generasi Yang Tak Diinginkan : Sebuah Perbandingan Antara “Yang Disayang” Dan “Yang Dibuang”
Keputusan melakukan gelaran pilkada serentak di seluruh Indonesia setidaknya bertujuan untuk mengendalikan high cost secara ekonomi dan politik dan sekaligus dapat meminimalisasi munculnya praktek KKN di kemudian hari setelah memangku jabatan politik.
Meskipun begitu dalam kenyataan KKN yang melibatkan para penguasa seringkali tak terhindarkan.
Beberapa implikasi politik dari pilkada serentak 2024 yang bisa dicermati adalah akan terjadinya kevakuman jabatan politik di sejumlah daerah sehingga dapat berpotensi mengganggu efektivitas roda pemerintah dan pembangunan daerah.
Pada tahun 2022 dan 2023 tidak ada pelaksanaan pilkada yang digelar oleh KPUD di seluruh Indonesia. Artinya ada 271 jabatan kepala daerah yang akan diisi oleh Pelaksana Tugas (PLT) yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, (Kumparan News, 30/6/2020).
Secara politik kepala daerah yang telah mengakhiri masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023 tentu sangat dirugikan. Para incumbent atau petahana secara nyata akan mengalami kerugian secara politik dari kebijakan ini.
Baca juga: Degradasi Karakter Pejabat Publik Dalam Melayani
Karena secara elektoral para petahana akan kehilangan banyak dukungan dari sejumlah akses dan jejaring birokrasi, swasta maupun dengan elemen masyarakat sipil lain yang telah lama menjalin kerjasama di berbagai aspek.
Para pihak yang selama ini mendapat manfaat atas akses sumber daya Negara melalui kebijakan kepala daerah sebelumnya bisa dengan mudah berpindah atau mengalihkan dukungan ke lain hati yang secara ekonomi dan politik lebih menguntungkan.
Itu sebabnya dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, karena hubungan pertemanan dalam politik hanya bisa langgeng apabila masih memiliki kepentingan yang sama.
Jabatan PLT yang ditunjuk oleh pemerintah tingkat atas diduga tak lepas dari intervensi partai politik yang sedang berkuasa sehingga akan bisa mengubah peta politik yang sudah terkonsolidasi dengan baik oleh petahana selama berkuasa.
Selain itu PLT pun bisa mengoreksi dan mengubah sejumlah kebijakan yang telah dibuat pejabat sebelumnya dengan berbagai terobosan program populis yang bisa saja menghapus ingatan publik tentang jejak dan prestasi petahana sebelumnya.
Baca juga: KPK Sebut Pengadaan Barang Dan Jasa Mendominasi Kasus Korupsi Di NTT
Setidaknya tindakan PLT seperti ini akan memberikan impact politik bagi partai politik yang sedang berkuasa.
Masyarakat sebagai pemilih di suatu daerah pun sangat dirugikan, apabila kepala daerah tak dapat mengemban tugas sampai dengan lima tahun, terutama kepala daerah yang terpilih pada tahun 2020 dan tahun 2021.
Kepala daerah tersebut sudah pasti gagal merealisasikan janji-janji politik melalui visi dan misi yang tertuang dalam RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai dokumen perencanaan pembangunan daerah.
Selanjutnya dengan menggelar pilkada serentak pada tahun 2024 maka setidaknya akan memberikan beban luar biasa bagi KPU dan institusi terkait sebagai penyelenggara.
Masyarakat sebagai pemilihpun tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menilai visi, misi dan program kerja para kontestan yang paling berpeluang membawa perubahan signifikan bagi masyarakatnya.
Baca juga: Dana Desa Antara Capaian Prestasi Dan Jebakan Hukum
Pertanyaan kemudian adalah mampukah seorang PLT bekerja secara profesional dan bersikap netral dalam menata birokrasi dan melanjutkan program kerja yang ditinggalkan petahana?
Atau jangan-jangan PLT merupakan titipan dari partai politik yang sedang berkuasa untuk melakukan konsolidasi politik menyongsong gelaran pilkada serentak bagi kepentingan pemenangan calon kepala daerah yang sedang disiapkannya.
Apabila PLT merupakan titipan parpol, maka pilkada serentak yang diharapkan publik sebagai sarana pelembagaan demokrasi di daerah niscaya akan mengalami kemunduran.
Meskipun penyelenggara pilkada serentak bekerja dibawah ritme yang tinggi dengan beban kerja luar biasa, tetapi KPUD diharapkan tetap bekerja secara independen dan mandiri.
Selain itu KPUD mesti memastikan bahwa hak konstitusional warga tetap terjamin, termasuk menjaga otentitas hasil perhitungan suara dan akses informasi publik atas seluruh proses pilkada.
Foto: covesia.com
Leave a Reply