Eposdigi.com – Ada bias antara fakta dan interpretasi. Bahwa Maggie bercat kuku, tidak bersepatu hitam, rambut bersemir, dan tidak meletakkan lembar jawab Ulangan Akhir Semester IPS di mejanya, itu adalah fakta. Tetapi bahwa ia tidak punya malu, ia sengaja membawa pulang lembar jawab UAS secara licik untuk bisa ulangan susulan dan dapat nilai lebih baik, itu adalah interpretasi.
Benar bahwa Maggie sudah berkali-kali ditegur karena rambutnya yang bersemir, dan ia tidak mengindahkannya. Ada sesuatu yang ia pertahankan dengan penampilan itu. Sesuatu yang penting baginya. Sedemikian penting, sehingga resiko dimarahi, diberi sanksi, bahkan digunting rambutnya, tidaklah menakutkannya.
Sesuatu itu tidak kita ketahui. Sesuatu itu perlu kita cari, sebelum kita mem-vonisnya sebagai kurang ajar, melawan,….. lalu menjatuhkan tindakan tertentu berdasarkan vonis itu.
Maggie harus diberi sanksi. Sanksi adalah tindakan pendidikan, bila ditujukan untuk mendidik. Sanksi yang mendidik mewujudkan konsistensi sikap sekolah terhadap semua bentuk pelanggaran tata tertib, tanpa kecuali, tanpa pandang bulu. Hanya saja, alasan di atas tidak bisa menjadi pembenaran untuk nafsu menghukum yang barangkali kita miliki karena kejengkelan dan kemarahan kita.
Selama kita tidak bisa memilah antara fakta dan interpretasi, selama kita tidak bisa mengambil jarak dari peristiwa pelanggaran yang ia lakukan, selama kita masih terlibat secara emosional : menjadi jengkel dan marah karena kita menganggap ia sengaja melawan kita, maka sanksi yang kita berikan tidak akan menampakkan sebuah tindakan pendidikan, melainkan semata-mata sebagai atau sekedar merupakan sebuah tindakan pelampiasan emosi.
Baca Juga : Melindungi Anak Milenial dari Kejahatan Digital
Barangkali wujudnya sama : kemarahan atau teguran keras, tetapi buahnya bisa dikenali dari motivasinya. Kemarahan sebagai pelampiasan emosi hanya membuahkan luka, rasa sakit hati, bahkan dendam.
Sedangkan kemarahan sebagai sebuah sarana mendidik, bisa dialami secara lain; perasaan bahwa ia penting, sehingga orang lain mempedulikan dirinya; bahwa ia dikehendaki untuk baik. Ini merupakan sebuah ungkapan pengakuan, bahkan penghargaan, yang umumnya cenderung menggerakkan seseorang untuk baik.
Sukar menemukan alasan pedagogis dari tindakan memarahi di muka banyak orang dengan memancing tawa khalayak. Sebuah tindakan yang mudah diduga dimaksudkan untuk mempermalukan. Tindakan ini lebih bisa dimengerti sebagai ungkapan kejengkelan dan kemarahan kita yang memuncak.
Bisa juga itu ekspresi kecemasan kita, membayangkan bahwa kita akan ditegur oleh pimpinan karena ulahnya. Jangan-jangan Maggie belajar untuk menjadi tidak malu, dari sekian banyak pengalaman dipermalukan.
Jangan-jangan tindakan mempermalukan yang kita lakukan justru ikut mengkondisi dia menjadi tidak punya malu, seperti yang kita tuduhkan.
Kita punya hak untuk menjadi jengkel dan marah. Sangat bisa dimengereti bahwa kita merasa jengkel dan marah menghadapi ulahnya yang seperti itu. Perasaan bukanlah urusan benar dan salah. Ukuran benar dan salah baru bisa diterapkan pada tindakan yang kita lakukan berdasarkan perasaan tersebut.
Tetapi bagaimanapun, perasaan kita adalah persoalan kita. Kesadaran manusiawi kita akan mampu menerima itu. Kedewasaan kita sebagai pribadi akan mampu mengolah itu dan meredakannya, agar perasaan tersebut ada dalam kendali kita.
Perasaan negatif yang kita alami bukanlah untuk ditahan ataupun disimpan, melainkan untuk diungkapkan secara terkendali. Dengan demikian, tidak akan terjadi yang sebaliknya : kita dikendalikan oleh perasaan negatif tersebut.
Bila kita sudah berproses untuk mengatasi persoalan dalam diri, kita akan bisa menyediakan ruang dalam benak untuk memahami, bukan memaklumi. Kenyataan bahwa Maggie tidak ditakutkan oleh ancaman –yang kita interpretasikan sebagai kekurang-ajaran–, barangkali menampakkan betapa sesuatu yang mendorongnya untuk melanggar itu sedemikian penting baginya.
Andai rambut bersemir adalah identitas sebuah kelompok di mana ia ingin menjadi angotanya, dan menjadi syarat untuk diterima dalam kelompok itu, maka peristiwa pelanggaran yang ia lakukan memperlihatkan kehausannya yang luar biasa akan penerimaan orang lain, mengimbangi sekian banyak pengalaman ditolak selama ini.
Andai berikutnya : Maggie ingin tampak lain, ingin menjadi berbeda secara menyolok, supaya ia dilihat…. sebuah ungkapan kehausan akan sapaan dan perhatian.
Bila kita tidak direpotkan lagi oleh perasaan-perasaan kita, kita tidak perlu lagi menjadikan Maggie sasaran untuk memuaskan nafsu amarah kita. Sebaliknya, kita bisa dengan objektif melihat peristiwa tidak mengumpulkan lembar jawab Ulangan Akhir Semester IPS sebagai peristiwa kecerobohan.
Seperti beberapa kali terjadi, Maggie ceroboh. Saat berhadapan dengan keharusan mempertanggungjawabkan kecerobohannya, ia menyembunyikan itu di balik berbagai dalih dan alasan yang dengan cepat ia rumuskan.
Barangkali pengandaian ini lebih benar daripada kecurigaan bahwa ia sengaja menyimpan lembar jawab Ulangan Akhir Semesternya demi sebuah maksud licik tertentu.
Baca Juga : Waspada Penggunaan Tembakau Gorila di Kalangan Remaja
Sebagai pendidik, tanggung jawab kita adalah berbuat yang baik untuk anak didik. Kemarahan ataupun teguran keras bisa baik, sejauh dimaksudkan untuk menjadikan lebih baik, bukan luapan emosi semata. Tampaknya kita tidak akan bisa mengubah Maggie, karena ia hanya bisa berubah saat ia sendiri menghendakinya.
Peran kita sebatas menggerakkan kehendaknya. Lagi pula, tampaknya kita sama sekali tidak perlu membuat target seperti itu. Sebagaimana pesan Mother Theresa, kita tidak perlu berambisi mengubah seseorang, karena Tuhan punya rencana untuk setiap pribadi.
Kita hanya perlu bertahan untuk tetap melakukan yang baik pada siapapun, karena Tuhan ada dalam diri setiap pribadi. (Artikel ini pernah tayang di depoedu.com. kami tayangkan kemabli dengan izin dari penulis./ Foto:ekspektasia.com)
[…] Baca Juga: Mengenali Maggie, Si Pelanggar Aturan (Sepucuk Surat Untuk Rekan-Rekan Guru) […]