Eposdigi.com – Desa adalah sebuah komunitas masyarakat yang unik karena memiliki nilai sosial budaya dan teknologi produksi yang khas. Desa masa lalu terdiri dari rumah tangga petani dengan pola pertanian ekonomi subsisten. Suatu unit otonom yang memproduksi hasil pertanian untuk kebutuhan sendiri sebagai hasil keputusan keluarga. Model produksi seperti inilah yang oleh Bung Hatta disebut sebagai demokrasi khas desa.
Menurut Hatta “di desa-desa sistem demokrasi yang masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah kepemilikan tanah ulayat atau tanah komunal. Di dalam tanah ulayat setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi”, (Suhartono,dkk,2001).
Melacak kembali sejarah kepemilikan tanah pada sejumlah tempat di berbagai wilayah tanah air, seperti tanah Minangkabau dan di provinsi NTT pada umumnya merupakan tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah milik kolektif atau milik suku atau nagari (Minangkabau) yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun. Pemegang hak atas tanah ulayat bagi masyarakat Minangkabau adalah kaum perempuan “mamak” kepala waris. Sedangkan pemegang hak atas tanah ulayat bagi sebagian besar masyarakat NTT berada di tangan anak laki-laki tertua.
Prinsip penguasaan dan pengelolaan atas tanah ulayat sejatinya bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kesejahtraan hidup bagi seluruh anggota keluarga yang berada dalam lingkup wilayah ulayat. Mekanisme pembagian dan pemanfaatan hasil dilakukan bersama-sama secara adil dalam suasana kekeluargaan melalui sebuah ritual adat yang dipimpin oleh pemegang hak ulayat sejak musim tanam dan masa panen tiba. Oleh karena itu rasa saling membutuhkan, kerjasama antara anggota pada tiap-tiap rumah tangga petani selalu dalam suasana persaudaraan dan kekeluargaan yang menjadi ciri khas dari masing-masing suku.
Abraham Lincoln dalam pidatonya yang sangat monumental pada tahun 1863 menegaskan bahwa “demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Artinya sumber kekuasaan sesungguhnya berasal dari rakyat, karena itu penguasa harus tunduk dan melayani rakyat dengan sebaik-baiknya. Pidato Lincoln tentang konsep demokrasi ini kemudian menjadi rujukan bagi sejumlah pemimpin dunia dalam menata pembangunan demokrasi negaranya. Indonesia sejak merdeka telah memilih PANCASILA sebagai dasar pembangunan demokrasi Negara, tentu hal ini sejalan dengan pemikiran Bung Hatta dan Soekarno yang sangat memahami akar demokrasi yang bersumber pada tanah leluhur.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; ayat 4 Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sejalan dengan itu fungsi hak atas tanah menurut Pasal 6 Undang Undang Pokok Aagria (UUPA), bahwa: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Bunyi pasal 33 UUD 1945 dan pasal 6 UUPA sangat sesuai dengan prinsip dan fungsi mengelola dan memanfaatkan tanah ulayat dengan menitik beratkan pada kepentingan semua orang berdasarkan tugas dan fungsinya dalam masyarakat.
Karena itu praktek demokrasi hari ini yang menjadi mainstream pembangunan berkelanjutan mestinya tetap merujuk pada nilai-nilai dasar demokrasi yang bersumber dari tanah ulayat yang teraktualisasi dalam PANCASILA. Pancasila sejatinya digali dari kekayaan budaya nusantara yang bernilai tinggi sebagai dasar menjaga dan merawat keanekaragaman rumah bersama Indonesia. Itu berarti tak ada alasan apapun bagi siapapun yang mencoba menggeser dan mendistorsi nilai luhur pancasila dengan ideologi lain. Karena mencoba mengganti Pancasila sama dengan mencabik-cabik keutuhan rumah Indonesia.
Dengan demikian merawat nilai pancasila bagi orang desa dalam kehidupan adalah bagian esensial dari menjaga keutuhan Indonesia sebagai warisan leluhurnya. Oleh sebab itu kurang tepat dan bijak bila ada orang yang pergi ke desa lalu mencoba mengajarkan nilai-nilai demokrasi lain yang jauh dari akar budayanya. Mestinya orang ke desa untuk berguru tentang praktek terbaik demokrasi dari orang-orang desa, bukan sebaliknya mengajari orang desa. Orang desa sejatinya lebih demokratis karena telah lama menerapkan nilai-nilai demokrasi di tanah leluhurnya. Sebab kepemilikan atas tanah ulayat serta nilai kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya seperti persatuan, kebersamaan, keadilan, kemandirian dan keberlanjutan sudah berabad-abad lamanya menjadi basis demokrasi di desa jauh sebelum kedatangan bangsa kolonial di negeri ini.
Justeru bangsa Kolonial dan rezim Negara yang berwatak oligarki dan korporatis telah membajak demokrasi asli desa dan kemudian menjadikannya sebagai kedok eksploitasi sumberdaya dan mengawetkan kekuasaan kaum oligark tanpa peduli dengan segala kehancuran tatanan sosial budaya, ekonomi, politik dan keunikan sumber dayanya.
Dengan demikian Program Nawa Cita ketiga Presiden Jokowi adalah “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI” serta melalui pengaturan desa sesuai asas rekognisi dan subsidiaritas dalam undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan langkah tepat restorasi untuk menjadikan desa sebagai teras depan rumah Indonesia yang maju, mandiri dan bermartabat. (Foto: cektkp.id)
[…] Baca Juga: Menggali Akar Demokrasi Desa dari Tanah Leluhur […]
[…] Baca Juga: Menggali Akar Demokrasi Desa dari Tanah Leluhur […]