Surat dari Adonara – Februari 2020

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Siapa Yang Diuntungkan dari Gerakan ASN Wajib Pakai Tenun Ikat?

Eposdigi.com – Gerakan ASN di Pemkab Flores Timur wajib berpakaian tenun ikat setiap hari Senin pertama setiap bulan patut diapresiasi. Peraturan Bupati No 49 Tahun 2017 tentang wajib berpakaian tenun ikat motif Lamaholot menjadi sebuah langkah maju. Terutama dalam rangka mewujudkan cinta budaya Lamaholot.

Perbup No 49 Tahun 2017 ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat Sekda Flores Timur bernomor Humas.005/023/Protokol/2017 tertanggal 31 Agustus 2017, sebagai instruksi khusus kepada ASN dilingkup PemKab untuk melaksanakannya (diantimur.com 05/09/2017).

Hal senada juga dilakukan ditingkat provinsi. Sejak April 2019, seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), diwajibkan mengenakan kain tenun daerah NTT.

“Setiap hari Selasa dan Jumat, seluruh ASN di Setda Provinsi NTT,wajib mengenakan kain tenunan,” tulis kompas.com (10/04/2019) mengutip Kabiro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu.

Motif tenun ikat NTT yang sedemikian beragam juga ikut mempromosikan keberagaman budaya di provinsi kepulauan ini. Secara kultur setiap kabupaten memiliki motif tenun ikat yang khas dan berbeda dari kabupaten lain.

Bahkan bukan hanya di tingkat kabupaten, di tingkat kecamatan pun kerap dijumpai perbedaan motif tenun ikat.

Mengenakan tenun ikat sebagai bagian dari kecintaan terhadap budaya warisan leluhur selain bermakna filosofis menjaga warisan adat dan budaya juga tentu berimbas pada ekonomi masyarakat. Terutama masyarakat penenun-ikat yang selama ini menggantungkan pundi-pundi penghasilannya dari tenun ikat.

Baca Juga: Gubernur NTT: Festival Pariwisata Harus Berdampak Terhadap Ekonomi Masyarakat

Permintaan kain tenun ikat oleh ASN tentu menghidupkan secara signifikan geliat ekonomi para penenun di NTT. Namun jika tidak disikapi secara lebih serius bisa saja permintaan yang tinggi ini tidak berpengaruh jangka panjang terhadap pendapatan para penenun.

Tenun ikat daerah terutama NTT selama ini masih hanya dilihat sebagai bagian dari ekspresi budaya. Belum menjadi bagian dari fashion atau gaya hidup. Untuk diterima secara luas tenun ikat daerah harus berani dipromosikan sebagai gaya hidup.

Namun untuk menjadi bagian dari gaya hidup maka tenun ikat bisa saja akan mengikuti mekanisme yang ditentukan oleh pasar.

Ketika permintaan pasar akan tenun ikat tinggi para pengusaha akan meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Di masa depan, sama seperti batik, yang dulunya hanya dikenal sebagai batik tulis, sekarang ini pasar dipenuhi dengan batik hasil printingan.

Demikian juga bisa terjadi dengan tenun ikat. Motif yang berbagai ragam, dengan proses produksi yang dilakukan secara manual dan lama, bisa saja tidak menguntungkan secara ekonomi. Ketika diukur dari lamanya perputaran modal.

Para pengusaha yang melihat kebutuhan  pasar yang segera dipenuhi, akan memproduksi berbagai kain dengan motif tenun ikat daerah dengan teknologi printing terbaru. Permintaan pasar yang tinggi, menjadi alasan pengusaha mempercepat proses produksi.

Pada kondisi ini,  jika keinginan pasar sudah terpenuhi oleh motif tenun ikat hasil printingan, maka permintaan yang tinggi tidak akan berpihak pada para penenun di daerah-daerah.

Pada kondisi yang lain, permintaan yang tinggi terhadap tenun ikat, mendorong banyak orang untuk memproduksi tenun ikat. Dengan tetap mempertahankan proses dan cara yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Proses dan cara tetap dipertahankan namun bahan baku benang untuk tenun ikat tersebut tetap masih harus dibeli dari para pengusaha pemasok benang. Permintaan kain tenun ikat yang tinggi juga akan mendongkrak permintaan akan bahan baku benang.

Tentu permintaan akan bahan baku benang yang meningkat akan mendorong para pemasok benang menaikan harga. Mekanisme pasar akan terjadi.

Baca Juga: Membaca “ Turis Miskin Dilarang ke NTT”

Pada kondisi ini, yang dipilih oleh para penenun adalah tetap menjaga permintaan pasar dengan mempertahankan harga, sementara menerima harga benang yang lebih tinggi dari pemasok. Harga kain tetap, namun ongkos produksi meningkat. Margin keuntungan yang diterima penenun berkurang.

Kondisi yang paling ideal adalah menjadikan tenun ikat yang adalah warisan budaya leluhur sebagai fashion dan gaya hidup. Warisan budaya yang dijaga keasliannya, namun harus dapat diterima selaras dengan keinginan fashion dan gaya hidup.

Maka alternatif pilihan yang bisa dilakukan adalah:

Pertama; Pemerintah meregistrasi dan mendokumentasikan motif-motif asli tenun ikat di setiap daerah sebagai bagian dari kekayaan intelektual daerah. Bila perlu di patenkan. Ini melindungi tenun ikat tradisional dari gempuran kain-kain hasil printing dengan motif tenun ikat.

Kedua; Mendorong industri benang di daerah untuk memutus pasokan benang dari luar. Toh secara tradisional nenek moyang kita sudah menenun kain dari benang yang diproses sendiri. Mulai dari menanam kapas, memintal kapas menjadi benang hingga pewarnaannya.

Mendorong industri benang adalah pintu masuk untuk menghidupkan kembali kearifan lokal. Petani kapas menggeliat diikuti oleh tumbuh dan berkembangnya berbagai pewarna alami yang dimiliki oleh kearifan lokal.

Tenun menjadi pemicu bangkitnya pertanian. Industri kapas dan pewarna benang alami tentu menyerap tenaga kerja di daerah secara signifikan.

Namun jauh lebih penting adalah melindungi para penenun dari pengusaha dan atau pemasok benang yang mengambil keuntungan dari tingginya permintaan tenun ikat.

(Foto Gubernur NTT mengenakan kain tenun ikat saat upacara bendera / gardaindonesia.id)

Sebarkan Artikel Ini:

2
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Siapa Yang Diuntungkan dari Gerakan ASN Wajib Pakai Tenun Ikat? […]

trackback

[…] Baca Juga: Siapa Yang Diuntungkan dari Gerakan ASN Wajib Pakai Tenun Ikat? […]