Penerapan Governance: Mengelola Pemerintahan Asli Melalui Badu dan Leba Ne’e

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Isu tentang  pengelolaan sumber daya kolektif telah lama menarik perhatian Garret Hardin dengan tesis kuncinya: “The Tragedy of Common”, (Lubis, 2002) mengetengahkan sumber daya yang dikategorikan milik bersama seperti hutan, lautan, udara, danau, sungai dan lain-lain dapat dieksploitasi secara berlebihan karena sumberdaya demikian tak ada yang merasa bertanggung jawab dalam pemeliharaanya.

Tesis Garret Hardin ini justru tak terkonfirmasi di level masyarakat adat. Karena secara faktual di beberapa komunitas masyarakat adat negeri ini, telah lama memiliki mekanisme budaya yang sangat efektif dalam mengelola berbagai potensi sumber daya alamnya.

Itu berarti tesis Hardin dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya alam secara tak terkendali di kalangan masyarakat adat tak terbukti dan terbantahkan dengan sendirinya.

Sebab mayoritas masyarakat adat telah lama menjadikan sumber daya alam sebagai bagian penting dari kehidupan dan sarana membangun identitas dan kohesivitas sosialnya.

Pada umumnya pranata-pranata tradisional jauh lebih efektif, sehingga mampu mengendalikan  tingkat eksploitasi  sumberdaya alam secara berlebihan, seperti pada  masyarakat Maluku dikenal dengan istilah Sasi, yaitu norma yang mengarahkan hak kepemilikan sumberdaya alam dikelola secara bersama, (Sangadji, 2010)

Menurut Dove (1994:xxx) kebudayaan Dayak di Kalimantan  juga memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak.

Seperti pada sistem bercocok tanam dengan sistem rotasi dan masa Bero panjang. Lebih lanjut Dove mengemukakan bahwa walaupun sudah seabad berusaha dengan ilmu pengetahuan modern khususnya dalam sistem penanaman pangan di  dalam proyek-proyek  transmigrasi, namun ternyata gagal dan tidak ada sistem bercocok tanam yang telah ditemukan seberhasil sistem perladangan dalam penyediaan pangan kepada penduduknya serta pelestarian hutan tropika.

Pengelolaan sumber daya alam serupa pun ditemukan pada beberapa komunitas di  Kabupaten Flores Timur, dengan nama “badu ne’e” dan “leba ne’e,” yaitu suatu kearifan atau kecerdasan lokal yang merupakan strategi budaya  masyarakat adat  melakukan ritual tutup dan buka  kawasan laut dalam kurun waktu tertentu.

Mekanisme  budaya ini bertujuan  melindungi ekosistem dan kelestarian biota laut dari perburuan liar serta menjaga kualitas dan kuantitas produksi penangkapan ikan secara teratur, bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Dalam masa badu masyarakat hanya boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan di luar area larangan. Jika ada pelanggaran maka akan dikenakan sanksi adat yang berat oleh pemangku hak ulayat sesuai tradisi yang berlaku.

Proses badu dan leba ne’e selalu diawali dengan ritual adat yang dipimpin oleh pemangku hak ulayat dengan melibatkan secara aktif semua komunitas masyarakat adat.

Karena itu kohesivitas elemen masyarakat suku dalam pelaksanaan badu dan leba ne’e menjadi hal utama yang dibutuhkan guna menegaskan eksistensi dan legalitas pemerintahan asli.

Tradisi budaya ini sesungguhnya telah mengkonfirmasi adanya penerapan governance dalam pemerintahan asli. Sebab tradisi yang bersifat kolektif lokal  sudah  lama hadir, tumbuh dan berkembang atas dasar  partisipasi, kerjasama  dan sinergitas dari banyak pihak di dalam masyarakat adat jauh sebelum Negara lahir.

Dewasa ini tata kelola sumber daya desa berbasis budaya oleh pemerintahan asli telah terdegradasi bahkan hilang seiring hadirnya regulasi Negara dan nilai-nilai modern yang lebih mengedepankan semangat individualisme dari pada nilai kolektivisme.

Ironisnya masyarakat desapun secara tidak sadar ikut terseret dalam pusaran arus modernisme dan kapitalisme sehingga justeru membiarkan  nilai-nilai budaya warisan leluhurnya  tergerus zaman.

Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem  alam secara masif serta hilangnya aktivitas kolektif bernuansa kebersamaan dalam mengelola sumber daya desa.

Rapuhnya nilai kebersamaan  mengelola sumber daya kolektif telah membangkitkan  hasrat individu menguasai kekayaan alam secara berlebihan tanpa peduli dengan kerusakan ekosistem, kepentingan masyarakat serta keberlanjutannya.

Menurut Dwiyanto, dkk (2003) dalam praktek upaya peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat sudah diupayakan sejak lama oleh masyarakat secara bersama-sama dengan cara mereka sesuai  dengan tradisinya masing-masing.

Kerjasama yang dibangun oleh setiap masyarakat untuk mencapai tujuan bersama dalam hampir semua sektor kehidupan, baik sektor ekonomi, politik, budaya dan kehidupan sosial lain, sesungguhnya telah mengkonfirmasi bahwa bentuk kemitraan  masyarakat sudah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kehadiran suatu komunitas masyarakat. Badu dan Leba Ne’e adalah  salah satu bukti nyata adanya pranata sosial itu.

Badu, Lela, Uro, Glaran, Gra-ran” berasal dari kata bahasa Lamaholot yang  memiliki makna atau arti yang  relatif sama hanya diucapkan secara berbeda di beberapa komunitas dan secara harafiah berarti: larangan, terkunci, tertutup, keramat.

Sedangkan  kata ne’atau ekan,  berarti tempat / lokasi atau suatu kawasan pantai / hutan / kebun  yang menjadi milik perorangan atau ulayat.  Secara umum badu nee atau lela ekan berarti suatu kawasan larangan, terkunci atau tertutup sehingga tidak diperkenankan oleh siapapun melakukan  kegiatan penangkapan ikan dan sejenisnya baik dalam ukuran besar maupun kecil.

Apabila terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi adat  dalam bentuk denda adat sebagai pemulihan berupa hewan, beras dan tuak  untuk dipersembahkan kepada masyarakat adat.

Sedangkan leba berarti sudah terbuka atau bebas. Dengan demikian leba ne’e, mengandung arti suatu kawasan yang tadinya tertutup, sudah bebas/terbuka bagi umum karena telah dibuka kembali secara adat oleh pemangku adat.

Dengan demikian nilai-nilai governance sesungguhnya telah lama hadir dalam  pemerintahan asli di  negeri ini jauh sebelum Negara Indonesia lahir. Sebab itu upaya nyata merawat dan memelihara kekhasan kolektif seperti badu dan leba ne’e sebagai warisan leluhur yang kini nyaris punah  merupakan  hal yang niscaya.

Tradisi badu dan leba ne’e  mestinya tak dibiarkan mengalami disfungsi, melainkan  suatu pemurnian melalui rekayasa budaya dari pemerintah, agar dapat dipraktekkan kembali oleh masyarakat desa sebagai basis pengembangan karakter dan perawatan sumber daya kolektif secara berkelanjutan menghadapi berbagai tantangan pembangunan dewasa ini yang makin global dan berwatak kapitalis. (Foto : reviensmedia.com)

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of