Eposdigi.com – Belum lama ini, publik tanah air dikejutkan dengan skandal suap di satu-satunya BUMN baja di Indonesia. Bagaimana tidak, KPK lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 22 Maret 2019 dan mengamankan seorang petinggi PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel sendiri merupakan BUMN dibidang industry baja yang berdiri sejak tahun 1970.
Salah satu yang ikut terjaring OTT pada tanggal tersebut adalah Wisnu Kuncoro, yang menjabat sebagai Direktur Produksi dan Riset Teknologi. Wisnu sendiri memiliki rekam jejak karir yang panjang di PT Krakatau Steel dan anak usahanya. Wisnu pernah menjadi Direktur dibeberapa anak usaha PT. Krakatau sebelumnya. Menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Wisnu berharta 14,6 M.
Seperti yang dilansir detik.com (25 Maret 2019) jumlah ini, merupakan total kekayaan Wisnu yang dilaporkan terakhir pada 29 Maret 2018. Ironisnya, saat di OTT KPK, Wisnu bersama 3 orang dari pihak swasta, dengan barang bukti ‘hanya’ sebesar Rp 20 juta. Barang bukti sejumlah itu tentu bukan uang yang banyak untuk ukuran gaji seorang direktur di PT. Krakatau Steel.
Wisnu dan tersangka lainnya ditangkap atas dugaan suap untuk melancarkan proses pengadaan barang dan jasa di PT. Krakatau Steel.
Sebulan kemudian, lagi-lagi KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan. Kali ini, 29 April 2019, di Jakarta, seorang kepala daerah terjaring OTT bersama seorang rekanan pihak swasta. KPK menduga ada penerimaan hadiah / janji kepada penyelenggara pemerintah terkait proyek pengadaan barang dan jasa.
Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manali, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan seorang tim suksesnya dan seorang lagi dari pihak swasta, keesokan harinya.
Tidak tanggung-tanggung, , Sri Wahyumi disangka menerima hadiah dengan nilai total Rp 513,8 juta. Dilansir oleh rri.co.id pada 30 April 2019, barang bukti yang diamankan dalam OTT tersebut terdiri dari sebuah handbag bermerek CHNNEL senilai Rp 97.360.000, tas BALENCIAGA senilai Rp 32.995.000, anting dan cincin berlian buatan ADELLE dengan nilai masing-masing Rp 32.027.000,- dan Rp 76.925.000. Termasuk diamankan juga sebuah jam tangan ROLEX senilai Rp 224.500.000, dan uang tunai Rp 50.000.000.
Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara adalah salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Tindakan ini mengandung unsur-unsur secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri orang lain atau suatu korporasi yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam praktik, pengadaan barang dan jasa itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika menyalahgunakan kewenangan, memberikan keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan menimbulkan kerugian keuangan negara. Jika prosesnya yang sedang berjalan, tetapi sudah ada indikasi atau “dugaan kuat” adanya penyimpangan maka bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Korupsi. Karena itu suap merupakan tindak pidana yang berada dalam satu jenis dengan tindak pidana korupsi. Bahkan menjadi jenis tindak pidana yang sudah sangat akut.
Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam undang-undang adalah sebagai suatu hadiah atau janji (“giften” atau “beloften”) yang diberikan atau diterima. Pelaku penyuapan dikategorikan menjadi penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai pemberi hadiah atau janji, sedang penyuapan pasif (passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai penerima hadiah atau janji.
Di daerah, penyuapan biasanya dilakukan oleh rekanan kepada Bupati/ Wali Kota, KPA, PPK, panitia penerima barang dan jasa, atau kepada anggota Pokja ULP. Biasanya penyuapan ini dilakukan agar pengelola pengadaan memenangkan penawaran dari rekanan. Modusnya pengelola kegiatan menerima barang/jasa yang diserahkan rekanan dimana kualitas dan/atau kuantitasnya lebih rendah dibandingkan yang diperjanjikan dalam kontrak.
Kuantitas dan kualitas yang diakali oleh rekanan dalam pengadaan barang dan jasa inilah yang jelas-jelas menrugikan negara dan masyarakat. Biasanya rekanan mengurangi ukuran, menganti spesifikasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada spesifikasi yang ditetapkan dalam kontrak.
Padahal larangan penyuapan seperti ini juga sudah diatur pada pasal 6 Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 yaitu berkaitan dengan etika pengadaan barang dan jasa. Ancaman hukuman terhadap penerima suap pun dengan tegas diatur dalam pasal 418 KUHP bahwa seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara. Dalam pasal 419 KUHP juga mengatur tentang hal ini. Sementara dalam UU No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi ditegakan dalam Pasal 11 dan Pasal 12.
Jika menemukan dugaan Tipikor Suap seperti ini, siapkan data dan bukti yang cukup lalu #Laporkan. Salam #Anti_Korupsi salam #malas_belok . (Foto Sri Wahyumi mengenakan rompi tahanan: republika.co.id)
Leave a Reply