Eposdigi.com – Banyak tempat di Flores Timur, Adonara, Solor dan Lembata memakai nama dengan suku kata awal ‘lama’: Lamabunga, Lamahala, Lamalera, Lamakera, Lamabelung, dan lain-lain.
Banyak nama suku/marga juga memakai suku kata awal ‘lama’: Lamabelawa, Lamanepa, Lamahoda, dan lain-lain.
Dan tak ketinggalan, rumpun etnis dari daratan Flores Timur hingga Lembata dinamakan (atau menamakan diri) Lamaholot.
Apa sesungguhnya makna kata ‘lama’? Sebuah kata mandiri atau sekadar prefix?
Klik Judul Untuk Membaca Tautan Berikut:
Menggagas Sumpah Adat Saat Pelantikan Pejabat Publik di Lamaholot
Sejauh ini tafsir etimologis cenderung mengadopsi pendekatan identifikasi berdasarkan prinsip homonim dan homofon.
Demikian misalnya, Lamalera ditafsir berdasarkan kesamaan bunyi sebagai berasal dari kata “lam’a” (dialek Lamalera) atau “lamak” (dialek Adonara) sebagai piring, dan ‘lera’ atau ‘rera’ sebagai matahari atau sebagai daun pohon dadap/rerap.
Karena itu orang di Adonara sebagian menyebut nama Lamalera sebagai Lamarerap.
Demikian, dalam salah satu versi mitologi yang panjang: orang Lamalera menenpuh perjalanan pelayaran dari negeri asal mereka – Luwukbelu, Lepan Batang (Lompobatang), Seran Goran (pulau Seram), atau Kei, dan lainnya hingga tiba di Lamalera.
Klik Judul Untuk Membaca Tautan Berikut:
Setiba di tempat Lamalera sekarang mereka menemukan daun pohon dadap (rerap) dan mereka mempergunakannya sebagai alas atau wadah makanan – sebagai ‘lam’a/lamak atau piring.
Pendekatan kesamaan bunyi yang sama dipakai untuk memaknai nama etnis Lamaholot = lamak + holo = piring bersambung dalam acara tobulagang.
Benarkah tafsir makna ‘lama’ di atas?
Bisa benar, bisa tidak. Persoalanya bukan soal apakah tafsir itu benar atau tidak. Atau jika ada beberapa tafsir, tafsir mana yang benar atau lebih benar dan yang lain salah atau salah total.
Persoalannya terletak pada kekuatan argumentasi yang mendukung atau menolak setiap tafsir makna yang disodorkan.
Klik Judul Untuk Membaca Tautan Berikut:
Provokasi diskusi 1: ‘lam’a’/lamak dalam pengertian sebagai ‘piring’ dalam budaya Lamalera adalah sebuah pranata dan aksesori di atas meja makan kultur modern yang dikenalkan kolonial.
Sampai dengan tahun 70an orang masih mengeluarkan untaian wadah makan dari anyaman daun lontar untuk dicuci di laut lalu dipakai sebagai wadah makan pada acara pesta perahu di pantai atau pernikahan (seremoni).
Jadi, pemaknaan nama Lamalera yang dikaitkan dengan piring adalah ahistoris. Wadah makan tradisional dari anyaman daun lontar tak pernah dan tak akan pernah disebut sebagai lam’a atau lamak (piring).
Klik Judul Untuk Membaca Tautan Berikut:
Dengan demikian, tafsir asal kata ‘lama’ sebagai berasal dari kata lam’a/lamak yang artinya ‘piring’ mungkin ada peluang benar secara linguistik tetapi gugur dalam pelacakan antropologis.
Jadi, apa makna ‘lama’? Lama sekali ah …..
Mungkin jalan paling gampang adalah membiarkan ‘lama’ sebagai sebuah bagian dari nama saja. Lamalera ya Lamalera.
Lamakera ya itu nama kampung di ujung pulau Solor sana. Tidak perlu ditafsir seperti usaha menafsir Adonara sebagai ‘adok’ dan ‘nara’ yang memiliki makna konotatif negatif (menghasut sekutu).
Apa yang bisa dilakukan?
Mari kita coba membuat semacam typologi nama tempat: daftar nama-nama tempat/kampung yang memakai prefix ‘lama’. Cermati, apa kesamaan nama-nama tempat yang memakai prefix ‘lama’ tersebut.
Klik Judul Untuk Membaca Tautan Berikut:
Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)
Lakukan hal yang sama untuk tempat-tempat yang memakai prefix ‘wai’, ‘riang’, ‘lewo’, wato, ile, dan lain-lain.
Dengan cara ini kita menemukan argumentasi mengapa sebuah tempat disebut lewo, wai, riang atau ‘ata’. Demikian pula halnya dengan nama Lamaholot.
Pendekatan ini berpotensi menggugurkan hipotesis bahwa lama = piring. Dicoba Yuk!!
Foto: Di Lamaholot, piring yang digunakan untuk makan para leluhur terbuat dari anyaman daun lontar.
Leave a Reply