PEKKA Hadir di Tengah Dunia Lamaholot yang Patriarkis

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – “Dari ratusan alumni akademi pradigta, kader PEKKA telah banyak yang menjadi aparatur desa, anggota BPD bahkan sudah beberapa yang menjadi kepala desa, termasuk saya.”

Demikian salah satu testimoni yang disampaikan oleh Ina Petronela Peni Loli, kepala desa perempuan pertama di Kabupaten Flores Timur yang juga adalah kader PEKKA.

Ina Petronela Peni menjadi salah satu pembicara dalam seri ke 4 diskusi Pendidikan di Flores Timur dan Lembata. Dalam kesempatan kali ini mengusung tema Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Pemberdayaan Perempuan.

Tentang Pemberdayaan Perempuan diskusi seri ke 4 ini adalah kali kedua mengangkat tema yang sama.

Baca Juga: Komunitas Flores Timur dari Berbagai Daerah Selenggarakan Diskusi tentang Pendidikan Flores Timur

Tema pemberdayaan perempuan menjadi tema yang sangat kontekstual dan selalu hangat dibicarakan. Apalagi dalam konteks Masyarakat Lamaholot.

Beberapa dekade terakhir ini, perjuangan perempuan Lamaholot memiliki setiadaknya dua corak sebagai bagian dari bagaimana mereka menanggapi realitas kehidupan sehari-hari.

Ada pergeseran pilihan perempuan Lamaholot dalam “budaya merantau”. Sebelumnya  migrasi masyarakat lamaholot untuk mencari kerja di luar daerah hanya didominasi oleh laki-laki.

Belakangan, dengan alasan perempuan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, sekaligus dengan penghasilan yang lebih tinggi, mendorong lebih banyak perempuan Lamaholot keluar daerah untuk mencari pekerjaan.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)

Entah menjadi buruh migran ke luar negeri atau mencari kerja di banyak kota besar lain di Indonesia.

Pilihan ini tentu membawa konsekensi yang tidak sederhana. Mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak berpotensi meninggalkan anak tanpa pengasuhan yang semestinya.

Tidak hanya mengorbankan masa depan anak, buruh migran perempuan dengan tingkat pendidikan seadanya sangat rentan terhadap praktek “human traffincking”.

Sementara para perempuan-perempuan muda, yang dengan bekal pendidikan seadanya, pilihan mencari kerja keluar daerah juga mengandung konsekuensi yang tidak kalah serius.

Baca Juga: Pekka Lodan Doe; “Berjalan sambil Merintis Jalan”

Bekal pendidikan yang seadanya, kebanyakan hanya tamatan SLTA atau bahkan dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Akibatnya mereka hanya bisa memilih pekerjaan tanpa posisi tawar yang memadai.

Posisi tawar yang tidak memadai ini berpotensi besar akan eksploitasi. Rendahnya tingkat pendidikan pasti berbanding lurus dengan besarnya penghasilan yang mereka peroleh saban bulan.

Corak lainnya adalah hadirnya pemberdayaan perempuan oleh komunitas Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Kehadiran PEKKA telah menjadi harapan baik bagi masyarakat. Terutama bagi kaum perempuan.

Para Ibu yang tergabung dalam komunitas ini mencanangkan gerakkan pemberdayaan untuk menjawab berbagai realitas persoalan di tengah masyarakat.

Baca Juga: Dari Pembelajaran Tematik di Kelas Menjadi Metode Pendidikan Alternatif Bersama Komunitas

Gerakan pemberdayaan yang mereka lakukan ternyata bisa meringankan tidak hanya tekanan ekonomi, sosial, budaya bahkan mengantar mereka merebut posisi politik di tingkat komunitas masyarakat yang lebih besar.

Salah satu kader yang membuktikan keberhasilan pemberdayaan komunitas PEKKA adalah Ina Petronela Peni.

Awalnya Ia hanya diminta mencalonkan diri untuk memenuhi persyaratan kuota perempuan dalam kepemimpinan atau jabatan publik. Bahkan permintaan itupun diselipi permintaan lain yang lebih sulit.

Ina Peni hanya mencalonkan diri “namun kami akan memilih orang lain (laki-laki)”sebagai pemimpin desa. Kira-kira demikian permintaannya.

Dan terbukti, Ina Petronela Peni dalam pemilihan kepala desa di Desa Nisa Nulan  – Flores Timur terpilih sebagai kepala desa (2007 – 2013).

Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot?

Terpilihnya kader PEKKA sebagai kepala desa pertama di Flores Timur membuktikan betapa efektifnya pemberdayaan para ‘perempuan kepala keluarga’ (PEKKA) ini.

“Reket mungkin Ama Lake yang Pehen” namun “Deket, adalah tanggung jawab bersama, laki-laki maupun perempuan.

Bahwa di tengah masyarakat yang patriarkis PEKKA mampu melahirkan pemimpin-pemimpin perempuan yang hebat.

PEKKA dalam sosok Ina Petronela Peni sudah memberi cakrawala pemahaman yang seharusnya bahwa Perempuan Lamaholot memiliki peran yang sejajar, setimbang dalam ruang-ruang tradisi dan budaya masyarakat Lamaholot.

Ina Petronela Peni telah mematahkan anggapan bahwa perempuan Lamaholot adalam masyarakat kelas dua. Perempuan Lamaholot bukan dan tidak pernah menjadi subordinat  polidimensi kaum laki-laki.

Baca Juga: Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Konservasi Lingkungan: Mencari Penggerak Perubahan Kolektif untuk Konservasi Lingkungan

Dalam peran yang sejajar itu, yang bahkan dalam ritual adat, laki-laki dan perempuan Lamaholot hanya dibatasi oleh ruang tanggung jawab adat. Laki-laki bertanggung jawab atas “Reket”.

Mereka  berada pada wilayah yang “panas”, publik. Sedangkan perempuan bertanggung jawab atas “Kenirek”. Perempuan berada pada wilayah “dingin”, privat.

Bagian wilayah tanggung jawab baik privat maupun publik tidak serta merta menjadikan perempuan menjadi masyarakat kelas dua setelah laki-laki.

Ego chauvinisme laki-laki Lamaholot terhadap “suku”,  tidak boleh menjadi pembenaran untuk mensubordinasikan perempuan  Lamaholot yang menjada “lango”. Tanpa “lango”tentu tidak mungkin ada “suku”.

Baca Juga: Jejak Peradaban Perempuan Adonara Dulu dan Sekarang

Sifat patriarkis individu-individu laki-laki Lamaholot tidak boleh melegitimasi bahwa seolah kita adalah masyarakat yang patrilineal.

Saya dalam banyak kesempatan selalu gelisah ketika banyak orang mengatakan bahwa garis kekerabatan masyarakat Lamaholot adalah berdasarkan kekerabatan yang patrilineal. Butuh penelitian yang dalam dan komperhensif untuk mendukung klaim tersebut.

Kalim masyarakat petrilineal atas masyarakat Lamaholot harus dibuktikan dengan meneliti bagaimana pola kekerabatan perempuan Lamaholot terutama mereka yang tinggal beberapa wilayah di Adonara yang diikat oleh “oi kenirek”.

Baca Juga:  Benarkah Masyarakat Adonara Murni Patrilineal?

Tidak hanya pola kekerabatan perempuan yang diikat oleh “oi kenirek”, penelitaian yang dalam juga harus berani melihat bagaimana peran perempuan menjaga “rie hikhun liman wanan”.

Pemerintah dan kita semua seharusnya belajar dari PEKKA. Ina-ina, Perempuan Kepala Keluarga yang mengambil peran ganda dalam keluarga, mereka yang menjadi tulang punggung yang menopang kehidupan keluarga, dengan pendidikan seadanya mampu mengorganisir diri.

Tidak hanya membangun kemandirian ekonomi keluarga, mereka juga telah mengambil peran signifikan dalam status sosial kemasyarakatan. Pun dalam kepemimpinan / pemerintahan di tengah masyarakat.

Foto : Ina Petronela Peni mendapat ucapan selamat dari rekan-rekan sesama anggota komunitas PEKKA setelah pelantikan / Tangkapan Layar Filem Ola Sita Ina Wae

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of