Eposdigi.com – Semua pesta harus dirayakan dalam kemewahan, tetapi bukan kemewahan finansial, melainkan kemewahan eksistensial.
Ketiga, hal terpenting itu bukan menyiapkan pesta.
Selama ini kita terlalu fokus menyiapkan segala sesuatu untuk menciptakan sebuah perayaan yang disebut sebagai pesta. Namun menurut Nietzsche, yang paling penting “bukanlah mengatur pesta, tetapi menemukan orang yang dapat menikmatinya” (Pieper, 13).
Persis di situ, kemeriahan pesta bukan diukur semata-mata berdasarkan pada jumlah speaker musik atau banyaknya hewan yang disembelih, atau jumlah menu makanan; melainkan pada variasi tamu yang diundang.
Disebut demikian karena menurut Pieper, bersukacita merupakan atribut terpenting sebuah pesta dan bagaimanapun juga, suka cita tidak pernah ada demi dirinya sendiri, tetapi mengikuti penerimaan dari sesuatu yang dicintai.
Baca Juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme
Chrysostom mengungkapkan, “struktur terdalam dari pesta yang konkret” dapat diringkas: “𝘜𝘣𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘨𝘢𝘶𝘥𝘦𝘵, 𝘪𝘣𝘪 𝘦𝘴𝘵 𝘧𝘦𝘴𝘵𝘪𝘷𝘪𝘵𝘢𝘴” yang artinya “di mana cinta bersukacita, di situ ada pesta”.
Keempat, Pesta mengaktivasi Relasi Sosial
Bagi generasi kelahiran tahun 90-an, pesta merupakan medan menemukan jodoh. Fenomena ini mestinya tidak bisa dianggap enteng. Mengapa? Ya, karena justru melalui pesta, relasi sosial diaktivitasi secara signifikan sebelum masuknya jaringan komunikasi digital.
Ini juga akan menjawab pertanyaan mengapa dalam beberapa pesta, pihak penyelenggara tidak sembarangan mengundang orang.
Meskipun Sartre pernah menulis secara konfrontatif bahwa “Neraka adalah-orang lain” dalam 𝑵𝒐 𝑬𝒙𝒊𝒕 (1944), beliau dan de Beauvouir menemukan diri mereka justru dalam hubungan mereka dengan orang lain.
Itu berarti, keterlibatan adalah landasan etis sebuah hubungan karena orang lain hadir dan memberikan konteks bagi kehidupan kita. “𝘏𝘶𝘮𝘢𝘯𝘴 𝘥𝘦𝘧𝘪𝘯𝘦 𝘵𝘩𝘦𝘮𝘴𝘦𝘭𝘷𝘦𝘴 𝘪𝘯 𝘳𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘵𝘰 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳𝘴, 𝘢𝘯𝘥 𝘪𝘵 𝘴𝘶𝘤𝘬𝘴 𝘵𝘰 𝘭𝘦𝘢𝘷𝘦 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘩𝘪𝘯𝘥”, tulis Barton-Golden.
Sebaliknya, tanpa keterlibatan orang lain, tidak mungkin ada pesta; tidak ada “manusia”.
Persis di situ, dengan berpesta, kita dapat saling mengonfirmasi keberadaan satu sama lain, sebagai pengingat kepada kawan bahwa mereka penting.
Selain kehangatan dan tawa yang dipicu oleh percikan pesta, De Beauvoir menulis tentang pesta-pesta pada masa perang di Paris yang diduduki: “mereka menabung kupon makanan dan kemudian menyantap makanan, kesenangan, dan alkohol.
Baca Juga: Memahami Peran dan Sejarah Gemohing dalam Pembangunan Masyarakat
Mereka menari, bernyanyi, memainkan musik dan berimprovisasi”. Pada saat itu, seniman Dora Maar menirukan adu banteng, Sartre menirukan orkestra di lemari, dan Albert Camus menggedor tutup panci seolah-olah dalam marching band.
Dibahasakan secara berbeda, “dalam lagu, tawa, tarian, erotisme, dan kemabukan,” tulis de Beauvoir dalam 𝙏𝙝𝙚 𝙀𝙩𝙝𝙞𝙘𝙨 𝙤𝙛 𝘼𝙢𝙗𝙞𝙜𝙪𝙞𝙩𝙮 (1947), “seseorang mencari pemuliaan momen dan keterlibatan dengan orang lain.”
Kelima, Pesta yang Otentik
Sartre dan De Beauvoir coba melawan pandangan umum yang melihat pesta semata-mata sekadar praktik hedonisme. Bagi De Beauvoir, tidak ada yang salah secara filosofis dengan pesta pora, itu sama dengan aspek kehidupan lainnya. Hal terpenting adalah bagaimana cara Anda mendekati situasinya.
Jika seseorang, tulisnya, “membawa seluruh dirinya ke setiap situasi, tidak ada hal seperti “peristiwa dasar”. Maksudnya, orang yang datang ke pesta atau terlibat dalam peristiwa apa pun, selalu membawa seluruh dirinya dan kita perlu mengapresiasi itu, tidak peduli apakah apresiasi itu jujur ataukah palsu.
Hanya dengan cara demikian, kita membuat kehadiran seseorang berharga di dunia yang fana ini.
Itulah alasannya mengapa beberapa orang yang tidak paham dengan konteks ini mungkin akan mengatakan bahwa budaya pesta adalah pemborosan. Tetapi untuk apa kita menabung?
Hidup yang baik tidak selalu panjang, dan panjang umur tidak selalu berarti bahagia atau puas. Sebaliknya, yang penting adalah menjalani hidup dengan penuh semangat dalam setiap situasi.
Namun berpesta seperti seorang eksistensialis juga membutuhkan kehati-hatian. Maksudnya, pesta hendaknya bukan digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri dari situasi yang buruk; sebab melarikan diri dari, atau menyerah pada, tekanan hidup; justru mereduksi eksistensi manusia menjadi apa yang oleh De Beauvoir disebut sebagai ‘palpitasi’ yang absurd.
Baca Juga: Ketika Masyarakat NTT Berbicara tentang Pesta (Bagian Pertama)
Oleh sebab itu, agar pesta menjadi otentik, ia harus dipilih secara bebas dan aktif, dilakukan dengan sengaja, dan dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai seseorang. Lebih jauh lagi, terlalu banyak berpesta bisa menjadi melelahkan.
Dengan demikian, pesta yang otentik membutuhkan semacam penguasaan diri: menahan diri dalam ketegangan antara kebebasan dan tanggung jawab, kesenangan dan keseriusan, dan untuk memelihara hubungan kita tanpa menyangkal situasi kita.
Ini mendorong kita untuk melepaskan diri dari rantai internal, termasuk kebiasaan atau ketergantungan seperti alkoholisme.
Pesta seperti itu juga mendorong kita untuk menantang rantai eksternal, seperti pembatasan rezim institusional, dan dengan demikian memperkuat ikatan kita satu sama lain menjadi tindakan pemberontakan.
Singkatnya, meskipun dunia tempat kita hidup dapat mengancam eksistensi, pesta haruslah menyenangkan; sebab berada bersama orang lain dalam berpesta yang menyenangkan, dapat membantu kita menanggung kegelapan melalui rasa euforia, harmoni, dan harapan bersama.
Tidak peduli apakah itu perayaan ulang tahun atau pemilihan kepala daerah (pilkada), atau syukuran nikah, saya ucapkan: Selamat berpesta!
Foto : Masyarakat Kecamatan Witihama – Flores Timur – NTT “Lintas Iman” merayakan Pesta 50 Tahun Imamat Pater Ludger Jessing SVD – Misionaris asal Jerman di Paroki Witihama – Foto oleh : Eman Ola Masan Lamabelawa. / Penulis adalah Mahasiswa Magister Sosiologi UGM asal Flores Timur – NTT
Leave a Reply