Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

“Saya sudah kesana. Tapi karena mereka sedang pasang tenda jadi, ya saya pulang”. 

“Saya tidak mau kalau bukan tenda jadi. Teman-temanku yang lain pada sewa tenda jadi”

 

Eposdigi.com – Jika ada kematian di kampung, semua datang membantu. Terutama para pemuda. Mendirikan tenda. Meyiapkan kursi. Membantu ini-itu. Mempersiapkan segala hal. Mengurangi beban keluarga duka.

Mendirikan tenda, itu pekerjaan besar. Pertama mengumpulkan bambu. Satu buah tenda, butuh banyak bambu. Jika tendanya banyak, butuh lebih banyak bambu. Untuk mengumpulkan bambu, butuh banyak orang. Minimal dua orang menggotong satu batang bambu. Semakin banyak bambu, semakin banyak orang dibutuhkan. Tidak usah dipanggil. Semua saling mengajak. Tidak usah diperintah, semua saling tahu.  Seperti itu tradisinya.

Kami menyebutnya “tulun-tali, pohe-pore”. Membantu karena memang itu dibutuhkan. Lahir dari rasa kekeluargaan yang begitu tinggi. Bahwa keluarga yang meninggal adalah keluarga kami juga.

Namun cerita nya bisa jadi lain. Ketika ada kematian, tenda jadi sudah disewa. Berikut perlengkapan ini-itu. Dengan tenda jadi, semua sudah beres. Tidak butuh lagi banyak orang. Cukup dari yang menyewakan. Semua satu paket. Tenda dengan para pemasangnya.

Yang mau datang membantu tidak jadi datang. Merasa tidak dibutuhkan. Keluarga duka kesepian, merasa tidak lagi ada orang datang menghibur.

Cerita lainnya. Seorang anak, memaksa orang tuanya untuk sewa tenda jadi pada hari Komuni Pertamanya. Komuni Pertama bagi seorang anak dalam tradisi Gereja Katolik di Lamaholot adalah hajatan besar. Sang anak berpikir tidak mau kalah dari teman-temannya yang lain. Ingin sama memasang tenda jadi. Walau harga sewa jadi taruhan.

Ciri benderang dari kapitalisme adalah ekonomi pasar. Permintaan dan penawaran ditentukan pasar. Ada kebutuhan laten yang diciptakan. Kebutuhan laten adalah kebutuhan yang baru ada atau muncul ketika barang disediahkan. Ketika barang sudah ditawarkan, kapitalis menciptakan permintaan. Ketika kebutuhan sudah tercipta, harga bisa dimainkan. Harga terbentuk oleh pasar. Pasar, dengan permintaan penawaran,  ada ditangan oleh kapitalis.

Kapitalis, hari ini menciptakan barang, sekaligus membuat orang membutuhkan barang tersebut. Dalam situasi ini, yang menang selalu pasti kapitalis. Konsumen kalah dua kali. Pertama dibuat butuh dan akhirnya menggunakan barang yang disediahkan. Kalah lagi oleh harga yang ditentukan penyedia barang tersebut.

Kapitalisme membawa serta sifat konsumtif. Sifat ini sengaja diciptakan melalui barang yang disediakannya. Dalam sifat yang konsumtif terdapat jiwa hedonis. Mengejar  kesenangan itu yang utama.

Selain hedon, sifat konsumtif juga membawa serta materialistis. Menganggap  bahwa bisa menyewa tenda jadi yang mahal lebih ‘keren’ dari pada tenda bikinan sendiri. Kebanggaan berdasarkan ukuran materi. Seseorang, dengan materi yang lebih ditangannya, mengukur mampu mebeli apapun,bisa jadi tidak lagi butuh (bantuan) orang lain. Menjadi individualistis.

Ketika sifat individualistis, menjadi bagian dari dialektika interaksi didalam masyarakat, maka lambat laun bisa dianggap sebagai bagian dari masyarakat tersebut. Kohesi social seperti ini bisa memperkuat sifat individualistis. Interaksi social dengan menitik beratkan sifat-sifat seperti ini adalah bahaya besar bagi tatanan nilai gemohing yang ada dalam masyarakat Lamaholot.

Kontruksi social masyarakat Lamaholot yang dibangun atas prinsip gemohing lambat laun bisa tergeser oleh pola interaksi social yang didasari oleh sifat individualistis. Sebab bagaimanapun konstruksi social sebuah masyarakat terbagun oleh pemaknaan massa terhadap peristiwa social yang terjadi dalam masyarakat itu.

Ketika kematian, dengan semangat gemohing, tenda bisa didirikan beramai-ramai, ada orang datang membantu. Terpal untuk tenda, dan kursi memang dari persewaan, tapi masih banyak orang yang terlibat membantu. Ada yang bisa dilakukan oleh banyak orang. Saling membantu selayak satu keluarga besar.   “Pohe-gemohe”, memperkuat nilai warisan leluhur.

Jika anak-anak kita terpapar dari usia dini dengan sifat-sifat konsumtif, hedon, dan individualistis, bagaimana masa depan nilai gemohing?

Bukan soal tenda jadi sebagai benda. Atau usaha produktif masyarakat dalam bentuk sewa tenda jadi. Timbang tulisan ini lebih pada bagaimana membumikan semangat gemohing, atas dasar nilai ‘tulun-tali, pohe pore’ dalam setiap interaksi social masyarakat Lamaholot.

Adalah hak asasi setiap manusia untuk menjadi sejahtera. Lewat usaha-usaha produktif. Sama seperti hak setiap orang untuk mempertahankan warisan nilai-nilai luhur yang membentuk masyarakat tempat ia ditumbuh-besarkan.

Maka tantangan paling besar setiap orang Lamaholot adalah bagaimana membangun usaha produktif untuk kesejahteraannya.  Usaha produktif yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip gemohing. Bagaimana membumikan nilai ‘tulun tali-pohe pore’ dalam usaha-usaha produktif setiap individu orang Lamaholot. (Ilustrasi Foto : Kopong Siba Paulus Tokan)

Sebarkan Artikel Ini:

6
Leave a Reply

avatar
6 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme […]

trackback

[…] Baca Juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme […]

trackback

[…] Ayo Baca Juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme […]

trackback

[…] Baca juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme […]

trackback

[…] Baca juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme […]

trackback

[…] Baca juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme […]