Eposdigi.com – Semua pesta harus dirayakan dalam kemewahan, tetapi bukan kemewahan finansial, melainkan kemewahan eksistensial.
Demikian argumen pokok dalam ๐ฐ๐ ๐ป๐๐๐ ๐พ๐๐๐ ๐๐๐ ๐พ๐๐๐๐ : ๐จ ๐ป๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐ญ๐๐๐๐๐๐๐๐ (terj. Richard and Clara Winston, South Bend: St. Augustineโs Press, 1999) karya filsuf Jerman Josef Pieper.
Bertolak dari perspektif tersebut, semua jenis pesta selalu berkaitan dengan eksistensi manusia dan dengan demikian, merobohkan tembok dikotomi yang kita bangun selama ini untuk mendefinsikan antara pesta mewah dan pesta sederhana atau pesta elite dan pesta rakyat.
Hal ini juga pada akhirnya membuat kita sadar, tidak benar mengatakan bahwa pesta ulang tahun tidak lebih meriah daripada pesta nikah, atau merayakan kelahiran seekor kucing dianggap bukan pesta, atau bahkan menilai bahwa budaya pesta di NTT misalnya sebagai penyebab sulitnya mengentas kemiskinan.
Baca Juga :ย Benarkah Banyak Anak Menjadi Penyebab Tingginya Angka Kemiskinan dan Stunting di NTT?
Tidak sesederhana dan senaif itu.
Jika Anda moralis, yang sulit menerima cara orang-orang di kampung bersenang-senang, sebaiknya tulisa ini tidak usah dibaca!
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ฎ, ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐๐ฎ๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฒ๐ธ๐๐ถ๐๐๐ฒ๐ป๐๐ถ ๐ฎ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐ต ๐ฝ๐ฒ๐๐๐ฎ
Tidak terlalu tepat mengatakan bahwa pesta itu sekadar ajang untuk bersenang-senang dan tidak serius. Mengapa demikian? Ya, karena pesta memampukan manusia menemukan cara bersenang-senang dalam menghadapi absurditas.
Ini tentu saja hal yang serius dan dipelajari oleh mahasiswa kelas filsafat eksistensialisme! Mohon agar pemahaman Anda tidak dikacaukan oleh pembedaaan ini: ๐ฉ๐ข๐ท๐ช๐ฏ๐จ ๐ง๐ถ๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ณ๐ช๐ฐ๐ถ๐ด๐ญ๐บ dan ๐ฉ๐ข๐ท๐ช๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ณ๐ช๐ฐ๐ถ๐ด ๐ง๐ถ๐ฏ.
Dalam โ๐ฉ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐ซ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐: ๐ฏ๐๐ ๐ป๐ ๐ท๐๐๐๐ ๐ณ๐๐๐ ๐จ๐ ๐ฌ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐โ (Aeon.co, Juli 2019), Skye C. Cleary, penulis ๐๐น๐ช๐ด๐ต๐ฆ๐ฏ๐ต๐ช๐ข๐ญ๐ช๐ด๐ฎ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐๐ฐ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ต๐ช๐ค ๐๐ฐ๐ท๐ฆ (2015) mencatat bahwa kaum eksistensialis memiliki reputasi sebagai makhluk yang hidupnya suram dan penuh dengan kecemasan, terutama karena menganggap keberadaan (eksistensi) itu tidak berguna.
Meskipun demikian, lanjut Cleary, ada dua eksistensialis yang tahu bagaimana caranya bersenang-senang dalam menghadapi absurditas, yakni Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre.
Baca Juga:ย Gubernur NTT: Festival Pariwisata Harus Berdampak Terhadap Ekonomi Masyarakat
Dua orang ini menghabiskan banyak waktu dengan berpesta: mengobrol, minum, menari, tertawa, mencintai, dan mendengarkan musik dengan kawan-kawan, dan inilah aspek dari pendirian filosofis mereka yang paling fundamental dalam hidup.
Mereka bukan hanya filsuf yang kebetulan menikmati pesta, tetapi juga karena bagi mereka, pesta adalah ekspresi dari filosofi mereka untuk merebut kehidupan.
Dari dua filsuf sekaligus sepasang kekasih yang โanehโ di atas, kita perlu belajar bahwa orang yang kuliah filsafat, matematika, fisika, hukum, arsitektur, kimia, dan ilmu sosial humaniora, perlu juga tahu menari, bermain bola, dan minum tuak.
Disebut demikian karena bagi de Beauvoir misalnya, filsafat harus dijalani dengan lincah dan pesta menjadi medan di mana orang dapat berekspresi secara penuh, tidak menahan diri dari semua yang ditawarkan kehidupan.
Demikian juga bagi Sartre yang menyukai alkohol itu. Filsuf tersebut merasa bahwa keseriusan akan membuat dunia menjadi beku, apalagi dijepit dengan aturan yang mencekik kebebasan dan kreativitas.
Baca Juga:ย NTT : Nusa Toleransi Tinggi
Mengutip Seneca dalam meditasinya yang singkat ๐ถ๐ ๐ถ๐๐ ๐จ๐๐, mereka berusaha agar tidak menghabiskan masa tua dengan dengan penyesalan dan keputusasaan karena kehilangan janji, kesempatan, masa muda yang gemilang; dan keputusasaan memikirkan kematian yang semakin dekat.
Singkatnya, sama seperti Nietzsche, mereka menyukai Tuhan yang tahu mengentakan kaki di lantai dansa.
๐๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ, ๐ฝ๐ฎ๐ฟ๐๐ถ๐๐ถ๐ฝ๐ฎ๐๐ถ ๐๐ผ๐๐ถ๐ฎ๐น ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐ฝ๐ฒ๐๐๐ฎ
Ini berbeda dengan pembagian kerja versi neoliberalisme di mana masing-masing sektor tidak saling berkaitan atau berjalan sendiri-sendiri. Ideologi ini membuat program Dinas Pendidikan tidak berkaitan dengan Dinas Pariwisata dan Dinas Pertanian.
Sebaliknya, dalam pesta, semua orang berpartisipasi secara aktif baik sebagai sukarelawan atau peserta (bandingkan tarian tradisional yang selalu kolektif, melibatkan orang banyak).
Partisipasi ini memberikan peluang untuk transaksi sosial, membangun hubungan dan pengembangan jejaring sosial, yang pada gilirannya berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan pengembangan modal sosial.
Bandingkan pesta sekolah atau pesta arisan di sejumlah daerah di Pulau Flores yang coba mengorganisasi beragam kebutuhan subkelompok komunitas yang berbeda.
Bahkan, boleh jadi kita sampai kuliah justru karena ada pesta semacam ini, kalau bukan karena keluarga menjual tanah atau hewan peliharaan. Bersambungโฆ
Foto : Tari Perang “Hedung” dari akun facebook Iwan Puken / Penulis adalah Mahasiswa Magister Sosiologi UGM asal Flores Timur – NTT
[…] Baca Juga:ย Ketika Masyarakat NTT Berbicara tentang Pesta (Bagian Pertama) […]
Adakah tulisan ilmiah tenyang ini? Jurnal, Prosiding atau Thesis yang bisa dishare sebagi referensi