Eposdigi.com – Nyaris 75 tahun sudah, kedaulatan bangsa dan negara kita atas cakrawala, bumi, dan segala sesuatu yang terkandung di rahim ibu pertiwi, tergenggam dalam kepalan tangan kita. 75 tahun juga kita santer mendengar kemahsyuran nama Pancasila.
Pancasila. Sebuah kata yang tentu tidaklah asing buat kita. Sejak duduk di bangku pendidikan dasar, kita pasti sudah berkenalan dengan Pancasila. Kelana panjang yang kita lewati selama belasan tahun di bangku pendidikan agaknya telah sedikit banyak menyingkap rentetan pertanyaan yang meletup-letup di kepala kita tentang Pancasila.
Tidak cuma lewat pintu-pintu sekolah, dalam keseharian hidup kita pun, acapkali kita mendengar di sana-sini. Bagaimana Pancasila dielu-elukan. Dikumadangkan sebagai falsafah hidup kita yang adalah tuan rumah atas tanah air kita sendiri.
Kendati pun tak jarang tiang kokoh berdirinya Pancasila menjadi sasaran dari mereka yang tak menghendaki kemesraan antara Pancasila dan ibu pertiwi.
Walaupun telah diperkenalkan dengan sosok Pancasila sejak masih berusia anak-anak, tak banyak dari kita yang benar-benar memiliki keterkaitan dan keterikatan lahiriah dan batiniah dengan Pancasila.
Seakan Pancasila adalah sesuatu yang eksklusif bagi kita, sehingga untuk mengalami dan mengamalkan Pancasila, tidak semua kita dapat melakukannya.
Baca Juga: Menggali Akar Demokrasi Desa dari Tanah Leluhur
Benarkah demikian? Bukankah Pancasila adalah milik kita, harta berharga yang menjadi warisan tak ternilai dari generasi ke generasi? Bukankah Pancasila adalah rumah bagi kita untuk memulangkan segala gundah di kepala dan segenap resah di dada?
Maka semestinya membicarakan Pancasila tak cukup di ruang-ruang diskusi, apalagi jika intensi dalam pembicaraan cuma untuk mempertontonkan kedahsyatan retorika, tanpa konsistensi untuk eksekusi.
Mengurai Pancasila juga tak cukup di mimbar-mimbar kampanye, untuk semata menggondol popularitas lewat atensi publik yang lekat mengarah kepada dia yang mengaku mati-matian menegakkan tiang Pancasila di negeri ini.
Membahas Pancasila juga tak cukup lewat diksi yang berbaris rapi dalam setiap narasi, jika tak dibarengi dengan aksi dan bakti.
Di era disrupsi 4.0 ini, pertanyaan besar menampakkan diri di sanubari kita, dengan atau tanpa kita sadari. Eksistensi Pancasila sebagai representasi dari merahnya darah kita dan putihnya tulang kita seakan berada di ujung tanduk.
Ada puluhan, ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan pasang mata dengan aruna yang menyala-nyala siap menghardik Pancasila dari takhtanya.
Disrupsi hari ini yang mendatangkan pelbagai dampak dalam kehidupan kita seakan menjadi alarm yang serentak mengaktifkan sirine tanda bahaya bahwa riwayat Pancasila sedang dipertaruhkan.
Baca Juga: Membangun Karakter Berbasis Budaya Lokal
Kita memang tak bisa seratus persen mengimani dan mengamini ancaman yang datang dari segala penjuru mata angin untuk mengusik Pancasila.
Namun kita pun tak bisa menutup mata dan seolah membiarkan sekujur tubuh kita tak punya indra untuk merasakan bahaya yang tengah mengintai itu.
Lalu sebagai kawula muda, yang menjadi episentrum penentu arah masa depan negeri, kemanakah hendak kita labuhkan pelayaran bangsa ini? Sementara tanda darurat semakin hari nampaknya semakin ngeri.
Dermaga manakah yang mampu memberikan jaminan keselamatan bagi kita pada masa yang akan datang? Tentu kita tidak bisa sekadar berpangku tangan, berharap hujan akan datang di tengah kemarau yang mahapanjang.
Tak ada jaminan bahwa awan akan menjadi kelabu dan rinai air yang berguguran dari langit akan bersatu dengan tanah dan debu. Hari ini, wajah Pancasila tengah pucat pasi. Tampangnya tak lagi rupawan, bahkan nyaris kehilangan wibawa.
Dan jika kita terus membiarkan hal ini terjadi, bukan hanya Pancasila yang akan kehilangan muka, tapi ialah kita sendiri sebagai bangsa dan negara Indonesia yang akan kehilangan rupa.
Disrupsi dewasa ini seolah memiliki “invisible super power” yang berduet apik dengan kepentingan ekonomi dan politik.
Sebut saja bagaimana hegemoni media, terutama media berbasis digital, termasuk media sosial memunculkan alat transaksi baru yang kita sebut dengan likes, viewers, dan subscribers. Banyak orang kemudian tertarik untuk unjuk gigi dalam ruang-ruang maya yang ada.
Baca Juga: Apa Itu Survey Karakter dan Bagaimana Survey Karakter Dilakukan
Inilah disrupsi masif yang semestinya dapat kita manfaatkan dengan optimal sebagai upaya membumikan nilai-nilai Pancasila di negeri tercinta ini. Pembuatan dan penyebaran konten-konten kreatif dalam bentuk tulisan, audio, visual, maupun audio visual yang mengandung representasi nilai-nilai Pancasila dapat menjadi kontribusi kita sebagai kaum milenial hari ini.
Mengandalkan kekuatan “invisible super power”, kita mampu melawan potensi ancaman yang lahir dari disrupsi industri digital ini dengan senjata yang sama, yakni disrupsi industri digital itu pula.
Contoh sederhana, kita dapat membuat produk video yang mengandung cerita inspiratif. Berupa toleransi antar umat beragama. Cerita kemanusiaan lewat aksi-aksi kemanusiaan. Pemasangan internet desa.
Atau pun pembuatan podcast tentang cerita patriotik seorang bidan desa di daerah pelosok. Perjuangan para guru di daerah terpencil. Juga tentang seorang kepala desa berusia muda yang membangun desanya.
Sekali lagi, dengan cara sederhana ini, kita telah turut berkontribusi dalam upaya mengabadikan takhta Pancasila di negeri kita ini.
Melawat Pancasila tanpa merawatnya adalah sebuah kesia-siaan. Tak ada niscaya yang didapatkan manakala kita tak cukup berani untuk mendatangkan nyali dalam perjuangan kita membumikan Pancasila di negeri sendiri.
Jika mencintai adalah meleburkan diri dengan yang dicintai, maka mencintai Pancasila ialah mendarahdagingkan seluruh cinta kepada nusa dan bangsa ini ke dalam diri kita, sebagai anak yang lahir dengan kemolekan warisan zamrud khatulistiwa.
Inilah saatnya bagi kita, para orang muda dalam mendedikasikan energi untuk negeri.
Kita beragam. Tak perlu seragam. Tapi cinta untuk Indonesia harus tetap akbar. Tak akan kelar. Tak akan bubar.
(Foto : pa-surakarta.go.id)
Konten ini juga dapat diikuti melalui Akun Youtube milik penulis : klik —->: Katarina Kewa Sabon Lamabelawa
Baca Juga Tulisan Katarina Kewa Sabon Lamablawa lainnya : Meet Vira, Mahasiswi Indonesia di Prancis “What did You Do During Lockdown?”* – Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan* – “Marina Ungu”, Sex Education dan Penghormatan pada Perempuan – Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan?
[…] Baca Juga: Bagaimana Kawula Muda Membumikan Pancasila di Bumi Nusantara? […]
[…] Baca Juga: Bagaimana Kawula Muda Membumikan Pancasila di Bumi Nusantara? […]