(Masih dalam rangka) Kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Perempuan
Eposdigi.com – SAS, remaja putri 17 tahun, atlit senam artistik berprestasi. Ia tengah menjalani pelatnas untuk Sea Games di Kediri. Niatnya berjuang membela kehormatan Negara pupus. Ia dipulangkan pelatihnya.
Kepada keluarga, asisten pelatih mengungkapkan alasan dipulangkannya SAS. Selain alasan indisipliner, SAS dipulangkan karena virginitasnya.
Kompas.com (29/11/2019) menulis bahwa keluarga berusaha membuktikannya dengan melakukan tes di rumah sakit Polri di Kediri pada 20 November 2019. Hasil tes itu membantah versi pelatih. Sayang hasil tersebut sekali lagi ditolak oleh pelatihnya.
Oleh keluarga, tidak masalah SAS dikeluarkan dari Pelatnas. Yang sungguh membebani SAS dan Keluarga adalah tuduhan terkait virginitas.
Baca Juga: 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Perempuan
Tidak sulit menemukan berbagai berita mengenai tes virginitas untuk masuk sebuah institusi. Bahkan berbagai media utama negeri ini menulis tentang tes virginitas pada perempuan sebagai syarat masuk institusi resmi Negara.
Dan tes-tes semacam ini tidak berhubungan dengan kompetensi seorang perempuan pada bidang tersebut. Apa hubungan antara virginitas SAS dengan senam artistic yang digelutinya?
Kasus lain mengenai virginitas, seperti diberitakan kompas.com (30/11/2019) yang pernah terjadi diantaranya tes virginitas untuk masuk SMP dan SMA di Provinsi Jambi pada tahun 2010, Uji tes keperawanan di Kabupaten Prabumulih untuk anak SMA tahun 2013.
Tes Keperawanan sebagai syarat kelulusan siwa di Jember – Jawa Timur tahun 2015, tes virginitas untuk calon Polisi Wanita tahun 2014, dan tahun 2015 tes keperawanan untuk calon tentara.
Tes virginitas selalu saja dikaitkan dengan moralitas. Dalam dunia medis, seperti yang dikutip tirto.id(02/07/2018), dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG mengungkapkan bahwa tidak ada istilah perawan. Jika seorang dokter diminta memeriksa, maka seorang dokter hanya boleh mendeskripsikan bentuk hymen (selaput darah).
Fakta ilmiah dan medis, tulis tirto.id lebih lanjut, meyatakan bahwa tidak ada korelasi antara selaput darah dengan keperawanan. Karenanya pemeriksaan selaput darah dengan tujuan mengetahui “keperawanan” merupakan pelanggaran standard medis.
Yang penting diketahui tidak semua perempuan memiliki selaput darah. Ada yang terlahir tanpa hymen. Ada yang memilikinya namun sangat rapuh. Aktivitas fisik ringan seperti berlari, bersepeda atau senam bisa dengan mudah membuatnya robek.
Ada juga yang memiliki selaput dara yang tebal dan elastis. Penetrasi berulang-ulangpun, bentuknya tetap utuh.
Tes keperawanan yang kerap dilakukan dengan memasukan jari tentu saja melecehkan perempuan yang menjalaninya. Menyakitinya secara fisik dan psikologis. Sementara tes-tes tersebut itu tidak menggambarkan dan menentukan moralitas seorang perempuan.
Keperawanan sebagai standard moral jelas ego patriarki. Maskulinitas yang menempatkan sosok laki-laki serba superior dalam berbagai kostruksi social dan budaya yang kemudian mensubordinasi perempuan mesti dipertanyakan hari ini. Ego patriarki menempatkan dan sekaligus membebankan standard moralitas pada tubuh perempuan.
Sayangnya, tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan sendiripun mengamini seolah-olah berbagai kriteria dan kategori tentang moralitas melekat pada tubuh perempuan. Banyak kaum perempuan menyalahkan perempuan korban pelecehan atau kekerasan seksual. Mereka berdalil perempuanlah yang tidak cukup menjaga dirinya (baca: tubuhnya).
Baca Juga: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan-Anak Tidak Cukup Diselesaikan Secara Adat
Konstruksi social tentang moralitas pada tubuh perempuan ini memaksa semua orang; laki-laki dan perempuan; menerima nya sebagai kebenaran umum yang tidak boleh dipertanyakan.
Kebenaran umum ini kemudian menarik tubuh perempuan yang secara kodrat adalah milik pribadi yang bersangkutan menjadi milik publik.
Winanti Praptiningsih dalam jurnalperempuan.org (02/01/2015)menulis “ Persoalan keperawanan yang sejatinya kemerdekaan milik perempuan harus ditarik menjadi persoalan moralitas public. Kemudian hal ini diikat dalam aturan-aturan kelembagaan public termasuk dalam hal ini adalah kuasa Negara.”
Aturan-aturan seperti ini, lanjut Winanti, adalah bukti nyata dari represi atas tubuh perempuan. Cara berpikir seperti ini jelas salah dan tak berkeadilan. Sikap dan cara berpikir seperti ini harus dihilangkan. Agar dimensi tubuh perempuan lebih dihargai sebagai martabat manusia yang utuh. Ciptaan Allah dari citra-Nya sendiri.
Kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Prempuan, yang dimulai pada 25 November hingga 10 Desember harus menjadi gerakan bersama. Konstruksi social dan budaya yang mensubordinasikan perempuan hanya bisa diruntuhkan jika dilakukan oleh banyak orang.
Nilai baru tentang penghormatan kepada perempuan sebagai makhluk ciptaan yang utuh, dengan segenap kemanusiaan dalam dirinya harus menjadi perjuangan bersama. Dan ini adalah tanggung jawab semua orang.
Ketika semua orang menerima bahwa surga berada ditelapak kaki Ibunya, ia tentu menghormati semua perempuan tanpa kecuali. Ia tentu menghormati harkat dan martabat semua perempuan sebagai pribadi, seperti pribadi Ibunya.
[…] Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Baca Juga Tulisan Katarina Kewa Sabon Lamablawa lainnya : Meet Vira, Mahasiswi Indonesia di Prancis “What did You Do During Lockdown?”* – Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan* – “Marina Ungu”, Sex Education dan Penghormatan pada Perempuan – Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Ayo Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Ayo Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]
[…] Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan? […]