Predator Seksual Anak Merajalela, Kita Kudu Apa?

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Belum lama, ini kita diberondong dengan sejumlah berita mencengangkan di media tentang skandal kekerasan seksual terhadap anak. 7 Juli 2020, seorang bocah perempuan berusia 5 tahun di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, ditemukan tewas di tengah parit persawahan.

Pelaku yang menyebabkan korban merenggang nyawa itu, adalah pasangan suami istri yang tinggal tak jauh dari rumah korban. Sebelum menggasak kalung dan gelang yang dikenakan korban, bocah malang tersebut sempat dicabuli hingga dua kali oleh salah seorang pelaku, saat istrinya sedang keluar.

Geser sedikit ke halaman belakang, kasus menghebohkan datang dari Kabupaten Lampung Timur. NV, seorang anak perempuan berusia 14 tahun menjadi target pencabulan oleh DA, salah seorang anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.

 Ironisnya, NV yang sebelumnya pernah menjadi korban pencabulan sengaja dititipkan oleh orang tuanya pada lembaga tersebut yang dipandang mampu memberikan perlindungan dan pendampingan bagi korban.

Semakin jauh ke hari-hari sebelumnya, awal Maret lalu, kita dibuat terperangah dengan tragedi pembunuhan seorang bocah A yang masih berusia 5 tahun, di Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan?

Jenazah korban sengaja disembunyikan di lemari, oleh pelaku berusia 15 tahun yang masih duduk di bangku SMP, yakni NF. Tentu saja kabar ini sangat menggegerkan. Bagaimana tidak, usia NF yang masih belia terbilang tak masuk akal untuk melancarkan aksinya.

Apalagi dalam sebuah pengakuan kepada pihak berwenang, NF menyatakan puas telah menghabisi nyawa seorang anak. Usut punya usut, dua bulan berselang, NF diketahui tengah mengandung. Usia kandungannya yang memasuki 14 minggu kembali mendatangkan keterkejutan bagi masyarakat.

Yang lebih menohok lagi, NF rupanya pernah menjadi korban kebejatan orang terdekatnya, yakni kedua paman dan kekasihnya.

Yang terbaru ialah perkara eksploitasi seksual yang dilakukan seolah warga negara Perancis, yakni FAC, yang melibatkan sebanyak 305 anak. Anak-anak tersebut diiming-imingi akan dijadikan model oleh pelaku.

Ketiga kasus di atas hanya sedikit dari sekian banyak kasus kekerasan yang menimpa anak-anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2019, adda sebanyak 21 kasus kekerasan seksual yang menyeret 123 korban di institusi pendidikan.

Sekali lagi, hanya di institusi pendidikan. Kasus-kasus itu pun yang berani dilaporkan dan terekam publik. Tak menutup kemungkinan, masih banyak kasus lain yang sengaja dikubur dalam-dalam.

Dari ke-21 kasus tersebut, sebanyak 13 kasus terjadi di lingkungan Sekolah Dasar (SD), 5 kasus di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sisanya, 3 kasus di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Temuan lain dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa kasus kekerasan seksual kepada anak cenderung meningkat sejak tahun 2016. Pada 2016, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak berada pada angka 25.

Baca Juga: Prostitusi Online, Media Massa dan Degradasi Moral

Angka tersebut terbilang cukup sedikit dibandingkan dengan temuan pada tahun 2017 yang mencapai 81 kasus. Bukannya melandai, kasus tersebut justru meroket tajam pada 2018 hingga menembus 206 kasus, yang memuncak pada 2019 silam, yaitu sebanyak 350 kasus.

Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi secara langsung, bahkan KPAI menerima puluhan sampai ratusan pengaduan kejahatan seksual online terhadap anak, setiap tahunnya sejak 2014, yang mana tahun tersebut mencatatkan 53 kasus aduan.

Pada 2015, jumlah aduan menanjak hingga bertengger pada 133 kasus. Kendati sempat menurun pada 2016 yang merangkum 112 kasus, kurva pengaduan semakin meninggi kembali pada 2017 yang menerima 126 aduan.

Lagi, angka tersebut berkurang pada 2018 yang menunjukkan sebesar 116 kasus. Tak cuma di Indonesia, wajah kekerasan seksual juga menghantui anak-anak di hampir seluruh penjuru bumi.

Menurut sebuah data statistik nasional Amerika Serikat sebagaimana dilansir oleh Alexandra House pada 2018 silam, 1 dari 4 perempuan dan 1 dari 6 laki-laki setidaknya pernah mengalami pelecehan seksual di bawah umur 18 tahun.

Kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, oleh siapa saja pelakunya. Tak tanggung-tanggung, rumah sekali pun yang seyogyanya menjadi tempat paling aman buat anak-anak untuk berlindung, justru bisa jadi tempat paling mengerikan.

Dalam Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019 yang dirilis Komnas Perempuan, terdapat 770 kasus kekerasan seksual inses (hubungan sedarah) dari total 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.

Di Samarinda, Kalimantan Timur, seorang pria bernama Priyono Budi dibekuk aparat kepolisian atas dugaan pemerkosaan terhadap putri kandungnya yang baru menginjak usia ke-13 tahun. Pemerkosaan yang dilakukan sebanyak 21 kali tersebut disertai pula dengan penganiayaan, bahkan ancaman.

Anak-anak memang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Bagaimana tidak, pada usia pra pubertas, seorang anak tentu saja belum memiliki kematangan pemahaman tentang apa itu kekerasan seksual.

Ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar, sekitar kelas 2 atau 3, pada waktu itu sedang trend aksi “ramas susu” sebagai salah satu bentuk permainan di kalangan anak-anak seusia kami.

Baca Juga: Degradasi Karakter Pejabat Publik dalam Melayani

Sistem permainan mengharuskan salah seorang anak untuk menjadi penjaga, sementara yang lain akan menjadi semacam target untuk dikejar. Apabila merasa terdesak, sang target dapat ‘membekukan’ diri seolah sedang menjadi patung, dengan melafalkan kode sebagai mantra tertentu.

Namun apabila ia tidak sedang menjadi patung dan sang penjaga berhasil “meramas susunya”, maka ia dinyatakan kalah, dan harus menjadi penjaga.  Jangan mengira adegan “ramas” itu akan sama seperti yang biasa disajikan oelh film-film porno.

Yang disebut “ramas susu” adalah yang berhasil menjamah dada atau susu tadi, entah laki-laki, atau perempuan. Jadi “meramas” yang dimaksudkan sesungguhnya adalah menjamah seketika.

Pada kesempatan lain, tak jarang kami mendapati anak-anak seusia kami atau lebih tua beberapa tahun dari kami, yang belajar di SMP, mengumpatkan nama-nama alat reproduksi laki-laki dan perempuan. Semuanya dilakukan sebagai bentuk candaan.

Siapa yang mengira bahwa ternyata hal tersebut adalah bagian dari pelecehan seksual?

Menjadikan seks sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan di depan umum memang bukan sesuatu yang baru bagi kita. Sejak usia anak-anak, kita cenderung dijejali aturan paten bahwa haram hukumnya untuk mencari tahu hal-hal yang berhubungan dengan seks, sebelum usia kita mencapai “siap”.

Bahkan tak jarang, apabila ada orang dewasa yang entah sengaja maupun tidak, menunjukkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas di depan anak-anak, maka orang tersebut akan langsung ditegur oleh orang di sekitarnya, dengan dalil “tidak baik bicara begitu di depan anak-anak”.

Intinya, membicangkan seks atau seksualitas di hadapan anak adalah kerjaan amoral – kurang ajar.

Kekerasan seksual, sebagaimana bentuk kekerasan lainnya, tidak lain merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kemerdekaan setiap individu atas dirinya, tubuhnya, hidupnya, pun pikirannya, dirampas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Baca Juga: Rambut Rebonding, Celana Umpan dan Martabat Perempuan Adonara

Apalagi jika korbannya adalah anak-anak tak berdaya, entah secara fisik maupun psikis. Tak jarang, kekerasan seksual yang dibarengi dengan beragam rupa ancaman memang membuat korban benar-benar kehilangan nyali untuk angkat bicara.

Padahal nyatanya, kekerasan seksual yang dialami oleh seorang anak cenderung membekaskan luka berkepanjangan yang akan terus membayanginya, bahkan dapat mendorongnya untuk berbuat kejahatan kepada orang lain.

Selain NF yang membunuh seorang anak di Jakarta, awal pekan ini, sebuah berita mengerikan tentang predator anak kembali mencuat. Seorang pria 23 tahun di Sukabumi diketahui telah melecehkan sekitar 30 anak perempuan dengan modus les musik gratis.

Dalam pemeriksaan, pelaku menuturkan bahwa aksi bejatnya itu terdorong oleh luka masa lalu yang mana ia sendiri pernah mengalami kekerasan seksual saat berusia 11 tahun.

Meski belum ada bukti yang signifikan bahwa semua korban kekerasan seksual pada usia anak-anak akan menjadi penjahat di kemudian hari, namun fakta ini tak boleh diabaikan begitu saja.

Studi lain dari Rid of My Disgrace oleh Justin dan Linsey Holcomb, di Amerika Serikat, sekitar 90% wanita yang terlibat dalam prostitusi pernah mengalami pelecehan seksual ketika masih anak-anak. Mengerikan, bukan?

Badan Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization) sendiri secara umum mengemukakan bahwa seseorang yang pernah mengalami pelecehan seksual 3 kali lebih banyak beresiko mengidap depresi, 4 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri, dan 6 kali lebih banyak mengalami stres pasca trauma.

Masih banyak studi lain yang menunjukkan bagaimana anak penyintas kekerasan seksual melalui hari-harinya pasca tragedi, semisal kecenderungan untuk menutup diri dari luar, menjadi anti sosial, menghukum diri sendiri karena rasa bersalah yang berlebihan, dan sebagainya.

Hari ini, seakan tak ada satu tempat pun di bumi yang aman bagi anak-anak. Saya tidak ingin panjang lebar bicara soal regulasi.

Toh selama regulasi cuma dibuat dengan intensi menjerat pelaku, tanpa keseriusan melindungi korban, maka tak akan pernah ada habisnya sejarah kekerasan seksual terhadap anak.

Bahkan di tempat rehabilitasi yang semestinya menjadi tempat paling mujarab bagi penyintas anak untuk kembali bangkit, justru sudah berganti wajah. Wacana perlindungan anak bak materi kampanye yang habis cerita setelah masa tenang.

Harus tunggu ada korban, baru kita mulai menyoroti sana-sini, mencari-cari siapa yang harusnya paling bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan kenyamanan anak-anak.

Jika pendidikan seks masih dianggap sebagai sesuatu yang ganjil untuk diperkenalkan sejak dini kepada anak-anak, maka bagaimana anak akan mengerti bahwa ia memiliki hak untuk menolak manakala ada bagian tubuhnya yang disentuh orang lain?

Baca Juga: Membangun Karakter Berbasis Budaya Lokal

Jangan seperti generasi saya yang karena tidak tahu menahu bahwa “meramas susu” sekalipun cuma sekilas menjamah tanpa berlama-lama meninggalkan jejak, malah menganggap bahwa itu adalah permainan yang menyenangkan.

Pun kebiasaan mengumpat yang dipandang sebagai bahan tertawaan. Apalagi di era keterbukaan informasi seperti ini, duh, predator seks dan pedofil bisa saja mengintai anak-anak lewat media sosial, seperti halnya Cinta Kuya, anak sulung presenter Uya Kuya yang baru-baru ini dilecehkan oleh netizen melalui media sosial.

Bagaimana pun, serangkaian proteksi terhadap anak tetap saja kalah jika predator seks anak masih berkeliaran dan dengan mudahnya melancarkan aksinya, dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaannya.

Apalagi kalau orang-orang yang paling dihindari itu adalah orang-orang terdekat. Apa yang perlu dibuat? Saya tidak akan menjawabnya. Biarlah ini menjadi pertanyaan bagi kita untuk masing-masing berefleksi dan mencari solusi. Foto: breakingnews.co.id

Sebarkan Artikel Ini:

1
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Ayo Baca Juga: Predator Seksual Anak Merajalela, Kita Kudu Apa? […]