Eposdigi.com – Talking about sexuality, orang-orang sepertinya sangat responsif. Ada selebriti yang posting foto dengan pakaian yang minim dan terbuka, dikatain perempuan sundal. Khalayak berlomba-lomba melontari hujatan.
Seolah akan ada nominasi atau penghargaan tertentu yang kelak akan dimenangkan. Apabila berhasil menghujati target dengan kuantitas dan kualitas yang entah siapa yang mengukurnya. Itu baru soal pakaian.
Belum lagi kalau ada video yang unsur seksualitasnya mencuat, seakan sosok yang ada dalam video tersebut menjadi tersangka utama yang wajib dihakimi secara massal. Ckckck. Apalagi kalau beraksi dalam film yang juga mengangkat sisi seksualitas. Dijamin, akan jadi bahan gibahan seluruh negeri.
Huft!
Jujur, beberapa hari belakangan ini, saya cukup terkejut dengan ramainya status para netizen di daerah saya yang ramai membahas soal “Marina Ungu”. Suddenly, I was trapped by rasa penasaran yang amat dalam.
Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan?
Beberapa status yang bertebaran di jagat maya turut mempertanyakan eksistensi “Marina Ungu” tersebut. Pun ada yang mengolok, menghujat, dan mencaci maki. Tidak laki-laki. Tidak perempuan. Sama saja.
Finally, I got it. Setelah menelusuri apa yang terjadi, saya akhirnya tahu apa yang ada di balik viralnya “Marina Ungu” tersebut. Well, first, I am speechless. But then, I try to figure it out.
Tidak munafik, siapa di antara kita, apalagi yang sudah mengalami pubertas, yang tidak punya sense of sexuality? Siapa? Normalnya, setiap kita pasti punya kan?
Di negeri ini, membicarakan seksualitas di hadapan publik memang acapkali dianggap tabu, Dinilai jorok. Dicap kotor. Tapi di balik semua itu, berapa banyak viewer video dengan unsur seksualitas di YouTube? Apakah jumlahnya lebih banyak dari video rohani?
I mean, kerap kali kita terburu-buru mencuci tangan seolah tidak pernah terlibat dengan sesuatu yang katanya “menjijikan” itu, padahal di belakang itu, bisa jadi kita adalah penikmat ulung. Let me take a deep breathe, guys.
Okay. Michael Foucoult once said, “ketika seksualitas mengalami represi, maka segala sesuatu yang berkaitan dengannya dapat dijadikan komoditas”. Sonde (tidak) heran mengapa banyak iklan yang memanfaatkan seksualitas untuk meraup perhatian pasar.
Entitas itu kemudian menjadi komoditas. Kita ramai-ramai menikmatinya. Tapi juga (sok) menghujatnya. Sebenarnya, apa yang salah? Apakah kita memang kekurangan sex education?
Baca Juga: Surat Dari Adonara; November 2019
Well. Selama ini memang wacana tentang seks senantiasa terbelenggu relasi kuasa tertentu. Dari kecil, kita bak diajarkan untuk tutup mulut dan tidak mengangkat wacana seks ke permukaan publik. Sex is privacy. Tapi toh hari ini, apa yang kita dapatkan?
Ramai orang menertawakan sesamanya yang “kadung” terlibat dalam sexual activity in public. Jesus, help! I lost my words. Sumpah! Saya menulis ini dengan dada yang sesak dan gemuruh yang berkecamuk.
Antara memendam amarah yang bisa meledak kapan saja. Bagaimana tidak? Netizen share dan menertawakan aksi “Marina Ungu” seolah ia adalah makhluk paling kotor, paling jahanam, paling bebal, dan paling tidak diinginkan di atas muka bumi ini.
Benarkah demikian? Why do we always judge book by its cover? I mean belum tentu cowok bertato itu brengsek. Belum tentu cewek pakai rok pendek itu murahan (please, don’t ever use this word). Belum tentu orang yang dari luar kelihatan brandalan, adalah benar-benar brandalan.
Belum tentu, guys.
Bukankah kita pun tak jarang tertipu oleh penampilan luar semata? Please, tolong jangan dengan mudah menyebarkan konten-konten yang tidak semestinya kita sebarkan. Sebelum masuk ke pernyataan umum, “seandainya kalau itu terjadi pada dirimu bagaimana?”
Baca Juga: Media dan Penghormatan Pada Perempuan
Coba kita lebih arif dalam bermedia sosial. Daripada share that content, alangkah lebih baik kita gunakan media sosial sebagai sarana untuk melakukan sex education. Itu lebih baik, bukan?
Oh iya, selagi kita masih menjatuhkan satu sama lain, baik lelaki, maupun perempuan, jangan pernah berharap bahwa kita akan menjadi manusia bebas seutuhnya, apalagi bebas menjadi diri sendiri.
Karena ketika kita benar-benar bebas menjadi diri sendiri, kita tidak akan terjebak atau terikat pada keinginan untuk menjudge other people as we are enough with our own self.
And last, but not least, untuk teman-teman yang selalu menganggap bahwa umpatan yang membawa-bawa alat vital, baik lelaki maupun perempuan, sebagai suatu lelucon, please!
Kita semua ada di atas muka bumi ini karena “barang” yang kalian tertawakan dan jadikan hal konyol itu. Berhenti menjadikannya sebagai objek lelucon tertentu. It’s not funny, gusy. It is not funny.
Be wise. Be fearless. Be shameless. Be true. Be you. Thank you teman-teman. Maaf apabila ada yang tidak berkenan. (Foto: liputan6.com)
*Penulis Adalah Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Prodi : Ilmu Komunikasi _ Konsentrasi Jurnalistik. Universitas Nusa Cendana Kupang.
[…] did You Do During Lockdown?”* – Mewariskan Budaya Lamaholot Lewat Pendidikan* – “Marina Ungu”, Sex Education dan Penghormatan pada Perempuan – Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan […]
[…] Baca Juga: “Marina Ungu”, Sex Education dan Penghormatan pada Perempuan […]