Lebih Parah, Covidiot Juga menyebabkan Gejala Kesehatan Mental Serius

Warga Peduli
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Ini adalah tulisan ketiga mengenai varian baru Corona – Covidiot. Pada tulisan pertama telah diuraikan bahwa salah satu gejala Corona varian Covidiot adalah munculnya sikap memberontak.

Pemberontakan terhadap berbagai aturan yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan, yang memiliki kode etik profesi yang ketat, apapun alasannya, merupakan salah satu gejala varian Covidiot.

Di NTT, ternyata banyak yang menunjukkan gejala diduga varian Covidiot ini. Baru-baru ini beredar luas di berbagai laman media sosial sebuah video yang memperlihatkan sekelompok orang merebut paksa jenazah dari petugas yang mengenakan APD.

Video tersebut dibagikan dengan narasi “Keluarga mengambil paksa jenazah famillinya karena tidak terima bahwa yang meninggal divonis Covid-19.”

Apakah benar rumah sakit meng-covid-kan pasien? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya sangat mudah, bagi mereka yang belum terinfeksi Corona varian covidiot.

Baca Juga: Benarkah Rumah Sakit Meng-Covid-kan Pasien?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin butuh pertanyaan lain yang mengantar kita, mengajak kita berpikir. Kenapa banyak rumah sakit penuh? Bukan hanya di kota-kota besar tapi juga rumah sakit di daerah.

Bahkan untuk saat ini, dibutuhkan lebih dari satu “alat bukti” untuk menegaskan diagnosa Covid-19. Jika tanpa gejala, selain hasil antigen juga harus didukung oleh alat bukti kedua yaitu foto rontgen paru-paru.

Dan jika ada gejala ISPA akut, atau gejala lain yang menurut otoritas kesehatan pun, harus didukung oleh minimal hasil tes swab antigen juga tracking riwayat kontak dengan kasus positif.

Sementara para dokter di rumah sakit-rumah sakit yang diikat oleh kode etik profesi. Mereka diiharuskan mengikuti prosedural ketat sesuai dengan etika profesinya. Apakah semudah itu meng-Covid-kan pasien?

Ribuan tenaga kesehatan turut menjadi korban keganasan Covid-19. Tentu, jika mau, bisa saja mereka menghindari tanggung jawab profesinya, menolak pasien, daripada tertular Covid-19.

Baca Juga: Ada Varian  Corona yang Lebih Berbahaya, “Covidiot” Namanya

Para tenaga kesehatan ini, dokter dan para perawat, karena tanggung jawab profetis yang sama pulalah mereka tidak boleh mudah memvonis secara serampangan.

Prasangka mengenai rumah sakit meng-Covid-kan pasien sebaiknya menuntun kita untuk tidak boleh lagi mengunjungi rumah sakit untuk meminta pertolongan tenaga profesional bidang kesehatan itu saat kita sakit. Ini baru adil.

Bersyukur karena jenazah yang diambil paksa itu sudah tertangani dengan protokol pemulasaran jenazah pasien Covid-19 sebelumnya oleh petugas rumah sakit. Ini tentu mengurangi resiko penularan.

Hanya saja kontak dengan petugas pemulasaran jenazah pada saat pengambilan paksa itu masih sangat berisiko mengakibatkan penularan Covid-19.

Baca Juga: Apakah Jenazah Dapat Menularkan Corona?

Selain gejala corona varian covidiot yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya, masih ada lagi gejala varian covidiot baru lainnya. Varian Covidiot juga mengakibatkan gejala sakit mental parah.

Sekali lagi di NTT. Tidak lama sebelum pengambilan paksa jenazah oleh pasien, beredar luas sebuah video yang memperlihatkan kerumunan orang-orang yang berusaha memperoleh vaksin.

Narasi yang menyertai video itu menyebutkan bahwa tempat kejadian berada di lingkungan sebuah institusi pendidikan. Dan lebih lagi, institusi pendidikan kesehatan.

Video itu memperlihatkan lautan manusia tumpah ruah. Laki-laki perempuan. Berdesakan. Demi bisa di vaksin Covid-19.

Seharusnya saya bersyukur bahwa kerumunan itu menunjukkan begitu tingginya kesadaran masyarakat di sana untuk melindungi diri dan keluarganya dengan mendapatkan vaksin Covid-19. Luar biasa!

Baca Juga: Ingat, Vaksin Tak Cukup Mencegah Corona

Sayangnya, mereka rupanya telah terserang corona varian covidiot. Tingkat parah pula.

Apalagi mengetahui bahwa konon animo begitu besar untuk mendapatkan vaksin Corona itu karena adanya “ancaman” akan konsekuensi jika TIDAK MAU divaksin.

Padahal ada perbedaan yang jelas antara BELUM divaksin, TIDAK BISA divaksin karena alasan kesehatan, dan TIDAK MAU divaksin.

Konon, sebelum peristiwa naas itu terjadi, di Kota Kupang sendiri sudah ramai diadakan vaksinasi oleh berbagai instansi termasuk oleh gereja-gereja lokal di sana.

Yang menjadi sangat luar biasa bahwa kerumunan itu terjadi hanya karena orang-orang lebih tertarik untuk mendapatkan sertifikat vaksinasi agar terhindar dari berbagai konsekuensi.

Padahal otoritas terkait belum secara tegas mengumumkan penggunaan dari sertifikat vaksin, atau konsekuensinya jika tidak memiliki.

Para pelaku kerumunan bukan mau mengakses vaksin demi meningkatkan imun tubuh spesifik, untuk mengurangi resiko keparahan ketika terserang Covid-19. Vaksinasi tidak 100 % membuat seseorang terbebas dari Covid-19.

Baca Juga: Vaksin Ternyata Tidak 100  Persen Aman

Vaksinasi memiliki efikasi tertentu. Artinya mereka yang sudah divaksin pun masih bisa tertular Covid-19. Banyak kasus telah terjadi. Vaksin Covid-19 minimal mengurangi resiko keparahan jika terpapar Covid-19.

Ada situasi yang sangat paradoksial. Mereka memilih berdesakan. Mengabaikan berbagai protokol kesehatan yang membuat mereka berpotensi besar tertular Covid-19, untuk mengakses vaksin yang bahkan tidak 100 % menghindarkan mereka dari tertular Covid-19.

Mereka yang sehat, tidak tertular Varian Covidiot pasti akan mencari alternatif penyelenggara vaksin yang tertata dengan baik. Memastikan dirinya aman. Memastikan bahwa penyelenggaraan vaksinasi mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Dan ini tentu yang bisa diakses di kota Kupang.

Maka sangat disanyangkan sebuat institusi pendidikan, pendidikan kesehatan pula, lokasi vaksinasi yang mengakibatkan kerumunan itu, baik penyelenggara maupun masyarakat yang datang, tidak bisa menggunakan akal sehatnya, mengabaikan berbagai protokol kesehatan.

Baca Juga: Hati-Hati, Varian Delta Menular Bahkan Tanpa Kontak Fisik

Padahal mereka harusnya bisa belajar dari banyak penyelenggara yang lain sebelumnya. Calon penerima vaksin didata. Dari data mereka bisa ditargeting berdasarkan jumlah ketersediaan vaksin.

Dari jumlah ketersediaan vaksin, jumlah petugas yang melayani dan kecepatan proses vaksinasi, sangat bisa diprediksi berapa orang yang bisa dilayani dalam satu kali penyelenggaraan vaksinasi.

Ketika jumlah orang sudah teridentifikasi tinggal membuat undangan. Dalam undangan tertera waktu secara spesifik. Tanggal dan jam. Kemudian penyelenggara memastikan hanya melayani mereka sesuai undangan.

Ketika ini dikomunikasikan dengan baik, masyarakat pasti akan mengikuti prosedur. Kerumunan bisa dihindari. Semua tertib mengantri. Vaksinasi berjalan lancar.

Baca Juga: Ada lagi Gejala Covidiot Baru, Ini lebih Berbahaya

Jika orang merdeka melakukan sesuatu didorong oleh pemikiran dewasa yang melibatkan kadar intelektualitas tinggi maka budak adalah mereka yang hanya mau melakukan sesuatu karena dipaksa. Entah oleh hukuman atau konsekuansi lainnya.

Sama seperti pengendara motor memakai helem karena takut sama polisi, dalam kasus yang sederhana namun sering dijumpai, banyak yang memakai masker karena takut dihukum atau didenda bukan karena kesadarannya untuk melidungi dirinya dan orang lain.

Maka atas peristiwa kerumunan orang yang diuraikan dalam tulisan ini, saya bisa kategorikan mereka dalam deretan pasien yang terinfeksi Corona varian Covidiot.

Hanya saja varian covidiot ini mengakibatkan kerusakan serius kesehatan mental mereka. Gejala ini boleh dibilang Mentalitas Budak. Dan nyatanya banyak yang menunjukan gejala ini.

Foto tangkapan layar video kerumunan masyarakat untuk mendapatkan vaksin di salah satu institusi pendidikan kesehatan, diambil dari WAG Epu Orin Adonara

Sebarkan Artikel Ini:

1
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca juga: Lebih Parah, Covidiot Juga Menyebabkan Gejala Kesehatan Mental Serius […]