Eposdigi.com – Semua orang pernah tersakiti . Semua orang pernah mengalami fase di mana ia tidak mengerti tentang apa yang sudah terjadi.
Surutnya mengolah perasaan, berimbas pula pada kesulitan mengambil hikmah dari kejadian yang tidak menyenangkan.
Saya berpikir, terkadang kita tidak bisa meng-adjust apa yang seharusnya kita sadari.
“Hore, gajian aku punya uang banyak. Aku ingin beli baju, tak lupa aksesorinya. Ah sepatunya laah sekalian. Eh iyaa kayanya bisa di match sama warna jam tangan ini. Ina ini ina itu. Sesampai di rumah, dep! Kupikir aku akan menjualnya (sebutan preloved) 6 bulan lagi”.
Oke itu contoh pertama dan berikut adalah contoh kedua.
Baca juga: Humanis Di Tengah Wabah COVID-19
Kita setting alurnya. Di sepanjang jalan, ketika mbak Rose hendak berangkat ke kampus. Tidak sengaja mbak Rose melihat pacarnya, bernama Jimin ternyata selingkuh dengan teman satu kampus.
Oke, kira-kira apa reaksi mbak Rose? Respons afeksinya terkejut dan merasa sangat kecewa, kemudian ia pun menangis. Tapi Anda pasti tahu menangis dalam senyap dan berusaha menahannya, lebih sakit. Namun apa respons motoriknya? Yah dia putar balik, jalan tergopoh-gopoh, tersandung, pastinya masih dalam keadaan menangis. Ia merasa badannya seketika bergetar dan hanya berjalan saja melawan arah tujuan ke kampus”.
Saya ingin Anda menanggapi dua contoh tersebut.
Mungkin salah satu dari Anda menanggapi contoh 1 dengan frekuensi terbanyak seperti ini “Buang-buang duit aja mending buat ditabung”.
“Mending buat investasi saham kaya jaman now” “Kenapa ga sedekah dulu baru digunakan untuk hal yang konsumtif”
Baca juga: Cahaya Menyeruak Di Tengah Kelam Corona
Oke, sekarang ambil kemungkinan respons terbanyak contoh 2:
“Ah, gemes banget. Samperin lah. Labrak cewenya kalo perlu putusin cowonya saat itu juga”. “kenapa ga main drama aja, gandeng cowo terus pura-pura selingkuh juga” “Kalo aku jadi dia, mungkin aku ngesampingin emosi dulu dan bilang ke cowonya apa maksudmu selingkuh”
Oke, teman-teman. Saya ingin mengenalkan sebuah istilah apik untuk Anda. Dia adalah “Emphty Gap, atau kesenjangan empati”
Menurut sebuah jurnal yang saya baca, kutipan yang relevan dengan tulisan di atas kurang lebih seperti ini: Ketika mengeluarkan pernyataan tentang keadaan mental orang lain, individu terlebih dahulu mengeluarkan pernyataan secara sangat personal atau sesuai dengan keadaan mereka sendiri, lalu dihubungkan dengan apa yang terjadi oleh orang lain itu.
Orang cenderung memproyeksikan sifat dan sikap mereka sendiri kepada orang lain seperti bias konsensus yang salah. “Kesenjangan empati dalam prediksi sosial dihasilkan dari kombinasi prediksi yang salah preferensi dan keputusan sendiri dan penyesuaian yang salah dari prediksi ini (Van Boven & Loewenstein,2005)”
Baca juga: Seni Mencintai Diri Di Tengah Pandemi Covid-19
Pada kesenjangan empati, ada bagian hot-cold emphaty di mana terdapat dua tipe afeksi yang menjadi kecenderungan seseorang. Cold state yaitu keadaan di mana emosi kita stabil dan mampu berpikir rasional. Kedua adalah Hot state, yaitu ketika emosi kita sedang tidak stabil contohnya seperti marah, kesal, kecewa, kaget, dan hal yang menyangkut perasaan hot state lainnya.
Contoh 1 adalah gambaran dari hot to cold, karena orang dalam situasi ini cenderung mengedepankan tentang keadaan pada saat itu tanpa berpikir panjang . Dan contoh 2 adalah gambaran dari cold to hot, di mana kondisi orang pada mode stabil, berperilaku normal lalu pada akhirnya menemukan moment di mana muncul respons-respons yang tak terkontrol.
Kesenjangan empati tidaklah bercanda. Dalam kehidupan sehari-hari ini sering kali terjadi. Saya pun cukup terkejut bahwa kondisi macam ini ada bahan dan kajian teorinya. Saya ingin memantik Anda semua dengan satu pertanyaan mengenai kesenjangan empati ini, mulai dari pertanyaan:
Jika orang mengalami kesulitan memprediksi keinginan dan tindakan mereka sendiri , bagaimana mereka menangani perasaan orang lain?
Baca juga: Keterjajahan Fisik Sudah Ada Sejak Dalam Pikiran Bahkan Lintas Generasi (Bagian Pertama)
Dari sini saya berpikir bahwa ada satu lagu yang relate, bahkan ini termasuk sad songs yang bisa dibilang representasi dari curhatan-curhatan orang lain tentang cerita hidupnya yang bisa dibilang kurang menyenangkan. Judulnya adalah Till it Happens to You, yang dinyanyikan oleh Lady Gaga.
In my opinion, lagu ini mengandung peran melankonis di mana tokoh ingin mengatakan bahwa “Mudahnya Anda mengatakan ini akan berlalu, ayoo angkat kepalamu, semua akan menjadi lebih baik pada waktunya.
Ah itu mungkin hanya bualan yang ber-casing empati saja. Anda tidak akan mengerti ini semua, sampai hal ini terjadi pada hidup Anda. Saya yakin semua akan baik-baik saja, tapi apakah Anda bisa mengendalikan diri Anda yang ceroboh jika jatuh pada keadaan seperti ini”.
Baca juga: Keterjajahan Fisik Sudah Ada Sejak Dalam Pikiran Bahkan Lintas Generasi (Bagian Akhir)
Oke, jika Anda penasaran boleh putar lagunya sekarang. Menurut saya lagu itu mempunyai hubungan dengan istilah kesenjangan sosial yang sudah kita bahas tadi.
Saya ingin mengatakan bahwa berdiskusi adalah cara yang lebih baik untuk membantu orang itu memecahkan masalahnya yang berkenaan dengan perasaan emosionalnya, dibanding mengeluarkan jawaban spontan yang bisa membuat orang lain kurang nyaman dengan jawaban Anda. Terima Kasih, mari terus belajar.
Foto: opmed.doximity.com
Referensi:
http://parentingscience.com/empathy-gap/
Woltin, K. A., Yzerbyt, V. Y., & Corneille, O. (2011). On reducing an empathy gap: The impact of self‐construal and order of judgment. British Journal of Social Psychology, 50(3), 553-562.
Leave a Reply