Eposdigi.com – Pada zaman renaisans atau masa peralihan dari abad pertengahan ke zaman modern, salah satu konsep kecantikan perempuan pada zaman itu adalah mencukur habis alis.
Saya menduga, mungkin ini yang menjadi alasan Leonardo Da Vinci tidak menyertakan alis pada lukisan Monalisa. Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep kecantikan di masa sekarang, yang mana banyak perempuan berusaha untuk melukis alisnya.
Berdasarkan artikel yang dirilis dalam platform kumparan, terkait standar kecantikan zaman terdahulu, dikatakan bahwa alis tebal dan menyambung merupakan simbol kecantikan pada zaman yunani kuno.
Tidak hanya itu, pada akhir abad ke-19 perempuan Jepang juga mempunyai standar kecantikan tertentu, yakni memiliki gigi yang berwarna hitam. Hal ini tentu sangat berbeda dengan standar kecantikan yang ada pada masa sekarang.
Masa sekarang, lingkungan maupun media online telah mengkontruksikan tentang standar kecantikan lewat promosi make up, serum pemutih, pelurus rambut, dan lain-lain.
Kita akhirnya mempercayai standar kecantikan itu, hingga turut merubah pola pikir dan perilaku. Kita pun terjajah dengan konsep itu dan dipaksa ataupun bahkan memaksakan diri untuk memenuhi standar-standar itu.
Berdasarkan perbedaan standar kecantikan pada zaman Yunani kuno, zaman renaisans, bahkan akhir abad ke-19, dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah standar itu diciptakan, didoktrin hingga kemudian dipercayai, dibiasakan dan akhirnya menjadi stereotipe.
Hingga kemudian budaya ini bertahan sampai lintas generasi. Hal ini terjadi karena adanya ketiksadaran kolektif yang mana berisi gambaran-gambaran yang diturunkan oleh orang-orang terdahulu atau sebelum kita (Jung dalam Feist &Feist).
Carl Gustav Jung yang merupakan seorang tokoh psikoanalisa mengemukakan bahwa ketidaksadaran kolektif merupakan ketidaksadaran yang diwariskan dan turut mempengaruhi pola pikir dan perilaku kita. Sebagai contoh dalam hal warna. Warna selalu disimbolkan dengan sifat atau karakter, yang mana merah berarti pemberani, putih adalah bersih atau suci, dan hitam adalah buruk atau kotor.
Pengetahuan seperti inilah yang diajarkan, hingga kemudian menjadi warisan. Hitam adalah buruk ini yang kemudian turut mempengaruhi perilaku berdasarkan dorongan ketidaksadaran.
Hingga ketika menjumpai sesuatu yang hitam, secara otomatis dorongan ketidaksadaran membentuk pola pikir kita bahwa hitam adalah buruk, walaupun kemudian kita kembali disadarkan oleh “ego”.
Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas dan berada pada ambang kesadaran. Sehingga untuk mendobrak doktrin-doktrin terkait standar cantik dan ganteng yang ada pada saat sekarang, masing-masing kita perlu mengatifkan “ego”.
Kita perlu berpikir yang realistis bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang eksis belum tentu menunjukkan hakekat keberadaan yang sebenarnya.
Salah satu bagian yang terpenting adalah apa yang ada dibalik sesuatu yang eksis. Artinya, segala bentuk atau apa yang tampak belum tentu baik dan buruk, yang terpenting adalah esensi dari sebuah eksistensi.
Terlihat putih, langsing, berambut lurus, sixpak belum tentu baik dalam hal karakter, dan terlihat hitam, berambut keritng, gemuk belum tentu berjalan lurus dengan perilaku yang buruk.
Lalu bagaimana seharusnya? Apakah kita tidak boleh menjadi cantik dan ganteng sesuai dengan apa yang distandarkan? Tentu tidak.
Lantas, akankah standar cantik dan ganteng suatu saat akan berubah? Jawabannya adalah yaa. Suatu saat pasti akan berubah, karena segala perubahan itu pasti.
Mungkin saja kita akan kembali ke masa terdahulu atau bisa saja berubah menjadi sesuatu yang lebih aneh dan unik terkait standar-standar itu, karena orang-orang telah menyadari dan ingin merdeka dari segala konsep yang ada.
Foto:idntimes.com
[…] Baca Juga: Keterjajahan Fisik Sudah Ada Sejak dalam Pikiran Bahkan Lintas Generasi (Bagian Akhir) […]