Eposdigi.com – Setiap kita pasti pernah menerima atau bahkan melakukan penolakan terhadap dunia. Bentuk penolakan terhadap dunia ini bisa bermacam-macam dan termanifestasi dalam berbagai macam bentuk psikis hingga perilaku.
Lantas, mengapa penolakan ini bisa terjadi? Penolakan ini lahir karena kita belum selesai dengan diri kita masing-masing.
Kita masih berkutat dengan dia yang bernama “ego”, dan ketika ego ini terancam, harga diri kita akan serasa jatuh dan kita tentu akan mengalami sebuah rasa yang dinamai dengan “malu”.
Jika diberi pertanyaan, “apakah kita ingin dipermalukan?”. Tentu kebanyakan dari kita akan menjawab tidak. Kita tidak ingin dipermalukan, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk diterima, dicintai dan dihargai.
Manusia ingin dihargai, dan ketika harga ini tidak dibayar dengan harga yang pasti dan memuaskan, maka akan timbul penolakan-penolakan. Ujung-ujungnya lahirlah banyak perilaku, dengan tujuan agar bisa diterima oleh lingkungan.
Namun, tanpa disadari perilaku-perilaku ini merupakan bentuk penolakan, yakni terhadap diri dan lingkungan.
Kita selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari diri kita masing-masing. Hal ini baik, namun dalam kenyataannya, usaha menunjukkan sisi terbaik terkadang hanya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada di dunia luar.
Ketika tuntutan itu terpenuhi, kita akan merasa bangga dan puas. Namun ketika tuntutan itu tidak terpenuhi, kita akan merasa kurang nyaman, merasa ditolak dunia dan ujung-ujung menutup diri dari dunia sekitar.
Sebagai contoh kecil yaitu menjadi ganteng dan cantik. Sudah barang tentu, bahwa dunia sudah melabeli cantik dan ganteng dengan standar-standar tertentu. Menjadi ganteng dan cantik harus berkulit putih, berambut lurus, langsing/six-pack, dll. Lantas, pikiran keparat macam apa yang mempercayai bahwa berkulit gelap, gemuk dan berambut keriting adalah jelek?
Ketika mempercayai standar-standar ini, kita sudah terjajah dan bahkan sejak dalam pikiran. Ujung-ujungnya, orientasi hidup kita hanya bermuara untuk memenuhi tuntutan dunia luar. Ini sungguh menyebalkan!
Adanya standar menjadi cantik dan ganteng inilah yang kemudian memunculkan perbandingan, yakni diri yang real (real self) dengan diri yang ideal (ideal self).
Carl Rogers yang merupakan seorang tokoh humanistik mengemukakan bahwa ketika terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara real self dan ideal self, maka akan muncul tegangan-tegangan atau perasaan tidak nyaman.
Untuk mengatasi perasaan tidak nyaman ini, orang akan terus berusaha untuk memenuhi apa yang ideal, atau tuntutan-tuntuan di luar diri kita. Sehingga penderitaan adalah konsekwensi yang paling pasti ketika apa yang ideal tidak dapat terpenuhi.
Kita selalu berusaha untuk melakukan berbagai macam cara agar keadaan diri kita bisa memenuhi tuntutan-tuntutan dunia luar.
Menjadi cantik atau menjadi ganteng dalam kehidupan ternyata sudah dilabeli dengan berbagai macam doktrin, dan bodohnya kita adalah mempercayai konsep-konsep itu.
Kita membiarkan diri kita dijajah dengan konsep tersebut. Kita tumbuh dengan doktrin-doktrin itu, hingga beliefe kita menjadi terpenjara, mental kita menjadi terpinggirkan, dan perilaku kita dipaksa tunduk sekaligus mendogmatisasikan bahwa apa yang baik adalah putih dan yang buruk adalah hitam.
Sekarang mari kita coba melihat ke belakang. Kira-kira seperti apa konsep kecantikan pada zaman terdahulu? Bersambung….
Foto: schoolofparenting.id
[…] Baca juga: Keterjajahan Fisik Sudah Ada Sejak Dalam Pikiran Bahkan Lintas Generasi (Bagian Pertama) […]